Senin, 13 Juli 2009

Naskah Klasik dari Kalbar

Oleh: Yusriadi

Hari itu, satu bulan lalu, Nindya Noergraha, Pejabat dari Perpustakaan Nasional RI berceramah di depan civitas akademika Universiti Kebangsaan Malaysia. Beliau bercerita tentang naskah klasik, khususnya naskah Melayu yang ada di perpustakaan RI, di Jakarta. Ceramahnya panjang lebar. Menurutnya, ada banyak naskah klasik Melayu yang ada di perpustakaan RI. Naskah itu kini tersimpan dengan selamat. Namun jarang digunakan. Setidaknya, orang yang memanfaatkan naskah itu sebagai sumber penelitian, masih terbatas pada kalangan tertentu.
Ceramahnya seputarnya naskah klasik Melayu, menyinggung pula tentang naskah klasik dari Kalbar. Itu karena moderator, Prof. Dr.Noriah Mohamed, atau lebih dikenal sebagai Ibu Ning, melemparkan kesempatan kepada saya selepas kesempatan tanya jawab diberikan.
“Ayo, bagaimana Pontianak, ada komen?”



Profesor sudah lama kenal dengan saya, melalui pembimbing saya – Profesor Dr. James T. Collins. Dia tahu saya berasal dari Pontianak.
Saya memang tidak buka suara sejak awal pertemuan. Saya ingin mengungkaikan kembali kenangan lama, 13 tahun lalu, ketika pertama kali saya datang ke Universiti Kebangsaan Malaysia. Jadi, ceramah itu menyentuh ingatan saya.
Karena semua pandangan tertuju pada saya, seperti ingin mendengar sesuatu dari Pontianak, saya terpaksa buka mulut. Memberikan informasi yang pasti mengecewakan mereka.
“Tidak banyak yang saya ketahui tentang naskah lama di Pontianak. Memang pernah ada penelitian yang dilakukan oleh teman-teman di STAIN POntianak, bagian dari proyek penelitian Departemen Agama, tetapi apa hasilnya? Saya tidak tahu,”
Ya, benar, saya tidak tahu apa kesimpulan penelitian itu. Apa hasil akhirnya. Tidak ada publikasi. Setidaknya, saya tidak mendengarnya. Pasti, ini terjadi karena keterbatasan saya menyerap informasi, sekalipun saya sebenarnya sangat tertarik terhadap penelitian ini.
“Kalau tidak salah, penelitian itu berhasil mendokumentasikan semua buku yang ditulis oleh Maharaja Imam Sambas, Basiuni Imran. Tetapi, di mana sekarang file-file itu disimpan, saya tidak tahu perkembangannya”.
Lalu, seorang pelajar Indonesia, asal Jakarta bicara. Pelajar itu, yang juga dosen Universitas Islam Negeri Jakarta, mengaku pernah terlibat dalam proyek penelitian naskah klasik di bawah proyek Depag RI mengatakan, naskah Kalbar sekarang ini banyak yang sudah pindah ke Brunei. Dia bicara dengan nada yang meyakinkan. Tidak ada keraguan.
Setelah komentar itu, tak ada informasi lain tentang naskah asal Kalbar. Peserta pun tidak mendalami informasi ini, kecuali komentar tentang usaha Brunei itu.

***

Saya memang pernah mendengar perjalanan naskah dari Kalbar ke Brunei. Jalurnya, melalui jalan darat. Ada orang Kalbar yang membawa naskah itu ke sana. Ada orang Brunei – yang tertarik dengan naskah Kalbar itu dan ‘menampungnya’.
Sebenarnya tidak hanya naskah yang berjalan ke Brunei. Barang-barang lain juga begitu. Masalahnya, barang ada, peminatnya ada.
Saya memaklumi cerita itu. Maklum karena sudah pasti, orang Kalbar tertarik dengan ‘proyek’ mengumpulkan naskah lama setelah tahu ada orang di Brunei yang mencarinya. Sekadar memenuhi pesanan. Cuma tidak bisa ditebak apakah naskah itu dibeli – dalam arti sesungguhnya, atau tidak. Mungkin saja ada transaksi dolar Brunei.
Tetapi, tentu tidak sepatutnya ada menganggap bahwa transaksi itu sebagai sesuatu yang negative. Dugaan jual beli naskah dalam pengertian bisnis naskah, seperti yang dilontarkan sebagian orang di Indonesia, selama ini, dapat dilihat dari sudut lain. Ada nilai positif yang ada di balik hal itu.
Nilai positif itu adalah dokumentasi. Penyimpanan naskah di lembaga seperti muzium pasti dilakukan dengan rapi. Lembaga seperti ini memiliki ruang penyimpanan disiapkan dengan khusus.Suhu dan cahayanya diatur dan dikendalikan. Binatang seperti rayap tidak akan berminat merusak naskah itu. Ini yang membuat naskah terjaga.
Hal seperti ini sudah terbukti lebih bermanfaat bagi sejarah Kalbar hari ini. Ada beberapa naskah Kalbar yang sudah dibawa keluar pulau sejak beberapa puluh tahun lalu. Ada banyak yang dibawa ke Jakarta juga. Dibawa ke Malaysia, Inggris, dan Belanda.
Sekarang ini naskah-naskah itu selamat di tempat penyimpanan di sana. Justru itu, naskah ini membuat orang dapat mengetahui tentang masa lalu daerah ini. Jejak sejarah dapat disusuri dari bahan-bahan ini.
Bandingkan dengan situasi yang terjadi di tempat asal. Naskah yang disimpan oleh ahli waris tidak semuanya selamat sampai sekarang ini, ke generasi hari ini. Beberapa dari naskah itu sudah musnah karena penyimpanannya tidak baik.


***

Saya terpana pada cerita Pak Nindya, karena saya ingat ada beberapa naskah lama yang ditemukan di Kalbar atau berasal dari Kalbar yang dijejaki di tempat lain. Setidaknya, ada ada 4 naskah penting yang kerap disebut mampu membantu memahami Kalbar masa lalu, yang saya gunakan kalau lagi membanggakan peradaban menulis masa lalu Kalbar.
Pertama, Naskah dari Timur. Naskah ini disebutkan dalam buku terkenal Tuhfat Al-Nafis, karya Raja Ali Haji. Naskah ini menggambarkan keadaan kepulauan Melayu pada abad ke-18 dan ke-19. Mengenai hubungan antara Pontianak, Sambas, Matan, dengan kerajaan di Sumatera. Naskah ini menggambarkan keperwiraan orang Bugis di Riau dan di Kalbar, khususnya Opu Daeng Manambon, Opu Daeng Kamase, Opu Daeng Celak, Daeng Rilaga, dan lain-lain.
Namun, walaupun tidak disebutkan judul tulisan itu, dan tidak disebutkan siapa penulisnya, tulisan ini sudah menggambarkan adanya ‘bahan tertulis dari Kalbar’ yang ditemukan Raja Ali Haji. Raja Ali Haji menetap di Riau, tepatnya di Pulau Penyengat.
Kedua, Syair Perang Cina di Monterado. Syair ini dialeterasi dari Arab Melayu kepada tulisan Latin, oleh Arenawati, sastrawan Malaysia asal Bugis. Syair ini ditemukannya ketika beliau pergi ke Leiden, Belanda. Syair ini menggambarkan situasi peperangan yang melibatkan orang Cina di beberapa wilayah kongsi tempat pertambangan emas di Monterado, melawan orang Melayu dan kemudian melibatkan Belanda.
Ketiga, Syair Pangeran Syarif. Syair ini juga dialeterasi dari Arab Melayu kepada tulisan Latin, oleh Arenawati. Syair ini juga ditemukannya di Leiden, Belanda, ditulisan oleh Sultan Matan. Syair ini menggambarkan situasi di kota Pontianak pada abad ke-21, seperti yang dilihat oleh Sultan saat harus ke Pontianak mengurus adiknya yang ditahan oleh Belanda. Pontianak abad ke-21 digambarkan dengan detail – terutama mengenai relasi etnik, kegiatan ekonomi dan perdagangan,serta dinamika sosial.
Keempat, Bahar Al-Lahut. Kitab ini ditulis oleh Al-Arif, berhubungan dengan aliran Syiah di Nusantara. Al-Arif diduga adalah nama samaran, atau nama pena penulis, bukan nama sebenarnya. Kitab ini ditemukan di Kalbar, merupakan kitab tertua dalam bidang ini.
Meskipun bukan ditulis oleh orang Kalbar, namun, keterangan yang menyebutkan bahwa naskah ini ditemukan di Kalbar menunjukkan relevansinya dengan tema ‘perjalanan’ naskah dari Kalbar ke tempat lain. Jika naskah ini tidak terlanjur diselamatkan sudah pasti Kalbar tidak akan dikaitkan dengan penyebaran aliran ini.
Saya selalu percaya bahwa naskah yang ditulis orang Kalbar masa lalu, pasti bukan dua atau tiga saja naskah. Pasti banyak. Saya juga percaya bahwa tradisi menulis ini sedikit banyak berkaitan dengan tradisi membaca orang Kalbar. Tradisi ini membuat sebagian orang dahulu membeli dan menyimpan buku.
Lalu, mengapa yang sampai kepada kita hari ini hanya satu dua naskah saja? Itulah masalah kita sebenarnya.

0 komentar: