Jumat, 10 April 2009

Terminal Kapuas Indah

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Wow, hebat!!!
Saya berseru dalam hati ketika menyaksikan terminal Kapuas Indah, Pontianak, Selasa sore lalu (7/4/2009). Kebetulan saya melintas di kawasan itu saat mengantar Emak mudik ke kampung, ikut bis Valenty yang memunggah penumpang di terminal Kapuas Indah. Melintas, karena saya tidak turun dari motor. Buru-buru.
Saya merasa takjub dengan kemajuan pembangunan di kawasan ini.


Saya mengagumi konsep pembangunan: terminal yang memanjang, di atasnya ada bangunan. Bangunan itu membentuk atap pelindung bagi oplet menurunkan dan menaikkan penumpang.
Saya takjub melihat keadaan sekarang. Saya kira, ini suatu konsep pembangunan yang mencerminkan cita rasa terminal modern. Setidaknya lebih modern dibandingkan keadaan terminal sebelum ini.
Saya merasa gah. Saya akan bisa membanggakan terminal ini di mata teman-teman yang berasal dari luar Kalbar. Biar mereka tahu, bahwa perencana pembangunan di Pontianak, memiliki wawasan yang modern juga.
Jujur saja, sering kali saya malu jika membaca tulisan yang menampilkan kesan orang terhadap Pontianak. Misalnya, ada seorang penulis yang membandingkan Pontianak sebagai sebuah kota yang 50 tahun terbelakang, dibandingkan kota mereka. Katanya melihat kota Pontianak mengingatkan mereka keadaan kota mereka tahun 1950-an.
Mereka membandingkan keadaan transportasi lokal. Mereka membandingkan pedagang-pedagang kecil di pinggir jalan. Mereka membandingkan bangunan-bangunan yang mereka lihat. Mereka membandingkan penataan kota. Mereka membandingkan pemerintah mengurus kota.
Kita bisa membayangkan sendiri keadaan itu. Bahkan orang kita sendiri sering menyebut kota kita sebagai kota yang kumuh. Orang sering menyebut kota Pontianak macam kota tak ada penjaganya.
Orang kita sering menyebut bandingan antara bumi dan langit saat membandingkan kota Pontianak dengan Kuching, Malaysia.
Nah, pembangunan terminal Kapuas Indah, saya kira pasti akan mencerminkan gambaran yang lain, di pasar kota ini.
Hanya saja.. .
Oh, Tuhan.
Masih bergema pujian saya untuk pembangunan kota Pontianak, senyum gah saya masih belum samar, tiba-tiba saya melihat situasi yang kontras. Situasi yang mencerminkan kota Pontinak tahun 1950-an itu.
Di seberang terminal, di jalan keluar dari kawasan Kapuas Indah, saya melihat sejumlah oplet berhenti, menunggu penumpang. Mereka tidak menunggu penumpang di terminal yang baru dan modern. Mereka malah menunggu di luar terminal.
Oplet menunggu di luar terminal, menunjukkan cita rasa yang hambar. Ada apa? Mengapa mereka tidak betah di dalam terminal yang indah itu, beratur menunggu giliran?
Apakah terminal itu hanya indah dari kesan pertama, tetapi, buruk jika sudah berada di sana lama?
Macam-macam dalam bayangan saya.
Apakah terminal ini bau –terutama bau pesing, seperti umumnya terminal di tempat kita?
Apakah terminal ini menakutkan penumpang, sehingga penumpang ogah mampir ke sana? Apakah ada preman dan tukang palak, atau calo-calo yang terlalu gigih berusaha memaksa penumpang di sini, sehingga sopir oplet dan penumpang takut?
Saya tak menemukan jawaban itu. Saya tidak mencarinya. Saya pikir, biarlah pemerintah kota yang turun ke sana bertanya-tanya. Biarlah para pengelola terminal yang mencari tahu.
Sepanjang perjalanan pulang dari Kapuas Indah ke rumah, saya terus menghayal. Andainya terminal yang baru ini ditata dengan baik, sehingga menambah cita rasa modern secara fisikal. Andai saja pemerintah kota menjadikan penataan kawasan tertib, indah dan aman dari terminal ini, kemudian melebar ke kawasan lain... Andai saja pemerintah mulai menunjukkan bahwa mereka mampu menjadi pengelola kota ini.
Saya kira pasti lebih indah.
Lalu, mengapa mereka nampak berwibawa di mata para sopir?
Mengapa mereka tidak bisa memelihara dan menjaganya keindahan dan ketertiban di terminal ini?
Mengherankan.
Suatu saat saya ingin mengagumi pemerintah kota karena hal itu. Semoga.


0 komentar: