Rabu, 29 Juli 2009

Sekeping Sejarah Penerbitan di Kampus STAIN Pontianak

Tulisan ini, dikembangkan dari ceramah saya di depan peserta Pelatihan Anggota Baru, Lembaga Pers Mahasiswa STAIN Pontianak, tahun 2007.





Sebelumnya, mohon maaf kalau terdengar narsis. Terserah. Ini cara yang mudah yang saya pilih untuk menceritakan bagian dari sejarah penerbitan di kampus STAIN Pontianak.
Tahun 2002 saya dilantik menjadi Plt. Ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Jurusan Dakwah, STAIN Pontianak. Ada kemudahan yang saya rasakan waktu itu. Dengan posisi ini, saya bisa langsung mengambil kebijakan, dan kebijakan itu bisa langsung diterapkan.
Mulanya, saya berusaha mengevaluasi mata kuliah (MK) yang ada hubungan dengan kompetensi mahasiswa. Kompetensi dianggap penting karena ini akan menjadi nilai jual KPI. Maklum ketika itu, KPI adalah pilihan kedua dan menjadi prodi nomor dua pula.
Waktu itu, saya merasakan mahasiswa tidak memiliki ghirah. Semangat kurang. Sering saya dengar ada kata: “KPI tidak jelas. KPI ngambang. Tidak jelas mau jadi apa?”
Saya berusaha menepis anggapan itu. Melawannya. Tidak benar KPI tidak jelas. Tidak benar KPI ngambang.
Saya mengkampanyekan KPI adalah prodi paling jelas. Prodi yang paling prosfek. KPI adalah program studi elit.
Untuk mewujudkan hal itu, saya melakukan evaluasi terhadap kurikulum. Saya hitung isi kurikulum yang sesuai kompetensi hanya 8 sks saja. Selebihnya matakuliah yang berhubungan dengan keislaman, dll.
Ketua Jurusan Dakwah waktu itu, Pak Munawar, Pembantu Ketua I STAIN Pontianak Pak Dwi Surya Atmaja mendukung semua perubahan itu. Ketua STAIN Pak Haitami Salim juga memberikan dukungan. Lalu saya mulai merancang matakuliah baru dan membuang matakuliah “yang umum” atau menggabungkannya.
Untuk menyiasati banyaknya beban MK yang ditawarkan, saya membuat matakuliah pilihan. Pilihan disesuaikan dengan kompetensi. Ada kompetensi jurnalistik, dan ada penyiaran. Ibu Fitri Kusumayanti, dosen KPI yang menjadi mitra kerja di KPI, titip satu kompetensi Humas.
Sesungguhnya banyak pihak yang keberatan dengan format ini. Banyak alasan. Beberapa di antaranya masuk akal. Namun, ada juga yang aneh-aneh: “Nanti ngajar apa?”
Tetapi, saya bersikukuh. Bahkan dengan “arogan” – begitu kata seorang ibu dosen kemudian, saya menggaransikan jabatan saya: kalau saya telah melakukan kesalahan sila tunjukkan kesalahan, tunjukkan aturan mana yang saya langgar. Kalau saya salah, lakukan evaluasi, dan copot saya.
Kalau tidak, biarkan saya terus berjalan dengan program saya. Biar saya bertanggung jawab pada kebijakan yang saya ambil. Saya bertanggung jawab terhadap masa depan mahasiswa KPI.

***

Di antara perubahan itu adalah penawaran MK Jurnalistik, Berita 1, Berita 2. Jurnalistik berisi teori. Dan Berita 1,2 adalah praktik. Untuk mendukungnya, kami di KPI sepakat membentuk Laboratirum Dakwah, tempatnya di lorong bangunan STAIN lama. Lorong itu disekat dengan triplek. Meskipun sederhana, kami semua sangat terharu pada perhatian lembaga – dalam hal ini: Pak Haitami, Pak Dwi, Pak Hamzen Bunsu – Kepala Bagian TU, juga Pak Dimyati – Kepala Bagian Keuangan.
Pada mulanya mahasiswa menerbitkan media, secara berkelompok ada 4 kelompok. Tetapi kemudian, dalam perkembangan selanjutnya, kekuatan kelompok itu disatukan, dan kemudian hanya satu media yang diteritkan. Tujuannya agar kontinyuitas dapat dijaga.
Lalu, lahirlah Bulletin Syiar.
Agar media ini dapat hidup subur, kami mencarikan dana – siaplah dana itu Rp 500 ribu. Untuk penerbitan. Uang itulah yang dikelola oleh mahasiswa di situ. Beberapa mahasiswa yang saya ingat; ada Kundori, Ramdlon, Kurniawan, Andre, Mujidi, Habibi, selain itu ada Desi Asiska, yang merupakan tenaga inti. Saya minta computer bekas kepada lembaga. Dan mereka memberikannya. Komputer yang tua ini sangat berjasa untuk memuluskan pekerjaan penerbitan.
Selain nama yang disebutkan di atas, ada Dyah Kurnia Herawati. Dyah, juga bagian dari Team Syiar. Dia meminjamkan karpet milik keluarganya agar awak redaksi bisa bujur-bujur pinggang ketika capek. Belakangan, karpet itu tidak pernah kembali ke rumah mereka: menjadi barang infaq.
Mahasiswa juga melakukan sumbangan uang untuk membeli heater, agar mereka dapat membuat kopi atau teh.
Kerja sama mereka sangat mengesankan. Semangat mereka juga luar biasa. Idealisme dan kejujuran, patut dicontohi.
Syiar bisa terbit selama 50 edisi, dengan 12 halaman. Rutin. Kecuali libur. Harga jual Rp 500 per eks. Penjualan setiap edisi cukup untuk menutup biaya cetak. Saya tahu itu karena setiap pengeluaran dan pemasukan dilaporkan di halaman akhir Syiar.
Beberapa edisi sempat menimbulkan ‘hiruk pikuk di kampus’. Mahasiswa bergairah. Jerih payah mereka tidak sia-sia.

***

Perhatian lembaga meningkat. Kami di KPI mengajukan rencana pendirian radio. Waktu itu ada Saya, Patmawati,M.Ag, Fitri Kusumayanti, S.Kom, Hermansyah, M.Ag (Sekarang Doktor), Kartini, M.Ag, dari kalangan mahasiswa ada Baharudin. Ada juga Syarifah Aminah. Inilah pioneer pendirian radio di STAIN.
Disetujui. Lembaga mengalokasikan dana Rp 5 juta. Kami berbagai tugas. Saya ke Kapuas Hulu mencari teman yang bisa membuat radio sederhana. Karena dari dialah saya mendapatkan informasi bahwa membuat radio kecil tidak sulit. Biayanya pun juga murah. Namun, malangnya, saya gagal menemuinya kembali. Orang yang saya cari itu sudah pergi ke danau menangkap ikan. Maklum waktu itu musim kering. Dia tak bisa dikontak. Waktu itu belum zaman HP.
Lalu, saya mendapat informasi ada seorang pemuda bernama Bahari di Senai yang mungkin dapat merakit radio. Tetapi, Bahari yang saya temui, ragu. Dia tidak yakin bisa. Saya kembali ke Pontianak dengan kecewa.
Namun, kawan-kawan memberikan harapan. Saya dan Hermansyah mencari orang di toko-toko elektronik di Nusa Indah, yang mungkin bisa membantu. Lalu kami disarankan orang pasar menghubungi petugas di BLKI—Balai Latihan Kerja. Mungkin ada seorang di sana yang bisa membantu. Susah payah kami mencarinya.
Jumpa juga akhirnya.
Lalu, kami berkenalan dengan Pak Tisno (?). Mulailah kami membeli peralatan sederhana dengan dana yang masih tersedia. Radio, VCD, amplie, mike, dan beberapa peralatan elektronik untuk bahan pemancar radio.
Semua peralatan itu dirakit di ruang kuliah STAIN di samping Laboratorium Dakwah. Pada masa yang sama sekat ruangan dibuat.
Dan, alhamdulillah jadi. Walaupun jaraknya hanya beberapa meter. Saya katakan jadi karena waktu itu, ada Kartini yang memiliki HP yang ada fasilitas radio. Kartini pergi ke ujung komplek Suprapto, dekat Ahmad Yani, dan bisa. Lalu dia pergi ke depan Gedung Kartini, masih bisa. Sampai di situlah jangkauannya.
Tetapi walaupun begitu, kami merasakan kegembiraan yang luar biasa. Rasanya, masih ingat betapa senyum mengembang di wajah kami semua.
Saya memberi nama radio itu dengan Radio Pro Kom. Maksudnya Radio Program Komunikasi. Sekalian suaranya mirip-mirip Prominda Dirgantara, atau Pro 2 FM. Baharudin, Desi Asiska, termasuk penyiar radio pertama kami. Peresmian lembaga ini dilakukan oleh Pak Haitami dihadiri Puket 1, Pak Dwi, Pak Munawar, sejumlah ketua prodi, dan pejabat kepala bagian di STAIN. Peresmian disiarkan secara langsung oleh radio tersebut. Keren sekali!
Setelah percobaan itu berhasil, kami membeli antenna yang agak lebih bagus. Dengan antena itu jangkauannya bisa mencapai dua kilometer.
Kehadiran dua media ini dan gairah yang ditunjukkan mahasiswa membuka mata dunia luar kampus. Polnep dengan radio Polnepnya bersedia membagi pengalaman mereka kepada kami. Koneksinya melalui jaringan Desi Asiska. Di Polnep, koneksinya melalui jaringan Anton Perdana. Mereka berkenalan – kata Desi, karena sama-sama aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Aktivis media di STAIN ini juga mulai terhubung kepada lembaga pers kampus di Untan – include juga pengelola Mimbar Untan juga mulai tahu keberadaan media di STAIN itu.
Mahasiswa mulai diajak bergabung dalam jaringan lembaga pers. Kundori sempat diajak untuk turut dalam pelatihan yang selenggarakan lembaga pers kampus di Yogyakarta.

***

Setelah itu, tidak banyak lagi yang saya tahu. Saya bolak balik ke Kuala Lumpur untuk menyelesaikan disertasi. Kadang satu minggu, dua minggu, bahkan kadang satu bulan. Saya melihat perkembangan dari jauh.
Yang saya tahu kemudian, Syair mulai tidak lagi diurus. Kundori dan kawan-kawan mulai lebih aktif di luar dan kegiatan-kegiatan lain. Ada yang di HMI, ada yang di masjid.
Tetapi, untungnya, Radio tambah besar karena perhatian Pak Haitami. Alokasi dananya tambah besar. Ada alokasi keuangan. Belakangan, ada dosen khusus yang ditempatkan sebagai direktur Radio.
Lalu, setelah generasi berganti, kemudian lahirlah Lembaga Pers Mahasiswa STAIN Pontianak.
Saya tidak tahu perkembangannya. Saya juga tidak tahu sejarah dan latar belakang pembubaran Syiar yang kemudian muncul media baru bernama Warta.




2 komentar:

andreasharsono mengatakan...

Saya sangat senang membaca cerita ini. Mungkin karena background saya, pernah jadi wartawan mahasiswa di Universitas Kristen Satya Wacana, mengalami susah, naik-turun, penerbitan mahasiswa bahkan dibredel. Mungkin pengalaman mengajar di IAIN Ar Raniry, Banda Aceh, lalu ikut bantu mahasiswa bikin penerbitan. Saya merasa pers mahasiswa, cetak maupun radio, potensial jadi training ground untuk calon wartawan profesional.

Sukardi (Adi TB) mengatakan...

saya senang dengan tulisan pak yusriadi, sehingga saya dengan membacanya bisa langsung mengetahui sejarah penerbitan di kampus STAIN Pontianak :)