Rabu, 24 Juni 2009

Naskah Lama

Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Ceramah Pak Nindya Noegraha, dari Perpustakaan Nasional RI di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia Jumat (12/6) kemarin mengingatkan saya pada berita mengenai kerisauan satu dua orang kita terhadap orang luar negeri yang katanya mencuri naskah lama dari tempat kita.



Saya teringat hal itu karena Pak Nindya berceramah tentang jumlah dan isi koleksi naskah lama di Perpustakaan Nasional RI. Beliau menyinggung tentang pemanfaatan isi naskah, juga tentang penyelamatan naskah dan keadaan naskah yang masih di tangan pemilik.
Ceramah Pak Nindya memancing banyak tanggapan baik mahasiswa Indonesia, maupun professor di UKM. Macam-macam tanggapan yang diberikan. Banyak pula informasi yang ditambahkan. Selain tentu saja beberapa pertanyaan diajukan peserta untuk pejabat di Perpustakaan Nasional ini.
Dari banyak tanggapan, kondisi pernaskahan paling banyak dikomentari. Di sana sini diungkapkan pengalaman mereka berjumpa dengan naskah-naskah yang kini memprihatinkan. Ada peneliti yang baru pulang dari kantor penyimpanan naskah di Sulawesi, yang melaporkan naskah-naskah yang kini lapuk di tempat penyimpanan itu.
“Naskah itu tidak boleh disentuh, ditengok saja dalam kaca. Padahal, naskah itu belum dibuatkan microfilm dan belum juga dibuatkan digitalisasi”.
Lha, ini di kantor pemerintah.
Di rumah penduduk ada cerita lain.
“Kami terjumpa ada penduduk yang simpan naskah dalam plastik. Naskah itu sekarang nampak rusak-lah,” kata seorang professor melaporkan apa yang dilihatnya di Sumatera.
Prihatin? Tentu.
Karena itu ada peserta yang mendesak agar pemerintah- dalam hal ini Perpustakaan Nasional RI melakukan penyelamatan.
Bisakah? Ternyata tidak mudah.
“Sekarang sudah disentralisasi. Pusat tidak bisa lagi. Itu kewenangan daerah,” kata Pak Nindya.
Peserta diam, lalu ada yang bisik-bisik. Saya mendengar beberapa di antaranya,
“Teroklah”.
Maksudnya, hancurlah! Ya, kalau begitu, boleh diramalkan, naskah-naskah yang tadi dilaporkan memprihatinkan itu, akan hancur. Tidak ada yang menyelamatkan. Perpustakaan Nasional yang ‘hanya’ punya dana Rp1 M untuk pengembangan koleksi, jelas tak bisa diharap.Soal wewenang. Daerah yang menyimpan naskah itu juga tak bisa diharap. Tak tahu cara menyelamatkan, dan mungkin tidak ada dana untuk konservasi. Urusan naskah lama tidak penting saat ini dibandingkan urusan bangun jalan, atau jalan-jalan.
Lalu, pasrah! Pasrah saja kalau kita kehilangan naskah lama, dan kita akan kehilangan selama-lamanya.
Nah, inilah yang membuat saya teringat komentar beberapa orang di Indonesia yang risau karena banyak naskah kita yang dibawa orang ke luar negeri; ke Belanda, Singapura, Malaysia dan Brunei.
Komentator itu menuding orang luar negeri telah mencuri naskah. Media nasional memblowupnya. Bahkan ada yang ikut-ikut mengutuk.
Kita pun jadi turut prihatin, tak tentu rudu.
Tetapi, mendengar dialog bersama Pak Nindya itu, saya jadi membanding-bandingkan; prihatin mana: apakah prihatin terhadap naskah yang kini tersimpan di musium dan perpustakaan luar negeri, atau prihatin terhadap naskah yang lapuk dan akan punah yang disimpan pemiliknya di dalam negeri.
Dalam bayangan saya, naskah kita yang sudah berjalan ke luar negeri sekarang ini pasti lebih selamat. Tempatnya sudah jelas. Kalau kita rindu,kita bisa temui di sana. Ruang penyimpanan mereka lebih baik: suhu dan cahaya dijaga agar kertas tahan lama. Naskah-naskah itu juga dilindungi dari ngengat dan rayap.
Sekurang-kurangnya isinya sudah didigitalisasi dan dibuatkan dalam bentuk microfilm. Isi naskah masih dapat digunakan oleh siapapun, oleh orang yang pandai menggunakannya.
Sedangkan naskah yang di tempat kita? Mungkin 20 tahun lagi benar-benar akan jadi debu. Mungkin 20 tahun lagi sudah berlubang di sana-sini dikorek rayap. Mungkin 15 tahun lagi hurufnya tak dapat dibaca karena kabur dan kertasnya kuning. Mungkin, 20 tahun lagi tak ada yang ingat apa isinya, apa ceritanya. Mungkin 30 tahun lagi tak ada yang ingat apa judulnya. Yang diingat hanya: ada! Ada naskah. Tapi jangan tanya judul, apa isi, berapa lembar, siapa penulis. Lupa.
Lalu, kalau itu benar-benar terjadi, prihatin mana?



Baca Selengkapnya...

“Belum Pegi ke Ponti”

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Jarak lapangan terbang Kuching ke terminal Batu Tiga, Kuching memang tidak jauh. Kalau naik teksi, tak sampai sebatang rokok. Rasanya, sebentar saja naik teksi (taksi), sudah sampai. Bayarnya RM 22,00 (+Rp 60 ribu). Agak lumayan untuk ukuran saya.



Tetapi, walaupun dekat, naik teksi selalu mengasyikkan. Asyik karena, selalu, saat naik teksi, saya dapat berkomunikasi dengan orang Kuching – berkenalan dan berborak-borak (ngobrol). Bandingkan kalau kita ketemu mereka di jalan, di pasar, atau di mana gitu; mungkin mengajak mereka ngobrol susahnya minta ampun. Rasanya, mereka agak kurang ramah. Maklum, sibuk.
Tapi, kalau di dalam teksi lain. Kadang mereka yang mulai bertanya, kadang saya.
Dan, hampir selalu, drebar (sopir), orangnya ramah-ramah. Entah itu drebar orang Melayu, atau drebarnya orang Cina, semuanya boleh tahan – saya belum pernah jumpa drebar orang Iban, Bidayuh atau India.
Apa yang ditanya dijawabnya.
Nah, beberapa hari lalu, saya bercakap dengan seorang drebar Melayu. Setelah berkenalan – saya tahu dia berasal dari daerah dekat Lubuk Antu (Badau). Saya dapat lebih ‘akrab’ lagi karena saya pernah pergi melakukan (sedikit) penelitian doktoral daerah asal dia. Jadi agak nyambung.
Lebih seru lagi dia pernah menjadi tentara di tahun 1970-an. Jadi, kami dapat bercakap soal Ambalat dan juga soal Konfrontasi Indonesia – Malaysia di perbatasan.
Dia pun balas bertanya tentang saya.
“Kampung saya tidak jauh dari Badau, dekat Lubuk Antu itu. Sekarang saya tinggal di Pontianak,”
“O, Pontianak”.
“Pak Cik sudah pergi ke Pontianak?”
“Belum”.
“Belum? Bila mau pegi?”
Saya agak heran. Dalam bayangan saya, seharusnya dia sudah ke Pontianak. Sebab umurnya sudah di atas lima puluh. Dia pensiunan pegawai kerajaan. Jadi, sepatutnya sudah ke Pontianak, untuk berlibur.
“Tak ada masa nak pegi”.
“Mau pegi pun, tak tau buat apa”.
Nah itu dia. Saya kira itulah jawaban sebenarnya. Dia tidak tahu apa yang mau dibuat jika ke Pontianak. Melancong? Apa yang bisa dilihat? Apa yang bisa dinikmati?
Jujur saja, saya sendiri juga jadi bingung mempromosikan Pontianak kepadanya. Apa yang akan saya promosikan?
Ah, kalau sudah begini, saya jadi benar-benar malu dengan keadaan kita.
Saya kira, bukan kita tidak punya objek wisata. Punya. Hanya saja, objek itu tidak menjual. Objek wisata yang ada tidak mengesankan.
Ya, kita punya sejarah sebagai salah satu kota tua di pantai barat pulau Borneo. Kita punya sejarah sebagai salah satu kota yang dilalui garis khatulistiwa. Kita punya sungai, sungai yang terpanjang di Indonesia. Kita punya keragaman penduduk. Kita punya barang dagangan yang murah –dibandingkan Malaysia.
Saya bayangkan jika kita bisa jual semua itu, pasti luar biasa. Saya pun terbayang orang luar itu akan menjadikan Kalbar sebagai alternative kunjungan di akhir pekan. Takkan ada lagi orang seperti drebar teksi yang bilang „Mau pegi ke Pontianak, tak tau buat apa?“
Tapi, saya segera tersadar. Pasti tidak mudah. Pasti akan banyak masalah.
Jangan-jangan, ujung-ujungnya justru keburu orang Pontianak yang lebih suka melancong ke Malaysia. Maklum, tiket Air Asia sekarang murah banget. Sekali jalan orang bisa cuma bayar Rp150 ribu. Lebih murah dari tiket bis. Selain itu, banyak tempat menarik di sini yang biasa dikunjungi orang. Belambak-lambak banyaknya.




Baca Selengkapnya...

Minggu, 07 Juni 2009

Pakai Enggak

Oleh Yusriadi

Beberapa hari lalu saya bertemu dengan tiga Tenaga Kerja Indonesia (TKI)saat menunggu bis di depan kampus UKM Bangi. Ibu itu hendak ke tempat suaminya yang bekerja di sebuah tapak perumahan.
“Suami saya kerja tidak jauh dari tempat komputer’.
Logatnya seperti orang Madura. Cara dia menyebut ‘komputer’ juga mengingatkan saya pada orang Madura yang pernah saya temui dahulu, beberapa tahun lalu di Taman Kajang.



Apatah lagi ibu-ibu ini kulitnya hitam, seperti kebanyakan orang Madura.
Namun setelah kami bercakap barulah saya tahu dia asal NTB. Dia memberitahu berasal dari daerah sekitar Lombok.
Dia datang ke Malaysia melalui Kalimantan Timur. Masuk ke Sabah. Di Sabah, ibu itu sempat bekerja selama 2 bulan, lalu karena gajinya kecil, dia mencoba ke Kuala Lumpur.
“Saya sudah kerja di sini tujuh tahun”.
Kerasan? Tentu saja tidak. Namun tuntutan kehidupan yang menyebabkan mereka harus bertahan, tanpa memikirkan kerasan atau tidak.
Dia pun mengungkapkan keheranannya tentang saya.
“Kamu orang Indon juga?”
Ah,sebutan itu… Sebutan itu tidak disukai kawan-kawan pelajar di Malaysia. Kesannya melecehkan. Tetapi, lihat, orang Indonesia sendiri lebih senang pakai itu. Mereka tidak merasa melecehkan ketika menggunakan kata Indon.
“Ya. Saya orang Kalimantan”.
“Saya kira orang mana”.
Lantas dia mengungkapkan, ada banyak orang Indonesia di kampus UKM.
“Banyak. Indon juga’”.
Saya tertarik. Memang, saya ada lihat banyak ibu-ibu terutama pekerja bagian kebersihan yang nampaknya orang Indonesia. Namun saya tidak pernah bicara dengan mereka, karena mereka sibuk.
“Kerja apa mereka?”
Saya bertanya begitu karena saya kira orang Indonesia yang ibu-ibu itu maksudkan adalah teman dia.
“Bukan, mereka setuden”.
Saya mengangguk. Senyum.
Ibu itu juga tersenyum. Senyum saya makin lebar. Saya merasa lucu mendengar dia mengeja ‘setuden’. Sama seperti tadi, ketika dia menyebut komputer. Sebenarnya ‘komputer’ mereka itu bukan komputer yang kita pakai untuk ngetik. Komputer mereka adalah “komuter” nama untuk kereta api listrik. Di dekat kampus UKM ada satu stasiun komuter, kecil. Namanya “Stesen UKM”.
Tapi, agaknya bagi teman baru saya ini, komuter sama dengan komputer. Biarlah.
“Tak kenal mereka?” ibu itu bertanya lagi.
Saya menggeleng.
“Mudah, kalau mau kenal mereka. Setuden Indon tu kalau ngomong pakai ngak-ngak”.
“Ya,Bu?”
“Ya”.
Waw. Sederhana. Tetapi benar. Sekalipun “enggak” atau “gak” itu bahasa orang Jakarta namun di Malaysia memang dianggap ciri Indonesia.
Saya jadi ingat, dahulu, orang Malaysia yang saya kenal, jika bicara dengan saya dalam bahasa Indonesia tiruan, selalu menggunakan kata ‘enggak’ dan ‘bapak’ sebagai ciri utama. Bagi mereka, kata itu sudah mencerminkan ke-Indonesiaan.
Saya sempat melupakan ‘kesimpulan itu’. Karena di Pontianak saya banyak juga kenal orang yang senang pakai kata ‘enggak’ atau ‘gak’. Kesannya “Njakarta”, “Maju” dan ‘bergengsi’. Jauh beda dibandingkan pakai kata ‘ndak’ yang mencerminkan ‘’pontianak’. Jadi tak ada sedikit pun kesan ‘ke-Indonesiaan’ di sana.
Pada tahun 1998 saya juga kenal dengan orang pelajar di UKM dari Aceh. Dia simpatisan Gerakan Aceh Merdeka, waktu itu GAM menjadi musuh Indonesia. Dia paling tidak suka orang Jawa. Namun, kalau bicara, dia pun menggunakan ‘nggak’ juga. Pasti, sedikit pun tidak ada ciri ke-Indonesiaan pada kata ‘enggak’ simpatisan GAM ini. Lalu, ciri apa? Gengsi? Modern?
Saya sempat berpikir-pikir: apa makna secara sosiolinguistiknya?
Pelik sungguh, kata orang Malaysia.
Tak sempat lama saya merenung kesimpulan sederhana yang dikemukakan ibu dari NTB ini, bis yang ditunggu tiba. Kami naik. Tempat terpisah. Obrolan terputus. Namun, saya bersyukur, saya bertemu dan berbicara dengan orang satu bangsa. Kami menunjukkan persamaan: sama-sama orang Indonesia yang naik bis di rantau orang. Walaupun kami sama-sama tidak memakai kata enggak di dalam percakapan beberapa menit lalu.


Baca Selengkapnya...