Rabu, 29 Juli 2009

Problem Memilih Identitas

Oleh Yusriadi

Saya paling bingung kalau ditanya orang, kamu orang apa? Saya menjadi orang bodoh kalau sudah berhadapan dengan pertanyaan ini. Paling bodoh.
Dan celakanya, orang sering bertanya seperti ini. Orang-orang yang baru saya kenal, di Kalbar ini, doyan sekali bertanya seperti itu.
Kadang-kadang, karena saya bingung, saya dibentak orang.
“Kok bingung? Kamu orang apa?”


Benar, sangat bingung. Saya harus bilang saya orang apa? Terlalu banyak. Dalam mind saya, ada banyak identitas bisa dipilih. Saya orang Riam Panjang. Saya orang Pengkadan. Orang Embau, Saya orang Ulu. Saya orang Dayak. Saya orang Melayu. Saya orang Islam. Saya orang STAIN Pontianak. Saya orang Borneo Tribune. Saya alumni ATMA, UKM. Saya orang Pontianak. Saya orang Kalbar. Saya orang Indonesia. Saya orang Jalan Karet. Saya bapaknya Caca. Saya tetangganya Anu.
Banyak lagi identitas yang bisa saya pilih. Inilah yang secara teoritis disebut every day defene.
Karena itu saya bingung orang yang bertanya mau mendengar saya identitas yang mana? Memikirkan itu, perlu waktu. Waktu berpikir ini yang membuat jadi nampak sangat bodoh.
“Orang apa-lah?”
Karena itu kerap kali saya serahkan pada orang yang bertanya itu untuk menebak identitas saya. Kadang tebakannya betul. Kadang salah.
Ada yang menebak saya orang Ulu. Orang Dayak. Macam-macam. Sampai ada yang mengira saya orang Cina.
Kalau sudah begitu, saya tertawa saja. Tidak membenarkan. Tidak menyalahkan. Sesekali saja saya bilang:
“Boleh,”
Biarkanlah. Paling banter, saya bertanya, mengapa mereka mengira saya orang ini atau orang itu.
Karena itu ada beberapa pengalaman saya, orang menuduh saya orang plan plin. Orang tidak jelas.
Biar. Bagi saya, orang itu tidak mengerti. Dia tidak tahu bahwa dalam pikirannya juga ada banyak identitas. Hanya saja dia tidak menyadari. Bagi saya itu orang ego. Gak usah diurusin.
Selain dalam stock pribadi, identitas kita juga ada dalam stock pikiran orang lain. Karena pengalaman individu, seseorang dapat menebak atau menerka identitas orang yang ada di depannya.
Tentu saja, ada kalanya tebakan itu sesuai dengan identitas yang ada dalam pikiran orang yang dinyatakan. Tetapi adakalanya tidak. Ada kalanya identitas yang dinyatakan tidak diterima oleh orang yang menyatakan. Inilah yang secara teoritis disebut outhority defene.


Banyaknya identitas dalam pikiran --ini yang saya sebut sebagai stock of knowledge yang dimiliki setiap orang, yang bisa dikeluarkan kapan saja. Tergantung kebutuhan. Mana yang sesuai. Pertimbangannya pragmatis. Bisa memilih identitas yang dipikirkan akan sama dan diterima dalam pandangan orang yang bertanya, sehingga muncul kesan ‘orang kita’, bisa juga memilih identitas yang dipikirkan lain dan menempatkan orang yang bertanya sebagai ‘orang lain’.
Oleh sebab itu, para ilmuan yang mengkaji soal identitas manusia mengatakan identitas itu cair (fluid). Dinamis.
Kalau kita di Kalbar, identitas Dayak menjadi contohnya. Istilah Dayak digunakan sejak abad ke-18. Pada mulanya istilah ini digunakan oleh orang luar. Oleh colonial. Ada yang menyebutnya oleh orang Melayu, dll. Sedangkan orang yang disebut orang Dayak ketika itu tidak mau disebut sebagai Dayak. Bagi mereka, sebutan itu negative. Mereka malu.
Tetapi dalam perkembangannya kemudian, di tahun 1980-an sebutan Dayak mulai diterima orang pribumi ini. Lalu, di tahun 1990-an akhir, sebutan ini diterima secara penuh. Pada masa itu, kita sering melihat kebanggaan orang pribumi mengaku sebagai Dayak.
Keberterimaan ini juga kemudian menunjukkan pada kita bahwa jika dahulu hampir selalu orang Dayak yang memeluk agama Islam bertukar identitas mereka menjadi Melayu, sekarang tidak lagi. Sekarang ada banyak orang Dayak yang memeluk agama Islam yang menggunakan identitas Dayak Islam.
Dalam perjalanan politik di tahun 1990-sampai sekarang, identitas Dayak menjadi salah satu ikon penting dalam politik Kalbar. Ikatan identitas ini sangat solid dan diterima secara meluas untuk kelompok masyarakat tertentu.

***

Begitu juga dengan penggunaan identitas di kalangan masyarakat Cina di Indonesia, khususnya di Pontianak. Orang Cina di Kalbar menggunakan beberapa identitas yang sejajar. Misalnya, orang Tionghoa. Ada juga yang lebih sering pakai Cin.
Di kalangan orang luar, keadaan ini masih cenderung dilihat sama. Sebutan Cina. Beberapa orang mulai menggunakan sebutan Tionghoa, atau Cina.
Bagi orang luar, orang Tionghoa, atau apalah namanya itu, dikaitkan dengan penggunaan symbol-simbol graf Cina. Bahasa yang digunakan. Pola pemberian nama dan ini menyangkut budaya keluarga. Beberapa atraksi budaya lain juga diperlihatkan. Misalnya permainan barongsai dan naga. Tradisi-tradisi lama. Sembahyang kubur. Kue bulan.
Saya sering menjadi sangat bodoh kalau sudah bicara soal identitas Cina di Kalbar. Bodoh, karena sedikit sekali yang diketahui. Setiap kali berinteraksi, setiap kali bertambah pengetahuan, setiap kali saya menemukan hal yang baru. Ketika tahu hal baru, makin terasa betapa terbatassnya pengetahuan. Semakin terasa dungunya.
Saya bisa menyebutkan contoh tulisan tentang Cina = Melayu misalnya. Bagi saya, informasi dari tulisan itu sangat baru. Saya tahu ada orang Han yang Muslim. Saya tahu Laksamana Cheng Ho orang Islam. Tetapi saya baru tahu kalau kata Cina itu berarti Melayu.
Sampai sekarang saya belum bisa bedakan mana bahasa Khek, mana Hokkien, mana Tio Chew. Dahulu saya pernah belajar kelas bahasa Mandarin, namun, berhenti pada level 1. Baru tahu sebut: Ni Haw Ma? Atau Wo Ai Ni. Ansaw Aa… . Anciang Oww… Kecuali, tentu saya “Kam sia,” sering saya ucapkan.
Saya memiliki kontak dengan orang Cina sejak bersekolah Madrasah Tsanawiyah di Jongkong. Itu kali pertama. Di Jongkong terdapat beberapa orang Cina. Pedagang. Di kampung saya, di Riam Panjang tidak ada.
Saya pernah punya teman dekat orang Cina. Tetapi, belum banyak informasi yang saya serap. Saya juga punya ipar orang Cina. Adik saya menikah dengan orang Cina. Saya cukup akrab bergaul dengan mertua adik saya. Dia Cina yang ramah dan menyenangkan. Sangat baik dan mengesankan.
Di Pontianak saya kenal dengan bermacam-macam orang Cina. Mulai dari kelas kaki lima hingga kelas elit. Mulai dari yang menyenangkan, hingga yang cuek bebek. Mulai yang kebaikannya bagi saya sangat luar biasa, hingga yang jahat pun ada. Mulai dari yang pendidikan tinggi, hingga yang tidak sekolah pun ada. Mulai yang mengerti bahasa Indonesia, hingga yang hanya bisanya bahasa Cina pun, ada.
Saya juga mengumpulkan beberapa buku tentang Cina. Misalnya, Hari Poerwanto yang menulis tentang China Khek dari Singkawang, hingga James Jackson yang menulis tentang Gold Minner . Marry Sommers Hedhuis, Yan Bing Ying Cina Kongsi. Saya juga mengingat buku ‘Elite Bisnis Cina di Indonesia’ karya Twang Peck Yang (Niagara, 2005), ‘Chinese Democracies, A Study of the Kongsis of West Borneo karya Yuan Bingling (Leiden, 2000), dan ‘Chinese Live’ tulisan Zhang Xinxin dan SangYe (MACMILLAN, London, 1986).
Tetapi, meski begitu pengetahuan tentang komunitas ini terbatas. Saya mencoba menulis beberapa artikel tentang Cina, namun saya rasa artikel-artikel yang saya tulis tidak memuaskan hati. Masih banyak yang kurang. Pengetahuan saya terbatas, data juga terbatas. Untung-untung teman yang orang Cina tidak mentertawakan tulisan saya itu.

***

Sesungguhnya penggunaan identitas di kalangan orang Melayu juga sama. Ada yang rumit, ada yang tidak. Siapa Melayu di Kalbar? Apa ciri mereka? Bagaimana identitas orang Melayu Kalbar?
Kalau saya ditanya begitu pasti saya akan kelabakan menjawabnya. Sungguh pun saya sudah menulis banyak artikel tentang Melayu, namun, ciri Melayu di Kalbar sesungguhnya belum saya pahami dengan betul.
Apakah ciri Melayu Kalbar pada budaya? Budaya mana yang jadi cirinya? Apakah ciri Melayu Kalbar pada arsitekturnya? Ciri arsitektur seperti apa? Apakah ciri Melayu Kalbar itu pada bahasanya? Seperti apa bahasa Melayu Kalbar? Apakah ciri Melayu Kalbar pada fisiknya? Seperti apa ciri fisik itu? Apa yang membedakan Melayu Kalbar dengan Melayu di luar Kalbar? Apa ciri khas budaya Melayu Kalbar?
Ada teman pernah mencoba menjawab: gasing itu ciri Melayu Kalbar. (Karena itu dia mengusulkan paten gasing itu). Ya, dia tidak tahu bahwa gasing juga dimainkan orang Melayu di belahan bumi lainnya. Dia mungkin tidak tahu bahwa ada orang Dayak yang juga punya gasing.
Lalu, di tengah masyarakat dikenal ada kelompok Melayu lagi. Ada Melayu Pontianak, Melayu Sambas, Melayu Ketapang, Melayu Sanggau, Melayu Pinoh, Melayu Embau, dll. Apa beda mereka satu dengan yang lain? Apa ciri khas masing-masing?
Oleh sebab itulah, saya jadi teringat seorang peneliti mengatakan identitas Melayu Kalbar ditandai dengan pengakuan. Kalau dia mengaku Melayu, Melayulah dia. Kalau dia tidak mengaku Melayu, bukan Melayu-lah dia. Inilah yang lagi-lagi kita kenal dengan sebutan “identitas harian”.
Namun, tentu saja itu tidak cukup. Orang luar (bukan Melayu) juga memberikan identitas terhadap kelompok ini. Identitas bagi orang luar ini, bisa jadi sama dengan yang orang Melayu pakai, bisa jadi berbeda. Sama atau berbeda, bukan untuk diperdebatkan. Sama atau berbeda adalah untuk dipahami. Mengapa tidak diperdebatkan? Karena pilihan ini pragmatis, menyangkut juga rasa dan selera. Hanya orang lupa diri dan ego saja yang ingin memaksakan seleranya pada orang lain. Hanya orang yang begitu yang ingin orang lain ikut selera dia.
“Kok begitu?”
“Ya, iyalah… masa’ iya dong”.
Sepintas lalu tentu rumit dan sukar dipahami.
Kerumitan inilah yang bikin saya jadi bodoh. Bukan mudah memikirkan latar belakang, alasan, penjelasan di balik semua itu.
Pada akhirnya, pertanyaan sederhana adalah: apa manfaat dari semua itu. Apa manfaat bagi saya? Apakah apa yang bermanfaat bagi saya itu, bermanfaat juga bagi orang lain?
Ah, dunia memang aneh. Aneh, tetapi juga menarik.



1 komentar:

andreasharsono mengatakan...

Jangan lupa, Anda juga punya kenalan orang Cina Jawa. Namanya, Ong Tjie Liang atau Andreas Harsono. Ini esai menarik soal multiple identities. Saya hendak promosikan di Facebook.