Selasa, 28 Juli 2009

Pelatihan, Mendekatkan Diri Pada Komunitas Penulis

Oleh Yusriadi

Rasanya, sampai hari ini saya tidak percaya ada orang yang dapat menulis secara alami, seperti simsalabim saja.
Sepanjang pengalaman saya – yang tentu terbatas, orang dapat menulis karena mereka melatih kemampuan menulis. Mereka menulis dan menulis. Mereka berlatih dan berlatih. Hanya melalui latihan menulis secara kontinyulah yang membuat orang dapat menulis. Oleh sebab itu, sebaiknya kita tidak berpikir bahwa keterampilan menulis dapat diperoleh secara instant.



Justru itu, sebenarnya yang tidak begitu mudah adalah melatih diri menulis secara terus menerus. Melatih mendisiplinkan diri pekerjaan yang gampang-gampang susah. Gampang bagi mereka yang mau dan memiliki azam yang kuat, tetapi sangat susah bagi orang yang tidak mau dan orang yang tidak memiliki semangat yang kuat.
Salah satu pilihan yang mungkin dilakukan agar seseorang dapat menulis secara kontinyu adalah dia hidup dalam komunitas menulis. Dia hidup di lingkungan orang-orang yang terbiasa menulis. Hidup di antara orang-orang yang hidup dalam budaya tulis. Bergaul bersama orang yang mencintai peradaban tulis menulis.
Perumpamaan seperti seorang anak yang masuk dalam kamp militer. Seseorang yang lalai sekalipun, kalau masuk dalam kamp latihan ala militer, lambat laun mestilah dia jadi disiplin juga. Lambat laun mestilah dia ikut gaya orang dalam kamp itu.
Bukankah ada juga kata bijak mengatakan: dekat dengan penjual minyak wangi, bau wangilah kita. Dekat dengan penjual ikan, bau amis jugalah.
Saya memiliki beberapa pengalaman dalam soal ini. Beberapa waktu lalu saya mendapatkan email dan tulisan dari beberapa teman yang terkesan dengan pelatihan penulisan yang kami selenggarakan – Pelatihan Menulis Kisah Perjalanan Malay Corner, STAIN Pontianak.
Pelatihan itu, bukanlah seperti pelatihan biasa. Peserta dikumpulkan dalam ruangan sederhana, setiap pertemuan ada peserta yang membaca karya mereka, lalu dikomentari sedikit. Setelah itu, ada materi ala kadarnya. Lalu, di tengah pelatihan, peserta diajak berjalan bersama ke sebuah kampung dan menulis hasil pengamatan dan wawancara dengan masyarakat. Lalu tulisan itu diterbitkan. Baik dalam bentuk buku, maupun di koran Harian Borneo Tribune, Potntianak.

Tulisan pertama, dibuat oleh Ff, berisi kesan terhadap kegiatan ini dan apa yang dia dapatkan kemudian.

“Assalamualaikum,
Membaca judul pelatihannya saja aku kurang tertarik. Saat Pak Yus yang menawarkan dan meyakinkanku kalau pelatihan ini sangat bermanfaat untuk melatihku agar dapat menulis dengan lebih baik lagi aku langsung mengambil formulir namun tidak langsung membayarnya karena aku harus meminta izin emakku dulu.
Atas persetujuan emak besoknya aku langsung menghadap pak Yus dan bersedia ikut pelatihan ini. Pertama kali masuk kelas ini aku terkejut ternyata tidak ada teman sekelasku yang ikut pelatihan ini, seangkatan pun tidak ada. Rasanya ingin batal saja ikut pelatihan ini, bayangkan saja aku akan menjadi orang yang paling bodoh dalam pelatihan ini. Tapi lagi-lagi Pak Yus dan Pak Ibrahim memotifasiku dan kembali meyakinkan kalau pelatihan ini sangat bermanfaat.
Hari pertama tak ada satu pertanyaanpun yang kuajukan untuk pemateri. Hemh… di situ semakin jelas kebodohanku, ketika menjadi mahasiswa bukan orang yang bertanyalah yang bodoh, tapi orang yang tak bertanya sama sekali itulah orang yang bodoh karena tidak bias menangkap apa yang telah dijelaskan.
Setiap pertemuan diwajibkan untuk membuat satu karangan, akupun mengarang dengan mengalir apa adanya. Pelatihan ini diadakan tiap hari Sabtu dan hari inilah yang paling membuatku pucat gemetar. Saat aku cerita pada tiga teman dekatku, mereka hanya berkomentar.
“Berat … kau ngambil kelas ini, maaf ya kita hanya bisa bantu dengan do’a”.
Tapi aku tetap saja terus berjalan, yang paling bikin aku semangat ketika aku disuruh membaca karyaku di depan seluruh peserta awalnya sangat gemetar sampai-sampai terdengar jelas nada gemetarnya pada saat aku membaca karyaku. Tapi alhamdulillah ada pujian. Tapi rasa gemetarku tidak hilang tetap saja tiap hari Sabtu deg-degan.
Yang paling berkesan adalah ketika ke Desa Durian, aku bisa menulis apa yang aku lihat dan aku rasakan. Di situ aku percaya bahwa tulisan adalah bentuk dari ekspresi penulis. Rasa syukur terus kuucap karena aku mengikuti pelatihan ini, semakin termotivasilah rasa ingin terus belajar menulis.
Hanya ucapan terima kasih yang bisa Saya ucapkan pada Pak Yus, pak Ibrahim para dosen yang lain dan kakak seniorku yang bersedia memberiku satu tempat untuk belajar, sekali lagi terima kasih pak, Saya juga minta maaf bila selama pelatihan ini melanggar atau melakukan kesalahan. Pada intinya Saya sangat senang mengikuti pelatihan ini, sangat amat senang…
Terima kasih banyak semoga saya bisa mengamalkan apa yang telah saya dapat.
……
FF

Email kedua, dikirim oleh ESM:

“Assalamualaikum
pa kabar pak..
eh...ya, Saya mo bilang terima kasih yang sebesar-besarnya....
dengan kesabaran bapak mengajar dan membimbing Saya, kini Saya sedikit demi sedikit menyukai dunia menulis. yach...walaupun terkandang bandel mau menulis...
tapi Saya akan tetap berusaha menumbuhkan semangat Saya dalam menulis.....

tau ngak pak?
dulu sewaktu sekolah Saya paaa....ling ngak suka yang namanya menulis, kecuali catat mata pelajaran, karena itu adalah kewajiban sebagai pelajar aja...
jangankan mau menulis buku harian, keinginan untuk menulisnya saja saya nggak punya...tragis ya pak?...hehe...
dulu ketika Saya masih SMA pernah buat teman menangis, karena dia suka menulis buku harian. dan saya ejek terus, bahkan tiap hari. kebetulan saja teman Saya orangnya pendiam banget melebihi eSaya...hehe....
kalau nggak salah ingat Saya selalu bilang "Buat apa sich menulis? toh buku itu nggak bisa ngomong sama kamu....nggak bisa beri solusi lagi. mendingan ngomong aja ma orang, udah gitu capek lagi nulisnya", habis gitu Saya ambil diarynya, dan Saya baca keras-keras di depan kelas...
kalau Saya ingat. Saya banyak dosanya sama dia....
kira-kira dia mau maafin Saya nggak ya......
ngomong-ngomong Saya kok jadi curhat ya sama bapak.....tapi nggak papa kan pak...

Wassalamualaikum....

Selain itu, salah seorang peserta pelatihan, Nita namanya, meninggalkan komentarnya di http://www.jonru.net/bagaimana-cara-menjadi-penulis.


Salam pena, bang! Saya, sebenarnya, tidak punya pemikiran atau cita-cita menjadi penulis. Namun, setelah saya bekerja sebagai peneliti di Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Barat yang merupakan UPT daerah dari Pusat Bahasa Jakarta, saya terpaksa harus berkutat dengan tulisan. Pekerjaan sebagai peneliti tentu saja harus akrab dengan tulisan karena hasil kerja peneliti harus terdokumentasi dalam bentuk tulisan. Pada akhirnya, saya tercebur dalam dunia komunikasi tulisan. Berjalannya waktu membawa saya masuk lebih dalam lagi dalam dunia penulisan. Saya baru saja mengikuti pelatihan Ayo Menulis Kisah Perjalanan yang diadakan oleh STAIN Pontianak. Selama pelatihan, peserta diharuskan mengumpulkan tulisan mengenai apapun yang berupa cerita pengalaman pribadi peserta. Didorong oleh tanggung jawab melaksanakan tugas, lama kelamaan saya semakin tertarik untuk selalu curhat pada buku dan pena. Apalagi setelah selesai pelatihan tersebut, kami peserta diberi kesempatan untuk menulis artikel yang diterbitkan di harian lokal di Pontianak, yakni Borneo Tribune. Sekarang pun, saya sedang mengerjakan makalah ilmiah untuk diikutkan dalam pembuatan buku bersama makalah dari peserta lain. Buku tersebut akan diterbitkan oleh STAIN Pontianak Press. Pelajaran dari pengalaman yang dapat kuambil ini adalah selain bangga bahwa karya curhatan saya dipublikasikan, saya jadi tercambuk untuk terus menulis dan semakin meningkatkan kemampuan saya.


Email berikut ini dikirim oleh ENV, temannya Nita. Isi mail ini menyinggung tentang pelatihan itu:


“Assalamualaikum.
Bagaimana kabarnya Bang?
Menyesal rasanya tidak dapat ikut kegiatan pelatihan penulisan yang Bang Yus adakan di STAIN. Apalagi kalau melihat kemajuan teman-teman yang ikut. Sebenarnya, keinginan untuk ikut cukup besar. Tapi harus terpaksa diurungkan, karena ada hal yang tak dapat dihindari. Jadi terpaksa keinginan itu harus dipendam. Saya berharap kegiatan ini dapat terus berlangsung, sehingga saya punya kesempatan untuk ikut pada kegiatan selanjutnya.

EN


Semua email dan tulisan di atas, sangat mengesankan. Setidaknya, email ini memberikan bayangan semangat dan motivasi menulis tumbuh di kalangan mereka karena mereka melihat orang lain – teman-teman mereka menulis. Semangat tumbuh karena dorongan yang sistematis melalui pelatihan.

Tetapi tentu tidak semua pelatihan adalah pelatihan yang baik. Ada kalanya pelatihan membosankan. Ada kalanya pelatihan hanya membuang masa – dan peserta hanya mendapatkan sertifikat.
Bagaimana pelatihan yang tidak baik? Pelatihan yang tidak baik adalah pelatihan yang diselenggarakan orang yang jarang menulis.
Bayangkan, bagaimana dia mau membentuk orang lain jadi penulis jika dia sendiri tidak suka menulis. Saya membayangkan, pasti pelatih seperti itu akan mengajarkan peserta tentang betapa bagusnya tulisan – sehingga saking bagusnya, membuat berkarya jadi sukar. Saya membayangkan, pasti pelatih seperti itu akan meninggalkan peserta setelah pelatihan selesai.
Kali-kali ajalah!





0 komentar: