Rabu, 24 Juni 2009

“Belum Pegi ke Ponti”

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Jarak lapangan terbang Kuching ke terminal Batu Tiga, Kuching memang tidak jauh. Kalau naik teksi, tak sampai sebatang rokok. Rasanya, sebentar saja naik teksi (taksi), sudah sampai. Bayarnya RM 22,00 (+Rp 60 ribu). Agak lumayan untuk ukuran saya.



Tetapi, walaupun dekat, naik teksi selalu mengasyikkan. Asyik karena, selalu, saat naik teksi, saya dapat berkomunikasi dengan orang Kuching – berkenalan dan berborak-borak (ngobrol). Bandingkan kalau kita ketemu mereka di jalan, di pasar, atau di mana gitu; mungkin mengajak mereka ngobrol susahnya minta ampun. Rasanya, mereka agak kurang ramah. Maklum, sibuk.
Tapi, kalau di dalam teksi lain. Kadang mereka yang mulai bertanya, kadang saya.
Dan, hampir selalu, drebar (sopir), orangnya ramah-ramah. Entah itu drebar orang Melayu, atau drebarnya orang Cina, semuanya boleh tahan – saya belum pernah jumpa drebar orang Iban, Bidayuh atau India.
Apa yang ditanya dijawabnya.
Nah, beberapa hari lalu, saya bercakap dengan seorang drebar Melayu. Setelah berkenalan – saya tahu dia berasal dari daerah dekat Lubuk Antu (Badau). Saya dapat lebih ‘akrab’ lagi karena saya pernah pergi melakukan (sedikit) penelitian doktoral daerah asal dia. Jadi agak nyambung.
Lebih seru lagi dia pernah menjadi tentara di tahun 1970-an. Jadi, kami dapat bercakap soal Ambalat dan juga soal Konfrontasi Indonesia – Malaysia di perbatasan.
Dia pun balas bertanya tentang saya.
“Kampung saya tidak jauh dari Badau, dekat Lubuk Antu itu. Sekarang saya tinggal di Pontianak,”
“O, Pontianak”.
“Pak Cik sudah pergi ke Pontianak?”
“Belum”.
“Belum? Bila mau pegi?”
Saya agak heran. Dalam bayangan saya, seharusnya dia sudah ke Pontianak. Sebab umurnya sudah di atas lima puluh. Dia pensiunan pegawai kerajaan. Jadi, sepatutnya sudah ke Pontianak, untuk berlibur.
“Tak ada masa nak pegi”.
“Mau pegi pun, tak tau buat apa”.
Nah itu dia. Saya kira itulah jawaban sebenarnya. Dia tidak tahu apa yang mau dibuat jika ke Pontianak. Melancong? Apa yang bisa dilihat? Apa yang bisa dinikmati?
Jujur saja, saya sendiri juga jadi bingung mempromosikan Pontianak kepadanya. Apa yang akan saya promosikan?
Ah, kalau sudah begini, saya jadi benar-benar malu dengan keadaan kita.
Saya kira, bukan kita tidak punya objek wisata. Punya. Hanya saja, objek itu tidak menjual. Objek wisata yang ada tidak mengesankan.
Ya, kita punya sejarah sebagai salah satu kota tua di pantai barat pulau Borneo. Kita punya sejarah sebagai salah satu kota yang dilalui garis khatulistiwa. Kita punya sungai, sungai yang terpanjang di Indonesia. Kita punya keragaman penduduk. Kita punya barang dagangan yang murah –dibandingkan Malaysia.
Saya bayangkan jika kita bisa jual semua itu, pasti luar biasa. Saya pun terbayang orang luar itu akan menjadikan Kalbar sebagai alternative kunjungan di akhir pekan. Takkan ada lagi orang seperti drebar teksi yang bilang „Mau pegi ke Pontianak, tak tau buat apa?“
Tapi, saya segera tersadar. Pasti tidak mudah. Pasti akan banyak masalah.
Jangan-jangan, ujung-ujungnya justru keburu orang Pontianak yang lebih suka melancong ke Malaysia. Maklum, tiket Air Asia sekarang murah banget. Sekali jalan orang bisa cuma bayar Rp150 ribu. Lebih murah dari tiket bis. Selain itu, banyak tempat menarik di sini yang biasa dikunjungi orang. Belambak-lambak banyaknya.




0 komentar: