Jumat, 06 Maret 2009

Pembangunan di Kalbar

Oleh: Yusriadi


Bang Jum – Jumadi, M.Si, dosen Untan Pontianak, yang sedang ambil program
doctoral di Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) memberitahu saya tentang
kesan temannya –seorang akademisi Malaysia, ketika berkunjung ke
Pontianak.
Orang Malaysia itu bilang,
“Pontianak itu kotor,”



Selain cerita soal tatakota, kotornya Pontianak juga dilihat dari kesan
sang akademisi ketika berkunjung ke objek wisata.
“Beliau itu bilang, waktu berkunjung ke tugu khatulistiwa, dia lihat orang
buang sampah sembarang, kencing sembarang. Jadi itu yang juga dibilangnya
kotor,”
Bah!
“Malu juga dengarnya,”
Tambah Bang Jum lagi.
Saya mengangguk. Benar. Pontianak memang kotor. Pontianak tidak bersih.
Pontianak semrawut. Pontianak tidak tertata.
Orang Pontianak juga tahu itu. Saya, sewaktu masih meliput di desk kota
Pontianak dahulu sering sekali menulis soal itu. Sering kali saya menulis
komentar para politisi soal perlunya penataan kota. Perlunya membuat
keindahan kota. Dan lain-lain.
Namun, rasanya, sampai sekarang, keindahan yang dicita-citakan itu tidak
wujud. Pontianak masih seperti dahulu sekalipun politisi sudah berganti.
Pontianak masih belum berubah banyak sekalipun pemimpin berganti.
Bahkan, menurut teman-teman, Pontianak bikin orang makin gerah saja.
Sekarang kota berkembang, tetapi perkembangannya bikin padat. Pembangunan
maju. Tetapi menambah sumpek. Lalu lintas setali tiga uang. Jalan A Yani
yang dahulunya dianggap macam jalan tol, kini menjadi jalan kampong, macam
Sungai Jawi.
Pontianak juga makin panas. Hutan-hutan kota. Kawasan simpanan untuk
penghijauan, tidak ada. Orang merasakan Pontianak gersang.
Sialnya lagi, kalau musim hujan, keadaan bertolak 180 derajat. Pontianak
menjadi kota air. Tergenang air. Banjir di mana-mana.
Memang itu resiko kota rendah. Pontianak di bawah permukaan laut.
Tapi bukan itu saja pasalnya. Pontianak banjir karena pembuangan air tidak
lancar. Parit makin kecil. Tertutup.
“Ini resiko karena pembangunan kita memusuhi lingkungan,” kata Bang Kris.
Bang Kris, panggilan kami untuk Kristianus Atok. Aktivis yang kini
melanjutkan studi program doktoral di Universiti Kebangsaan Malaysia, sama
seperti Bang Jum.
Kok?
“Kita, kalau membangun, selalu merubah lingkungan. Parit sungai, kolam,
ditutup untuk bangun gedung. Kalau ada bukit, bukit digusur dahulu. Hutan,
kayu pelindung juga ditebang,”
Kurang dipikirkan bagaimana membangun tanpa merusak lingkungan. Kurang
dipikirkan bagaimana membangun gedung dengan tetap membiarkan parit,
gunung, pohon, dan lain-lain.
Saya jadi teringat kata bijak orang Tionghoa: “Kalau mau merobohkan
tembok, kita mesti tahu mengapa dahulu tembok itu dibangun,”
Kita memang jarang memikirkan mengapa sungai ada ketika kita ingin menutup
sungai. Apa pentingnya sungai itu bagi lingkungan sekitar. Apa kelebihan
sungai itu. Apa yang manfaatnya. Bagaimana menggabungkan rencana
pembangunan dengan manfaat dan kelebihan alam di sekitar.
Agaknya.



0 komentar: