Sabtu, 16 Mei 2009

Dari Lomba Menulis Cerpen Tingkat SMP: MEREKA YANG MELAMPAUI DUNIANYA

Oleh: Yusriadi

“Oo…. Tingkat SMP?”
Mulut saya membentuk huruf ‘o’. Lebar. Terbuka agak lama. Mungkin, jika ada serangga lewat, serangga akan langsung masuk ke bundaran ‘o’ itu.
Saya terkejut. Takjub. Spontan.
Saya perlihatkan keterkejutan itu pada Dedy Ari Asfar,MA teman saya yang sama-sama jadi juri pada lomba cipta cerpen berbahasa Indonesia tingkat Siswa SMP tahun 2009.
Kala itu, Senin (4/5), saya bersama Dedy –dan Pay Jarot, Yoseph Oedila Oendon, dan Nindwihapsari, menjadi Dewan Juri Lomba tersebut di Kantor Balai Bahasa Pontianak.


Saya baru menyadari bahwa peserta lomba adalah anak-anak SMP setelah menyimak benar-benar lembaran penilaian – setelah Dedy mengingatkan saya.
Semula saya mengira, peserta lomba adalah anak-anak SMA. Saya hanya melihat sepintas lalu – tidak mengamati, wajah anak-anak yang duduk di kursi menghadap meja yang disusun melingkar, di ruang rapat Kantor Balai Bahasa Pontianak. Badan mereka menurut saya, sudah besar.
Sewaktu menerima permohonan menjadi juri lomba –yang disampaikan Kordinator Juri Nindwihapsari, saya juga tidak menyimak siapa peserta lomba penulisan itu. Yang saya ingat, peserta lomba adalah pelajar.
Saya merasa terkesan pada mereka. Mereka, anak-anak kecil itu telah menunjukkan kemampuan yang mengagumkan dalam soal menulis. Setidaknya, dibandingkan anak seusia mereka. Bahkan dibandingkan banyak anak di tingkat perguruan tinggi, kemampuan anak SMP itu sudah layak dibandingkan.

***

Oleh karena itu, saya anggap menjadi sangat wajar jika Panitia Lomba memberikan nilai kreativitas lebih tinggi dibandingkan aspek lain yang dinilai. Jika aspek lain – seperti tema, latar belakang, tokoh, dll, bobotnya 1, kreatvitas mendapat nilai 3. Penghargaan untuk kreativitas lebih tinggi karena justru kelebihan seorang penulis cerita sering kali muncul pada aspek ini. Karya-karya terbaik biasanya tercipta dari kreativitas penulisnya. Tidak heran jika para ilmuan mengelompokkan penulisan cerpen sebagai bentuk penulisan kreatif.
Dan, bukan saya saja yang takjub pada proses kreativitas anak-anak itu. Juri lain juga begitu.
“Sewaktu seumur itu, saya belum bisa menulis,” kata Dedy, saat menyampaikan revieuw hasil penilaian, sebelum pengumuman pemenang babak penyisihan.
Pay Jarot, seniman pelopor di Kalbar, pada saat yang sama, juga tak dapat menyimpan ketakjubannya.
“Wow, hebat”.
Kata Pay, “Kalau ada tempat, seharusnya delapan-delapannya masuk final”.
Sayang, tempatnya hanya ada 5. Tiga peserta harus tereliminasi. 3 anak wakil daerahnya, harus pulang dengan ‘kecewa’.
Begitu juga Yoseph Oendoen. Seniman dari Taman Budaya ini juga memuji kemampuan anak-anak tersebut.
Saya mengulang pujian mereka ketika ketika diberi kesempatan bicara. Tepuk tangan lebih layak diberikan untuk mereka sebagai bentuk salut.
Saya ingin terus menyemangati mereka. Saya ingin semangat itu terus tumbuh, dan karya terbaik terus lahir dari anak-anak itu.

***

Apresiasi yang lebih besar kepada kegiatan menulis anak-anak seharusnya ditumbuhkembangkan. Terus menerus diberikan.
Anak-anak harus didorong untuk menjadi seorang penulis. Sehingga motivasi menulis menjadi lebih tinggi. Tinggi dan terus tinggi. Membumbung.
Itulah yang saya pesankan kepada guru pendamping.
Saya juga mengharapkan para guru menumbuhkan kelompok menulis di sekolah. Biar yang dapat menulis bukan cuma satu anak. Lagi, sukar membayangkan seseorang bisa maju sendiri tanpa dukungan komunitas.
Sebab menurut pengalaman saya, motivasi dari komunitas jauh lebih besar dorongannya dalam membantu perkembangan seseorang. Justru, komunitas ini yang akan saling mendorong ketika motivasi menulis mulai lambat. Komunitas ini menghidupkan kembali ketika mood menulis mulai lembab.
Saya memiliki banyak teman yang memiliki kemampuan menulis bagus, tetapi tidak banyak karya mereka, karena motivasi menulis mereka rendah. Skripsi, makalah, menjadi satu-satunya karya mereka. Karya-karya itu lahir karena mereka terpaksa harus melahirkan karya itu.
Bukannya mereka tidak bisa menulis. Bukannya mereka tidak punya ide yang dapat dituangkan ke dalam tulisan. Bukan juga mereka tidak menyadari bahwa menulis itu sangat penting.
Bukan. Mereka punya semua itu.
Namun mereka tidak menulis karena keinginan menulis tidak kuat. Keinginan menulis lemah. Keinginan menulis kalah kuat dibandingkan kemauan lain: misalnya kesenangan untuk omong-omong saja, dll.

***

Memang benar dalam Islam ada konsep: belajar di waktu kecil bagai melukis di atas batu, belajar setelah dewasa bagai menulis di atas air.
Belajar di waktu kecil akan kekal. Belajar setelah dewasa, cenderung mudah hilang.
Saya banyak bertemu dengan teman penulis, dan saya bertanya pada mereka, bagaimana mulanya tumbuh kecintaan pada dunia tulis. Saya menemukan sebagian besar dari mereka tumbuh kecintaan terhadap menulis sejak kecil. Ada orang-orang penting di sekitar mereka yang mendorong mereka menjadi penulis. Ada orang di sekitar mereka, yang mereka kagumi karena menulis. Entah guru, entah orang tua, entah saudara. Ada orang di sekitar mereka yang memberikan mereka buku –umumnya buku cerita dan majalah, yang mula memperkenalkan mereka pada hobby tersebut.
Saya merasa, anak-anak SMP yang ikut lomba kali ini sangat beruntung karena mereka sudah masuk ke dalam wilayah budaya menulis. Mereka beruntung sudah difasilitasi oleh guru dan ada lembaga seperti Balai Bahasa – Dinas Pendidikan yang menyadari pentingnya menumbuhkan budaya menulis sedari kecil.
Dengan fasilitasi ini, anak-anak harus menjaga agar dirinya tetap ‘on the track’, --dalam lintasan budaya tulis. Mereka harus belajar menjadi orang dewasa yang dapat mandiri –dan tidak banyak bergantung pada orang lain, agar tetap menjadi penulis.
Selain itu tentu, orang tua harus membantu membimbing anak mereka agar anak-anak itu bisa berjalan di atas lintasan yang benar. Paling tidak mereka memberikan dukungan moral dan material untuk itu.
Guru di sekolah juga harus mengambil inisiatif membuat anak-anak berkembang. Bukan saja dalam beberapa tahun ini – sampai mereka tamat SMP, tetapi hingga setelah itu, sepanjang yang dapat.
Guru sekolah menengah atas (SMA) yang kelak jadi pilihan anak-anak itu harus membantu estafet tongkat bimbingan itu.
Anak-anak itu harus dibimbing. Karena jika tidak, potensi mereka akan redup. Anak-anak itu akan menjadi anak yang malang. Kita-kita juga rugi besar karena mereka adalah asset untuk masa depan kita. Mereka adalah asset peradaban kita.







2 komentar:

amrin mengatakan...

Saya hanya mendengar dari Pay tentang kegiatan itu. Saat itu, saya masih di Nanga Tayap. Pay bilang, saya rugi kalau tidak datang ke Pontianak. Namun, saat di sana, ada urusan yang tidak dapat saya tinggalkan. Setelah membaca tulisan Abang, benar kata Pay, saya merasa rugi. Rugi karena tidak terlibat dalam sebuah sejarah.

Yusriadi mengatakan...

Bang Amrin,
Mudah2an mereka berkembang.Mudah2an ada yang menjadi penulis Kalbar kelak.