Selasa, 28 Juli 2009

Mengapa Gadis Melayu Tak Boleh Duduk di Depan Pintu?

Oleh: Yusriadi

Orang Melayu mengenal pantang larang: anak gadis dilarang duduk di depan pintu. Mengapa? Susah dapat jodoh. Lho, memang apa hubungannya? Saya mendapat jawabannya dari orang Jawa di Telaga Arum, Seponti, Kabupaten Kayong Utara, Kalbar.

Sebulan lalu, (bulan Juni), saya mengunjungi mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pontianak (STAIN) yang sedang melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di Desa Telaga Arum, Seponti Jaya, Kabupaten Kayong Utara. Kampung ini, adalah kampung transmigrasi. Penduduk kampung, berasal dari berbagai desa di Jawa – ada orang Jawa dan Sunda.
Saya berkenalan dengan beberapa orang warga yang paling asyik jika diajak ngomong. Mbah Syahril, Mbah Jai, Mbah Ti', Mbah Yem … dan banyak lagi mbah – selain beberapa lagi orang muda dan anak-anak.
Nah, pagi itu, setelah saya dan Zulfikar – ketua Kelompok 6, menghubungi tetangga yang memiliki sumur bor (sumur galian), kami mengikuti Mbah Syahril melihat stok air hujan di rumah beliau. Beliau menunjukkan beberapa tong berisi air hujan, yang boleh diambil untuk air minum. (Air minum di sini ‘hanya’ air hujan).
Mbah dikenal paling suka ngomong. Omongnya panjang lebar. Mulai cerita mereka saat masuk ke lokasi trans, hingga pengalamannya ketika menjadi bagian dari pejuang kemerdekaan di Jawa.
Entah mengapa, tiba-tiba beliau menyajukan pertanyaan,
“Mengapa anak gadis tak boleh duduk di depan pintu?”
Saya terkejut. Zul juga nampaknya begitu. Pertanyaan itu sering kali didengar. Mengapa tiba-tiba ditanyakan?
Kami memikirkan jawabannya.
“Katanya biar ndak susah cari jodoh”.
“Kalau duduk di depan pintu mengganggu orang lewat”.
“Itu kata orang”.
“Yang bener, dahulu khan perempuan tidak pakai celana dalam. Jadi kalau duduk di depan pintu, takut nanti nampak itunya…”
Saya benar-benar terpana.
Ketika itu pikiran saya mengelana ke masa lalu. Terbayang dalam pandangan mata saya seorang perempuan duduk di depan pintu, kakinya menjulur ke bawah – karena antara pintu rumah dan teras (jungkar) biasanya tidak sejajar, teras lebih rendah. Perempuan yang duduk itu mengenakan kain. Meskipun dia sudah berusaha duduk dengan baik, dan membetul-betulkan letak kainnya agar tak ada barang yang ganjil nampak, namun, tanpa dia sadari karena kakinya tak bisa diam sepanjang waktu dia duduk, lalu ‘bendenye’ nampak di celah-celah kain.
Saya membayangkan, mana-mana orang muda yang melihatnya tersenyum kecut. Yang nakal memandang terus sambil tersenyum lebar, sedangkan yang agak alim memandang sekejap dan kemudian tersenyum kecut.
Orang tua yang bermarwah membuang muka. Menggelak marah karena perempuan itu cuai.
Peristiwa seperti itu sangat besar kemungkinan terjadi. Tanpa disengaja. Maklum, dahulu memang mana ada perempuan yang memakai celana dalam. Belum ada celana dalam. Bahkan, seingat saya, orang di pedalaman baru mengenal celana dalam dalam tahun-tahun 1980-an. Sebelum itu, kalau pun pakai celana, celana yang mereka pakai adalah celana pendek yang dijahit sendiri.
Nah, bayangkan sendiri bagaimana keadaan sebelum itu. Bayangkan juga bagaimana keadaannya dahulu sewaktu orang hanya memakai pakaian dari kulit kayu “kapua’” yang dijadi-jadikan penutup tubuh. Bayangkan waktu orang hanya berselimut karung untuk melindungi tubuh mereka, karena tidak ada pakaian.
Seorang wanita pasti rentan!
“Wow.. itu benar jawabannya”.
Saya lihat Zul masih mikir-mikir. Mbah, tertawa…
“Kalau “bende” itu dilihat orang rame, khan ga boleh,” kata Mbah lagi.
Kami semua tertawa. Tekekeh.
“Benar Mbah”.
Saya berbisik pada Zul.
“Zul, kalau bukan di sini, mungkin kita belum dapat-dapat jawaban yang sebenarnya”.
Ya, menurut saya, itulah jawaban yang paling masuk akal, paling relevan. Hubungannya jelas:
Perempuan yang menampakkan “itunya” pasti dianggap perempuan tidak sopan. Perempuan yang sopan pasti melindungi ‘itunya’ sebaik mungkin. Bahkan melindungi semuanya – yang termasuk auratnya.
Bayangkan saja kalau kita sedang berjalan di tengah kampung, lalu tiba-tiba melihat ada seorang perempuan muda duduk di depan pintu rumahnya – pada saat yang sama nampak pula ‘itunya’. Bayangkan bagaimana perasaan orang tua melihat seorang yang akan dijadikan calon menantu ‘mempertontonkan itunya’ di depan orang ramai.
Mungkin semunya ‘emoh’. Jika semua emoh, dengan siapa lagi perempuan yang nampak ‘itunya’ akan mendapat jodoh? Itulah yang disebut sukar dapat jodoh. Itulah yang dikhawatirkan orang tua-tua terhadap anak mereka, sehingga orang tua menerbitkan pantang larang: anak dara dilarang duduk di depan pintu.
Bagi saya, jawaban ini sangat mudah diterima. Kaitan antara duduk di depan pintu dengan kesulitan mendapatkan jodoh itu jelas.
Bandingkan dengan ‘pengetahuan’ kita selama ini. Anak dara dilarang duduk di depan pintu nanti sukar dapat jodoh. Lalu penjelasannya, duduk di depan pintu mengganggu orang lewat. Di mana kaitannya? Tak nampak. Tak jelas. Malah, tak ada kaitannya pun! Sekalipun masuk akal, namun tidak nyambung.
Bagi saya, yang menarik, mengapa jawaban dari pantang larang orang Melayu, baru saya dapatkan setelah sekian lama hidup, dan saya dapatkan dari orang Jawa lagi!
Makanya, setelah kami kembali ke posko, saya bilang kepada Zul, “Kita harus lebih banyak mendengar dan menggali informasi dari masyarakat. Kita harus terus belajar dari mereka. Mereka, karena pengalamannya, lebih pandai dari kita, sekalipun kita kononnya pendidikannya lebih tinggi”.


0 komentar: