Jumat, 03 April 2009

Kolusi di Jalanan

Yusriadi-Redaktur Borneo Tribune

Hari itu, saya naik bis dari Kuching ke Pontianak. Di tengah perjalanan, bis itu berhenti di sebuah rumah makan. Jadwal makan siang.
Saya sudah hafal tentang banyak hal di sini. WC-nya. Nasinya. Sayur-sayurnya. Tentang minumannya. Piringnya. Gelasnya.




Saya hafal bukan karena ingatan saya kuat. Saya hafal karena bis penumpang antar negara sering kali berhenti di sini. Bis ini – maaf tak saya sebutkan namanya di sini, hampir selalu berhenti di sini. Bis lain, lain juga tempat berhentinya.
Mengapa begitu? Saya tidak tahu. Saya kira pilihannya lebih pada pilihan awak bis, atau perusahaan bis. Pasti bukan pemerintah mengeluarkan instruksi soal terminal perhentian. Pemerintah kita tidak punya kebijakan seperti pemerintah di Malaysia yang membuat bis-bis terpaksa berhenti makan di setiap stasiun bis – buktikan saja kalau naik bis Pontianak – Brunei.
Di sini, bis punya kuasa sendiri.
Penumpang turun satu per satu. Saya, karena duduk agak belakang, turun juga agak belakang.
“Ndak turun? Makan”.
Saya dengar seorang penumpang –wanita paroh baya, bertanya pada seorang lelaki muda di sampingnya. Lelaki muda itu orang kulit putih. Sebelumnya saya sempat bertanya asal negara dia.
“Tidak. Saya sudah makan”.
Saya memang melihat lelaki itu makan, sewaktu bis menunggu penumpang cop pasport dan pemeriksaan barang, di perbatasan Entikong-Tebedu. Dia bawa bekal dari Kuching.
“Saya kurang suka makan di tengah jalan. Kebanyakan tidak higienis”.
“Oo,”
Ibu paroh baya itu terdiam. Melongo. Saya kira mulutnya pasti membentuk bundaran. Sayang saya tidak bisa membalikkan badan melihat keadaan dia. Tak sopan.
Tapi bukan mulut ibu itu yang buat saya terkesan. Saya terkesan pada kata “higienis” si bule itu.
Saya jadi merenung apa yang bisa disaksikan di rumah makan, di tempat-tempat bis berhenti itu.
Saya mengiyakan penilaian si bule. Rasanya, saya bisa melihat betapa joroknya rumah makan di sepanjang jalan.
Piring hitam. Sendok berkerak. Air dalam gelas berminyak –beleming. Nasi juga tidak segar. Entah beras kelas apa yang mereka masak.
Ikan-ikan dan ayam juga begitu. Jenis-jenis gorengan mungkin sudah berapa kali naik angkat dari dalam kuali minyak panas. WC yang bau pesing dan lantainya penuh daki.
Sering saya mendengar ada penumpang mengatakan neg, kalau sudah makan. Atau, masuk WC jadi ingin muntah.
Lebih parah lagi, sudahlah kualitas makanan kurang, harga makanan jangan disebut. Jauh di atas harga makanan di rumah makan biasa.
Makan dengan nasi + ayam dan sayur, bisa mencapai Rp 20 ribu.
Saya tak bisa hitung, berapa kali singgah di rumah makan di jalan. Belum pernah saya bayar di bawah Rp 10 ribu, untuk nasi+ satu jenis lauk. Belasan ribu.
Pada mulanya saya sering mendengar pertanyaan mengapa bis suka berhenti di tempat begitu. Mengapa bis tidak memilih makan di rumah makan yang murah, agak bersih, dan lumayan enak.
Saya pun sering kali bertanya hal itu. Dahulu.
Tetapi, belakangan saya tahu jawabannya.
“Kan ada kerja sama antara orang bis dan rumah makan,”
“Lihatlah, sopir dan kenek itu makan di ruang khusus. Sajiannya khusus. Dapat rokok, minuman suplemen,”
Kata teman, sopir-sopir angkutan umum itu tidak bayar.
“Malah kadang juga mereka dapat uang saku,”
“Rugilah rumah makan?”
“Ya, ndaklah. Mereka ‘kan dapat dari penumpang yang membayar mahal makanan.
Coba, hitung, sekali orang berhenti makan, berapa dia untung,”
Wow, luar biasa. Tentu saja saya tidak percaya sepenuhnya informasi itu. Tetapi, saya tidak mungkin membantahnya ketika melihat pilihan yang buruk para awak bis. Ya, pilihan yang buruk karena mereka memilih berhenti di rumah makan yang tidak higenis dan mahal harganya.
Mungkin memang ada kolusi.
Mungkin, kolusi tidak hanya di kantor-kantor. Kolusi juga ada di jalanan. Ya, di mana-mana. Kalee...


0 komentar: