Selasa, 14 Juli 2009

Kuota Pendidikan Pontianak

Oleh Yusriadi

Kebijakan Walikota Pontianak Sutarmidji, soal kuota 5 per sen untuk anak daerah masuk ke sekolah negeri di Kota Pontianak, sungguh mengejutkan.
Itulah yang dirasakan banyak orang ketika membaca berita media pekan ini. Orang terkejut karena menilai kebijakan ini ‘luar biasa’. Masalahnya, biasanya, pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak agar dapat sekolah. Malahan, anak didorong-dorong agar belajar. Diwajibkan! Ada program Wajar 9 tahun! Pemerintah meningkatkan anggaran pendidikan. Pemerintah menaikkan gaji guru. Sekolah yang kurang ditambah. Sekolah yang rendah mutunya ditingkatkan. Yang kurang biaya, dibantu. Pemerintah sangat bergairah menyediakan kesempatan belajar kepada anak: tanpa mengira apakah anak tersebut anak orang kampung atau orang kota, atau apakah anak tersebut Melayu, Dayak atau Tionghoa.



Satu-satunya system yang agak menghambat – yang kemudian coba diatasi-- yaitu seleksi alam. Sistem ini yang menentukan orang yang pintar dan kaya masuk ke sekolah yang bagus dan mahal, sedangkan orang yang kurang mampu masuk ke sekolah yang ‘biasa’. Sekolah-sekolah tertentu melawan system ini dengan system silang, agar segregasi sosial tidak semakin melebar. Pemerintah juga menerapkan kebijakan soal itu – yang jelas sangat berpihak pada semua anak agar mendapatkan kesempatan belajar.
Pemerintah (biasanya) memberikan perhatian lebih pada pendidikan semua orang tanpa mengira batas-batas.
Seorang teman yang kuliah di Universiti Kebangsaan Malasyai yang membaca berita tentang kuota itu sempat mengungkapkan keheranannya: “Pontianak adalah pusat kota di Kalbar, seharusnya kebijakan tidak begitu. Terlalu vulgar cara dia membatasi orang daerah”.
Ini seperti kontraproduktif dibandingkan dengan kebijakan pendidikan nasional selama ini.
Saya sempat membaca berita, Dr. Aswandi pakar pendidikan Kalbar malah menilai kebijakan ini diskriminatif untuk orang daerah. Membatasi kesempatan.
Saya juga merasa heran dengan kebijakan ini.
Apakah impak diskriminatif ini sempat terpikirkan oleh Walikota? Apakah dasar dan dampak kebijakan ini benar-benar sudah dikaji oleh beliau melalui para ekspert?
Memang, kebijakan ini juga untuk melindungi warga kota. Dengan cara ini, bangku sekolah akan lebih banyak diisi oleh pelajar dari dalam kota ketimbang anak daerah.
Kebijakan ini nampaknya senyampang dengan kebijakan system rayonisasi yang diterapkan di beberapa sekolah. Sistem rayon agak lebih mudah diterima – karena ‘bunyi redaksi yang agak lebih logis’. Tujuannya pembinaan. Penerapannya bertahap. Dimulai dari SMP 1, baru kemudian diterapkan di sekolah lain.
Tetapi rupanya, rayonisasi tidak cukup. Walikota nampaknya ingin bunyi yang lebih tegas. Kuota. Pembatasan. Jatah.
Jika niatnya untuk melindungi anak-anak kota, kebijakan ini sungguh mulia. Beliau boleh dianggap pahlawan. Jasanya untuk pendidikan orang kota sungguh besar.
Namun, apakah benar selama ini ada masalah bagi anak kota Pontianak dalam mendapatkan bangku di sekolah negeri? Berapa banyak anak kota yang ingin masuk sekolah negeri, dan gagal karena kalah seleksi dengan anak daerah? Apakah selama ini jatah kursi sekolah negeri terbatas? Semuanya?
Apakah angka tidak bersekolah anak-anak di Pontianak tinggi? Apakah angka-angka itu muncul setelah mereka gagal masuk ke sekolah negeri?
Rasanya, sebaiknya orang mendengarkan hal itu dahulu, untuk memahami latar belakang kebijakan ini. Rasanya, sebaiknya setiap kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang bijak, dari pilihan yang terbaik.




0 komentar: