Sabtu, 28 Maret 2009

Flat Hentian Kajang

Salah satu flat di Hentian Kajang, Malaysia. FOTO Herpanus.

Oleh: Yusriadi

“Bang Yus tinggal jak di Hentian Kajang,”
Herpanus, teman saya asal Sintang yang kini sedang menyelesaikan Program Master di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) mengirim pesan lewat email, Februari lalu.
Herpanus, alumnus Fakultas Pertanian Untan itu mengatur semua hal berkaitan dengan program Post Doc yang akan saya jalani. Mulai soal administrasi, hingga soal teknis. Termasuklah soal tempat tinggal.



Herpanus lalu menceritakan bahwa saya bisa tinggal bersama mereka di sebuah flat di Hentian Kajang. Letaknya lebih kurang 3-4 kilometer dari kampus UKM.
Di flat mereka ada tiga kamar. Dia dengan Jamil, mahasiswa UKM asal Ambon. Satu kamar lagi ditempati Nofriadi mahasiswa program master asal Padang dan satu kamar lagi ditempati Bang Kristianus Atok, mahasiswa program doktoral asal Kalbar juga. Herpanus dengan rinci menjelaskan teman-temannya itu.
Maksudnya, agar saya kenal ’medan’ dahulu sebelum bergabung dengan mereka.
”Abang nanti tinggal dengan saya dan Jamil,”
”Ok, tunggu saja. Terima kasih, karena pasti akan merepotkan,”
Beberapa hari kemudian, saya mendapat telepon dari Bang Kris. Soal penginapan juga.
Bang Kris rupanya juga membantu mengatur penginapan saya.
Saya mengiyakan. Mereka teman-teman yang baik dan perhatian.
Ketika saya sampai di KLIA, lapangan terbang Kuala Lumpur –sebenarnya tempatnya di Nilai, negara bagian Selangor, saya mengabarkan Bang Kris.
Bang Kris mengatakan menunggu saya di flat.
Saya juga menghubungi untuk memastikan alamat penginapan itu.
”29----. Tempat lama,”
Bang Kris menyebut ”tempat lama” untuk menunjukkan bahwa flat di mana dia menunggu adalah tempat yang pernah saya datangi.
”Anda pernah di sini khan?”
Bang Kris sering kali memanggil saya Anda. Kesannya, menurut saya, formal-berjarak. Entah apa maksudnya. Tetapi, kadang kala dia memanggil saya dengan Yus saja.
Saya mengiyakan.
Ya, saya memang langganan ke flat itu. Hampir setiap pergi ATMA, UKM, saya mampir. Bermalam semalam dua, kata orang.
Hanya sesekali saya menginap di hotel.
Flat ini ditempati mahasiswa Kalbar sejak lama. Mulai zaman Hermansyah –sekarang Dr Hermansyah. Ibrahim. Pak Bakran Suni– sekarang Dr. Bakran. Hingga sekarang, ada Bang Jumadi dan Qahar – keduanya, dosen Untan Pontianak.
Tentu saja saya ingat tempatnya. Tetapi, alamatnya ... tidak.
Saya naik bis dari KLIA, bayarnya RM3,50. Lalu naik komuter, kereta api listrik RM2.20, turun di Stasiun UKM. Dari sini berjalan kaki 10 menit, naik bis lagi, ongkosnya RM0.70, sampai di Hentian Kajang. Hentian Kajang adalah stasiun bis untuk wilayah Kajang. Saya memilih rute ini, karena jelas lebih murah dibandingkan naik teksi dari KLIA – Hentian Kajang. Tarif teksi tidak kurang dari RM60,00. Kalau RM 60,00 dikalikan Rp 3.200, jadi Rp 192.000. Bayangkan!
Turun dari bis saya menuju bangunan flat, menyusuri lorong kaki lima beberapa blok bangunan.
Hentian Kajang hari itu, bukan lagi Hentian Kajang yang saya lihat beberapa tahun lalu. Sekarang ini, kesan saya, keadaanya sudah sangat padat. Ramai sekali. Belakangan saya tahu dari kawan, keadaan lingkungan sudah tidak lagi nyaman.
Berjalan 5 menit, akhirnya saya sampai di bangunan flat yang akan saya tempati. Saya harus naik tangga lagi. Flat itu ada di lantai ke tiga – tingkat yang kedua. Lumayan juga naik tangga yang kemiringannya 30 derajat.
Saya memastikan nomor flat.
Benar.
Pintu besi (teralisnya) terbuka. Pintu flat dalam keadaan tertutup. Tetapi, dari luar saya dapat mendengar samar-samar suara TV. Melalui celah bagian bawah daun pintu juga nampak ruangan tengah yang terang, pantulan cahaya masuk melalui pintu teras yang terbuka.
Saya mengetuk pintu.
”Ya,”
Terdengar sahutan dari dalam.
Daun pintu terbuka. Bang Kris.
”Selamat datang,”
Bang Kris menunjuk kamar yang akan saya tempati. Kamar kosong. Ukurannya, lebih kurang 5 X 2,5 meter.
”Lampunya tak bisa hidup. Dedi yang bisa ngidupkan,”
Stop kontak ditekan, hanya kipas besar tergantung di tengah ruang kamar yang berputar. Lampu tidak menyala.
Ada masalah pada trafo pada lampu neon yang panjangnya mungkin satu meter itu. Belakangan, saya diajarkan menghidupkan lampu itu dengan cara memutar trafo, lalu menariknya keluar dari cangkangnya.
Saya mengamati isi kamar. Di kamar itu ada meja komputer warna kream dari bahan arbot. Di atasnya ada lipatan sejadah warna merah. Ada kursi plastik warna biru laut, ada kasur yang berseprai biru tua. Ada dua bantal, yang satu bersarung biru, dan satunya lagi bersarung hijau.
Ada dua 2 lemari platik yang di dalamnya ada 2 celana panjang, satu kemeja dan satu baju dalam anak usia 1 tahun. Di belakang pintu satu keranjang plastik berisi kertas dan koran bekas yang berdebu.
Semua barang yang ada di kamar itu sebenarnya milik penghuni-penghuni sebelumnya. Entah berapa generasi terdahulu. Saya ingat dahulu, waktu saya menginap di sini tiga atau empat tahun lalu –waktu itu menumpang pada Dedy Ari Asfar, lemari itu sudah ada.
Entah saya lupa memperhatikan dahulu, apakah kasur itu juga kasur yang lama atau baru.
Tetapi, saya kira itulah uniknya di sini. Sistem pewarisan untuk jenis barang yang tidak mungkin dibawa pulang ke Indonesia, berjalan secara alami. Pewaris tidak pernah tahu siapa yang akan menerima warisan mereka. Kecuali satu hal: seperti yang sedang dilakukan sekarang, flat yang sudah disewa mahasiswa Indonesia, sebisanya dipertahankan. Jangan sampai pindah tangan ke penyewa lain.
Kalau pindah tangan, resikonya pemilik barang-barang tidak harus ’mengapakan’ barang mereka. Mungkin tidak ada yang mau beli bantal atau kasur bekas. Entah siapa yang mau beli lemari plantik bekas, dll.
Hanya jenis barang-barang tertentu saja yang bisa dilego dengan harga murah. Itu pun, kalau mau melego, kadang kala harus bersusah payah, banting harga.
Ada alasan lain yang lebih penting.
”Kalau kamar bisa kita pertahankan, nanti, kalau kita dan kawan-kawan datang ke sini, tak payah-payah sewa hotel. Bisa menginap di sini,”
Benar. Bisa lebih hemat. Hotel di sini tarifnya di atas tarif hotel di Pontianak. Untuk hotel yang sangat sederhana, baiknya disebut penginapan, tarifnya berkisar di angka RM50. Tidak bagus.
Untuk hotel standar, tarif kamar yang murah kabarnya di atas RM 100.
Dan, saya bisa merasakan betapa enaknya datang ke UKM dengan menumpang di rumah teman. Gratis.

