Senin, 09 Maret 2009

Impian S-4

Oleh Yusriadi

“Post Doc”.
Sudah lama aku mendengar frasa itu. Sejak dahulu. Beberapa tahun lalu. Sejak aku masih bergelut dengan disertasiku.
”Wuih, bisa ikut program itu, keren,”
Teman-teman bilang ambil program Post Doc sama dengan ambil S-4. Ada yang bilang ambil S-4 sama dengan ambil tiket profesor.




Hey, siapa ilmuan yang tak mau jadi profesor?
Aku kira semua orang mau. Aku juga mau jadi profesor suatu saat kelak.
Kukira kemauanku tidak mengada-ada. Potongan jadi profesor sudah ada.
Kepalaku mulai botak. Rambutku, helai demi helai lepas. Lepas sendiri. Mahkota di atas kepala mulai tipis.
Aku ingat betul dahulu sewaktu memulai studi pasca sarjana tahun 1996 di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), setiap pagi aku memungut helain rambutku yang rontoh di atas bantal. Tak terhitung. Ketika aku kembali ke Pontianak, teman-teman dapat melihat perubahan yang drastis.
Lalu, di sana-sini rambut yang tersisa di kepalaku mulai memutih.
”Ihh, Bapak dah uban,”
Kata anakku.
Salsa,9 kelas 3 Ibtidayah, dan Zebta, 7, kelas 1 Ibtidayah, kerap kali mengomentari rambut bapaknya yang berwana putih. Sesekali mereka mencabutnya.
Pikiranku mulai lepas-lepas. Bundaku mengatakan, aku mulai amnesia. Sering benar orang-orang di sekitarku menemukan aku bingung mencari-cari sesuatu. Entah kunci motor. Kunci rumah. Berkas-berkas. Aku juga kerap lupa nama orang yang lama tak kujumpai. Ingat wajah, lupa nama. Jadinya, memanggil pun pakai ”oi, oi”.
Aku selalu ingat, salah satu ciri profesor adalah linglung. Konon.
Satu-satunya alat yang melekat pada seorang profesor yang belum kupakai, adalah kacamata.
Seharusnya aku memang sudah pakai kacamata. Melihat tulisan kecil dalam jarang 10 meter aku masih bisa. Tetapi, huruf-huruf itu pasti akan nampak bersambung. Jangan juga suruh aku baca teks di TV dalam jarak 10 meter. Tak akan dapat. Aku sering tidak dapat mengenal orang yang berdiri 100 meter dari tempatku berada, apalagi kalau sore atau malam hari.
Entahlah, sampai sekarang aku belum lagi ke Optik untuk cari alat bantu pandang itu.
Jujur saja aku selalu membayangkan betapa repotnya kalau harus pakai kacamata. Bawa ke sana-sini. Nenggek di hidung, lalu ada bekas –seperti seorang temanku yang bekas tengge’an kacamata membentuk ’lubang hitam’ di kiri kanan batang hidungnya.


Akhirnya, kesempatan itu datang. Dr. Chong Sin dan Prof. James T. Collins memberi tahu aku tentang kesempatan itu di UKM. Dr Chong, temanku semasa kuliah dulu. Kami juga sering melakukan penelitian lapangan bersama-sama. Sedangkan dia menjadi peneliti dan pensyarah di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA). Sedangkan Prof. Collins –kami memanggilnya Pak Jim, adalah guruku sejak tahun 1996. Beberapa waktu lalu dia menjadi Direktur CSEAS NIU, Amerika Serikat.
Dr. Chong mengirim formulir dan memberi petunjuk pengisian. Beliau juga meminta aku melengkapi persyaratan administrasi. Sebut misalnya rencana post doc dan biodata. Aku mengembalikan berkas itu kepada beliau.
Beberapa bulan kemudian, kabar mengembirakan itu datang. Dr. Chong mengabari.
”Kamu diterima,”
Lalu, dia, melalui asistennya, mengirimiku email berisi surat dari UKM yang menyebutkan aku sudah diterima.
Dan, 1 Maret 2009, aku datang ke UKM. Tanggal 2 aku melapor diri di ATMA. Aku juga melapor di Pusat Pengurusan Penelitian dan Inovasi (PPPI), UKM. Aku menapak impian yang pernah kuimpikan dahulu: S-4 itu.








2 komentar:

maududi mengatakan...

mimpi itu,
banyak orang bermimpi jadi orang kaya, tapi sedikit sekali bermimpi jadi ilmuan. mimpinya Bang Yus harus ditiru.

Yusriadi mengatakan...

Ya, cuma sekadar bunga tidur kali... Heee..
Huzzz.. jangan coba-coba tiru. Pemali. Nanti dimasukkan ke dalam botol lagi...