Jumat, 10 April 2009

Pemilu yang Membingungkan

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

“Bingung!”
“Benar-benar bingung tadi,”
“Nyari nama orang yang mau dipilih bah, susah benar. Akhirnya nanda partai jak,”
Entah berapa banyak keluhan yang saya dengar Kamis (9/4) kemarin. Banyak sekali. Tidak bisa dihitung. Kalau dicatat, pasti panjang lebar catatannya.




Rasanya, setiap saya bertemu dengan orang yang saya kenal, setiap bicara dengan mereka tentang pencontrengan beberapa jam sebelumnya, keluhan itu yang saya dengar.
Mereka yang saya kenal itu, ibu rumah tangga, mahasiswa, dan sarjana. Mereka golongan yang berpendidikan. Mereka terpelajar. Mereka mengerti baca tulis. Mereka mengikuti sedikit perkembangan, sekalipun perkembangan politik tidak diikuti dengan detiil. Mereka menonton TV dan sesekali melihat sosialisasi pencontrengan itu.
Saya mempercayai keluhan itu. Saya bisa membenarkannya. Saya sempat melihat betapa bingungnya tetangga saya, seorang imam masjid, saat berada di bilik suara pada saat pemilihan itu. Saya bisa melihat wajahnya, karena bilik suara yang dipakai saat pemilihan hanya dinding alumunium yang rendah. Bagian dada ke atas orang yang sedang berada di bilik suara itu nampak dengan jelas. Tidak terlindung.
Petugas di TPS sempat mengingatkan imam masjid itu.
“Lama’ Pak,”
Mereka sudah mengumumkan batas waktu pemilihan sampai pukul 12.00. Saat itu waktu menunjukkan pukul 11.40.
Saya sempat juga khawatir, jangan-jangan akan mendapatkan peringatan serupa. Sebab, waktu yang saya butuhkan di bilik suara sangat lama. Saya agak lama, karena mencari nama orang yang harus saya contreng. Saat turun dari rumah saya sudah punya nama itu. Untuk level DPD, saya bisa memilih dengan cepat. Tidak banyak. Langsung nampak nama yang dicari. Ada fotonya lagi.
Tetapi untuk Dewan Provinsi.... Tidak. Saya butuh waktu lama. Saya ingat, saya mengurut membaca nama dari atas hingga ke bawah. Lalu saya cari lagi. Huruf yang besar kecil. Lembaran yang banyak. Wow... luar biasa.
Rupanya, kakak saya juga mengalami hal yang sama.
“Lama benar nyari nama orang itu...”
Kemudian, setelah selesai pemilihan, baru kakak saya sadar bahwa surat suara yang mereka coblos, tertukar daerah pemilihannya. Nama orang yang dipilih tidak ada di kertas suara itu. Nama orang yang dipilih rupanya ada di kertas suara lain, yang nyasar ke mana.
Melihat begitu susahnya memilih, seorang teman membandingkan.
“Kalau orang kota, orang terpelajar mengeluh susah dalam memilih, bayangkan bagaimana dengan orang kampung,”
Orang kampung, masih ada yang kemampuan bacanya pas-pasan. Bayangkan mereka yang hanya sesekali bersentuhan dengan bahan bacaan.
Lalu, akhirnya mereka asal pilih saja. Mereka tandakan saja apa yang mau mereka tandakan, dalam waktu yang terbatas.
Kalau kemudian pilihan begini dibuat, apa yang bisa diharapkan. Pastilah tujuan pemilu –yang kononnya menjadi pemilu yang cerdas, tidak akan sampai. Tentulah pemilu yang cerdas menjadi mimpi indah saja.
Oh, sungguh memprihatinkan. Sungguh mengenaskan nasib bangsa ini. Nasib daerah ini. Nasib kita semua.
Memang sudah nasib, apapun yang terjadi pasca pemilihan, harus diterima. Siapa pun yang kebetulan mendapat suara terbanyak, itulah takdir dia dan takdir kita yang diwakilinya.
Nasib kita juga kelak, jika kita pun juga bingung melihat tingkah polah mereka yang duduk di kursi wakil rakyat.


Baca Selengkapnya...

Terminal Kapuas Indah

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Wow, hebat!!!
Saya berseru dalam hati ketika menyaksikan terminal Kapuas Indah, Pontianak, Selasa sore lalu (7/4/2009). Kebetulan saya melintas di kawasan itu saat mengantar Emak mudik ke kampung, ikut bis Valenty yang memunggah penumpang di terminal Kapuas Indah. Melintas, karena saya tidak turun dari motor. Buru-buru.
Saya merasa takjub dengan kemajuan pembangunan di kawasan ini.


Saya mengagumi konsep pembangunan: terminal yang memanjang, di atasnya ada bangunan. Bangunan itu membentuk atap pelindung bagi oplet menurunkan dan menaikkan penumpang.
Saya takjub melihat keadaan sekarang. Saya kira, ini suatu konsep pembangunan yang mencerminkan cita rasa terminal modern. Setidaknya lebih modern dibandingkan keadaan terminal sebelum ini.
Saya merasa gah. Saya akan bisa membanggakan terminal ini di mata teman-teman yang berasal dari luar Kalbar. Biar mereka tahu, bahwa perencana pembangunan di Pontianak, memiliki wawasan yang modern juga.
Jujur saja, sering kali saya malu jika membaca tulisan yang menampilkan kesan orang terhadap Pontianak. Misalnya, ada seorang penulis yang membandingkan Pontianak sebagai sebuah kota yang 50 tahun terbelakang, dibandingkan kota mereka. Katanya melihat kota Pontianak mengingatkan mereka keadaan kota mereka tahun 1950-an.
Mereka membandingkan keadaan transportasi lokal. Mereka membandingkan pedagang-pedagang kecil di pinggir jalan. Mereka membandingkan bangunan-bangunan yang mereka lihat. Mereka membandingkan penataan kota. Mereka membandingkan pemerintah mengurus kota.
Kita bisa membayangkan sendiri keadaan itu. Bahkan orang kita sendiri sering menyebut kota kita sebagai kota yang kumuh. Orang sering menyebut kota Pontianak macam kota tak ada penjaganya.
Orang kita sering menyebut bandingan antara bumi dan langit saat membandingkan kota Pontianak dengan Kuching, Malaysia.
Nah, pembangunan terminal Kapuas Indah, saya kira pasti akan mencerminkan gambaran yang lain, di pasar kota ini.
Hanya saja.. .
Oh, Tuhan.
Masih bergema pujian saya untuk pembangunan kota Pontianak, senyum gah saya masih belum samar, tiba-tiba saya melihat situasi yang kontras. Situasi yang mencerminkan kota Pontinak tahun 1950-an itu.
Di seberang terminal, di jalan keluar dari kawasan Kapuas Indah, saya melihat sejumlah oplet berhenti, menunggu penumpang. Mereka tidak menunggu penumpang di terminal yang baru dan modern. Mereka malah menunggu di luar terminal.
Oplet menunggu di luar terminal, menunjukkan cita rasa yang hambar. Ada apa? Mengapa mereka tidak betah di dalam terminal yang indah itu, beratur menunggu giliran?
Apakah terminal itu hanya indah dari kesan pertama, tetapi, buruk jika sudah berada di sana lama?
Macam-macam dalam bayangan saya.
Apakah terminal ini bau –terutama bau pesing, seperti umumnya terminal di tempat kita?
Apakah terminal ini menakutkan penumpang, sehingga penumpang ogah mampir ke sana? Apakah ada preman dan tukang palak, atau calo-calo yang terlalu gigih berusaha memaksa penumpang di sini, sehingga sopir oplet dan penumpang takut?
Saya tak menemukan jawaban itu. Saya tidak mencarinya. Saya pikir, biarlah pemerintah kota yang turun ke sana bertanya-tanya. Biarlah para pengelola terminal yang mencari tahu.
Sepanjang perjalanan pulang dari Kapuas Indah ke rumah, saya terus menghayal. Andainya terminal yang baru ini ditata dengan baik, sehingga menambah cita rasa modern secara fisikal. Andai saja pemerintah kota menjadikan penataan kawasan tertib, indah dan aman dari terminal ini, kemudian melebar ke kawasan lain... Andai saja pemerintah mulai menunjukkan bahwa mereka mampu menjadi pengelola kota ini.
Saya kira pasti lebih indah.
Lalu, mengapa mereka nampak berwibawa di mata para sopir?
Mengapa mereka tidak bisa memelihara dan menjaganya keindahan dan ketertiban di terminal ini?
Mengherankan.
Suatu saat saya ingin mengagumi pemerintah kota karena hal itu. Semoga.


Baca Selengkapnya...

Jumat, 03 April 2009

Kolusi di Jalanan

Yusriadi-Redaktur Borneo Tribune

Hari itu, saya naik bis dari Kuching ke Pontianak. Di tengah perjalanan, bis itu berhenti di sebuah rumah makan. Jadwal makan siang.
Saya sudah hafal tentang banyak hal di sini. WC-nya. Nasinya. Sayur-sayurnya. Tentang minumannya. Piringnya. Gelasnya.




Saya hafal bukan karena ingatan saya kuat. Saya hafal karena bis penumpang antar negara sering kali berhenti di sini. Bis ini – maaf tak saya sebutkan namanya di sini, hampir selalu berhenti di sini. Bis lain, lain juga tempat berhentinya.
Mengapa begitu? Saya tidak tahu. Saya kira pilihannya lebih pada pilihan awak bis, atau perusahaan bis. Pasti bukan pemerintah mengeluarkan instruksi soal terminal perhentian. Pemerintah kita tidak punya kebijakan seperti pemerintah di Malaysia yang membuat bis-bis terpaksa berhenti makan di setiap stasiun bis – buktikan saja kalau naik bis Pontianak – Brunei.
Di sini, bis punya kuasa sendiri.
Penumpang turun satu per satu. Saya, karena duduk agak belakang, turun juga agak belakang.
“Ndak turun? Makan”.
Saya dengar seorang penumpang –wanita paroh baya, bertanya pada seorang lelaki muda di sampingnya. Lelaki muda itu orang kulit putih. Sebelumnya saya sempat bertanya asal negara dia.
“Tidak. Saya sudah makan”.
Saya memang melihat lelaki itu makan, sewaktu bis menunggu penumpang cop pasport dan pemeriksaan barang, di perbatasan Entikong-Tebedu. Dia bawa bekal dari Kuching.
“Saya kurang suka makan di tengah jalan. Kebanyakan tidak higienis”.
“Oo,”
Ibu paroh baya itu terdiam. Melongo. Saya kira mulutnya pasti membentuk bundaran. Sayang saya tidak bisa membalikkan badan melihat keadaan dia. Tak sopan.
Tapi bukan mulut ibu itu yang buat saya terkesan. Saya terkesan pada kata “higienis” si bule itu.
Saya jadi merenung apa yang bisa disaksikan di rumah makan, di tempat-tempat bis berhenti itu.
Saya mengiyakan penilaian si bule. Rasanya, saya bisa melihat betapa joroknya rumah makan di sepanjang jalan.
Piring hitam. Sendok berkerak. Air dalam gelas berminyak –beleming. Nasi juga tidak segar. Entah beras kelas apa yang mereka masak.
Ikan-ikan dan ayam juga begitu. Jenis-jenis gorengan mungkin sudah berapa kali naik angkat dari dalam kuali minyak panas. WC yang bau pesing dan lantainya penuh daki.
Sering saya mendengar ada penumpang mengatakan neg, kalau sudah makan. Atau, masuk WC jadi ingin muntah.
Lebih parah lagi, sudahlah kualitas makanan kurang, harga makanan jangan disebut. Jauh di atas harga makanan di rumah makan biasa.
Makan dengan nasi + ayam dan sayur, bisa mencapai Rp 20 ribu.
Saya tak bisa hitung, berapa kali singgah di rumah makan di jalan. Belum pernah saya bayar di bawah Rp 10 ribu, untuk nasi+ satu jenis lauk. Belasan ribu.
Pada mulanya saya sering mendengar pertanyaan mengapa bis suka berhenti di tempat begitu. Mengapa bis tidak memilih makan di rumah makan yang murah, agak bersih, dan lumayan enak.
Saya pun sering kali bertanya hal itu. Dahulu.
Tetapi, belakangan saya tahu jawabannya.
“Kan ada kerja sama antara orang bis dan rumah makan,”
“Lihatlah, sopir dan kenek itu makan di ruang khusus. Sajiannya khusus. Dapat rokok, minuman suplemen,”
Kata teman, sopir-sopir angkutan umum itu tidak bayar.
“Malah kadang juga mereka dapat uang saku,”
“Rugilah rumah makan?”
“Ya, ndaklah. Mereka ‘kan dapat dari penumpang yang membayar mahal makanan.
Coba, hitung, sekali orang berhenti makan, berapa dia untung,”
Wow, luar biasa. Tentu saja saya tidak percaya sepenuhnya informasi itu. Tetapi, saya tidak mungkin membantahnya ketika melihat pilihan yang buruk para awak bis. Ya, pilihan yang buruk karena mereka memilih berhenti di rumah makan yang tidak higenis dan mahal harganya.
Mungkin memang ada kolusi.
Mungkin, kolusi tidak hanya di kantor-kantor. Kolusi juga ada di jalanan. Ya, di mana-mana. Kalee...


Baca Selengkapnya...