***

Flat –flat di Hentian Kajang sangat banyak. Tidak kurang dari 10 blok sekarang ini. Masing-masing blok memiliki 5 lantai. Flat-flat ini relatif baru. Sewaktu pertama kali saya datang ke UKM tahun 1996, di lokasi ini masih semak belukar.
Saya diberitahu, bentuk flat di sini relatif sama. Satu ruangan flat luasnya kira-kira lebih kurang 11 meter X 7 m.
Ada tiga kamar. 2 kamar di bagian depan berdampingan, lalu dapur. Kamar mandi kecil dan kamar belakang (kamar ini yang saya tempati). Saya sebut kamar belakang untuk menunjukkan lokasi yang berbeda dari lokasi depat, yaitu teras. Bagian belakang ini sebenarnya, boleh dianggap bagian depat, karena dekat dengan pintu masuk. Pintu masuk flat berada di tengah-tengah (bagian dalam?) bangunan blok.
Ada ruang tamu plus ruang tengah memanjang dari ujung beranda hingga pintu masuk. Kadang ruang tamu ini merangkap ruang tidur bagi sesiapa yang lagi bosan tidur di kamar. Di tiga kamar tidur dan ruang tengah ada kipas angin besar, dan di setiap ruangan ada lampu neon panjang.
Saya kira, lebih enak tidur di ruang tengah ini karena lebih lapang. Tidak pengap. Angin bisa masuk melalui jendela dan pintu.
Tetapi, betapa pun enaknya, dalam soal tempat tinggal lama, tentu lebih enak tinggal di rumah bukan flat, di tempat sendiri.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana akhirnya generasi-generasi yang menghabiskan hari-hari mereka di rumah flat. Bagaimana orang membesar di lingkungan sosial yang benar-benar lain, individual, dan juga sumpek. Bagaimana budaya mereka kelak?
Pastilah mereka akan berbeda. Pastilah mereka akan lain.
Mungkin...
Ah, memang harus begitu.
Kehidupan dunia menuntut adanya perubahan. Itulah, dunia fana, kata guru saya.
Yang tak berubah itu benda mati dan kematian.



0 komentar: