Minggu, 12 Juli 2009

Catatan dari Peluncuran Buku “Menapak Jalan Dakwah”

Judul: Menapak Jalan Dakwah
Editor: Ambaryani dan Marisa
Penerbit: STAIN Pontianak Press
Tahun: 2009

MENGASAH KEMAMPUAN MENULIS MAHASISWA

Oleh Yusriadi

Sabtu (27/6/2009). Selain meluncurkan buku “Menunggu di Tanah Harapan (Yusriadi, dkk 2009), Ketua STAIN Pontianak H. Moh. Haitami Salim, juga meluncurkan buku “Menapak Jalan Dakwah”.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan Hardianti, dkk yang diedit oleh Ambaryani dan Marisa. Hardianti, dkk adalah mahasiswa yang mengikuti kelas Feature di Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) di STAIN Pontianak.


Isi buku, berupa profil sejumlah dosen yang mengajar di STAIN Pontianak, dan profil mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di STAIN Pontianak. Profil-profil ini ditulis berdasarkan hasil wawancara dengan masing-masing sosok, ditambah lagi dengan wawancara terhadap orang yang dekat dengan sosok itu.
Setiap sosok itu digambar aspek riwayat hidup-- dari kecil hingga sekarang, digambarkan juga perjalanan mereka dalam menuntut ilmu, karya-karya yang relevan dengan bidang pekerjaan mereka, serta prinsip-prinsip hidup mereka.
Profil-profil itu dikisahkan dengan persembahan yang menarik. Mahasiswa menulis kisah itu dengan gaya bertutur. Sebagian menggunakan sudut netral, sebagian lagi malah menggunakan sudut pandang diri sendiri sebagai penulis. Cara bercerita yang beragam dan tidak formal ini memberikan banyak gambaran terutama persepsi penulis terhadap tokoh. Persepsi melengkapi data-data yang ditampilkan.
Gambaran-gambaran isi buku juga memberikan inspirasi. Umumnya, tokoh yang diprofilkan memiliki perjalanan hidup yang penuh lika-liku. Mereka merasakan suka duka kehidupan. Mereka sudah mencicipi pahit manis dan asin dunia ini.
Mereka bisa bertahan karena mereka memiliki prinsip sendiri. Apa yang mereka capai bisa menjadi pelajaran bagi orang lain.

***



Buku ini sangat mengesankan saya. Sebagai pengampu Feature, saya bangga mahasiswa sudah bisa menulis dengan penggambaran yang beberapa di antaranya agak detail. Saya bangga mahasiswa sudah bisa melakukan pengeditan, dan saya bangga mahasiswa sudah bisa menerbitkan tulisan mereka. – Tampilan desain cover juga bagus!
Saya bangga karena akhir dari kelas, mahasiswa bisa menghasilkan buku. Selain ”Menapak Jalan Dakwah”, kelas Feature itu juga telah menerbitkan kumpulan cerpen: “Mimpi di Borneo”.
Penerbitan tulisan ini membuktikan bahwa mahasiswa memiliki kemampuan, jika kemampuan itu diasah. Mahasiswa dapat menghasilkan karya jika mereka mendapatkan bimbingan.
Tentu, untuk mencapai tahap ini tidak bisa sekali jadi. Tidak ada istilah simsilabim. Prosesnya panjang.
Setiap pertemuan mahasiswa harus menulis. Panjang tulisan minimal 10 halaman, 1 spasi.
Mereka bertungkus lumus mengerjakan tugas itu. Lintang pukang, kata orang Melayu. Karena memang, jika semangat tidak kuat, tugas 10 halaman itu amat berat. Sebab, tugas di kampus bukan cuma itu. Ada tugas lain dari dosen lain.
Tetapi saya selalu merasa puas ketika dapat meyakinkan mereka bahwa mengerjakan tugas 10 halaman bukan pekerjaan yang berat. Syaratnya, dinikmati. Tugas harus hayati. Nikmatilah sebagai bagian dari proses pembelajaran. Hayatilah sebagai proses berkarya dan menemukan jati diri.
Saya sering mengaitkan soal berat ringan tugas itu dengan salat. Salat, adalah kewajiban bagi orang Islam. Kalau merasa beragama Islam mestilah salat. Orang yang Islam tetapi tidak salat disebut sebagai orang munafik.
Salat, bagi sebagian orang adalah berat. Banyak orang malas. Tak kata subuh di saat dingin menusuk tulang, di siang hari atau sore di saat lapang pun banyak orang merasa enggan. Ada yang salatnya belang-belang kambing, karenanya.
Sebaliknya, bagi sebagian yang lain, salat bukan hal yang berat. Biasa saja. Salat dikerjakan terus. Tak buang waktu. Penuh. Mengapa bisa begitu? Karena mereka mengerjakan salat dengan kepatuhan. Mereka mengerjakan salat cenderung tepat pada waktunya. Salah akan jadi ringan jika dikerjakan seawal mungkin.
Benar atau tidak, mahasiswa dapat memahami logika itu. Mereka memahami mengapa saya menegur jika mereka mengerjakan tugas last minute. Mereka mengubahnya. Mereka menjadi orang yang mengerjakan tugas seawal mungkin. Tak lagi lalai. Yang lalai akan kena ‘sayok’.
Untuk memperkuat semangat mereka, saya membuat peraturan: dilarang mengeluh. Setiap keluhan akan dibayar dengan karya. Satu keluhan, satu karya. Dua keluhan dua karya Tiga keluhan, tiga karya. Saya pernah memberikan 4 tugas sekaligus karena ada di antara mereka yang mengeluh. Tetapi, sejak itu tidak pernah lagi ada di antara mahasiswa yang berani mengeluh di dalam kelas. Mereka menjadi ‘anak yang manis’.
Kejam. Mungkin. Tetapi, bagi saya mengeluh menimbulkan penyakit. Penyakit hati. Pekerjaan yang ringan sekalipun akan menjadi berat jika disertai dengan keluhan. Mengeluh membuat stress. Stress punca orang menjadi gila. Secara bergurau saya katakan: “Saya tidak ingin menjadi teman bagi orang gila”.
Tentu saja saya memahami sebenarnya menulis banyak bukan pekerjaan mudah. Menulis melibatkan dua isu: keterampilan cara menulis dan bahan. Untuk hal yang berkaitan dengan peningkatan keterampilan mahasiswa dianjurkan menulis dengan meniru pola orang lain dalam menulis. Menulis mengikuti pola jauh lebih mudah dibandingkan menulis tanpa pola. Karena itu membuat kerangka lebih dahulu adalah salah satu jalannya. Baru kemudian kerangka itu dikembangkan.
Sedangkan untuk memudahkan mereka mencari bahan yang akan ditulis, saya meminta mereka menulis tentang dirinya sendiri lebih dahulu. Baru kemudian dia menulit tentang orang tua dan saudaranya. Selanjutnya tentang orang yang berpengaruh dalam kehidupan mereka. Bahan ini sudah tersimpan dalam otak mereka. Tinggal mengeluarkan. Mereka tidak akan kehabisan bahan.
Dan, hasilnya: menyenangkan. Mereka berkarya. Mereka bersemangat. Bahkan, saya mendengar ada seorang mahasiswa yang mengaku dapat membuat karya dari setelah Isya sampai lewat tengah malam. Konon katanya dia menikmati.
”Khan tulis tentang diri sendiri. Jadi, rasanya seperti bernostalgia,”
Motivasi menulis meningkat. Beberapa di antara mahasiswa mengatakan langsung hal itu. Ada juga yang lewat tulisan – yang diposting di blog.
Apresiasi datang dari orang-orang dekat mereka. Bangga, tentu saja!
Bangga itu mengobarkan semangat. Akhirnya, dengan semangat itu, dengan kemampuan itu, mereka menghasilkan buku. Mereka menghasilkan dokumentasi berisi cerita tentang teman dan dosen mereka. Mereka membuktikan diri sebagai orang yang hidup dalam keabadian tulisan.
Lebih dari itu, ini juga bukti aktualisasi mereka.
“Ini bukti kalau kita mau, pasti bisa,” kata Ambaryani, editor buku itu ketika menyampaikan sambutan pada acara peluncuran buku.




0 komentar: