Selasa, 14 Juli 2009

Setelah Lewat Lengah Hari ...

Oleh Yusriadi

Hari itu, aku bongkar-bongkar file. Ada berkas yang kucari.
Berkas-berkas lama kuungkai satu per satu. Kubelek-belek map penyimpanan. Cukup lama juga mencarinya.
Kadang kala ada rasa kesal: karena harus susah payah mencari. Kadang juga ada rasa meluat karena berkas kadang pindah-pindah tempat. Ingatanku tidak kuat. Maklumlah.
Tetapi, ya.. mau apa lagi. Terpaksa … ya harus sabar.
Aku berusaha.




Kadang-kala ada rasa sukanya: melihat berkas lama itu memberikan kesempatanku untuk mengingat banyak hal yang sudah terlewati dalam hidup ini.
Ya, perjalanan hidupku sudah panjang. Jika umur nabi Muhammad dijadikan rujukan, berarti umurku sudah lebih separoh jalan. Kata orang tua, perbandingannya, sudah lewat tengah hari. Kini, dengan umurku itu, aku menapak senja.
Apa yang diinginkan orang di kehidupan senjanya? Orang di kehidupan senja, mestinya mulai bersiap-siap istirahat. Jika perumpamaan kehidupan manusia: manusia di kehidupan senjanya seharusnya sudah memikirkan bagaimana memulangkan ayam dan ternak lain balik ke kandang. Sudah mulai menyiapkan diri menghadapi alam yang gelap. Manusia di saat senja seharusnya sudah memikirkan saat-saat istirahat panjang.
Apakah aku begitu? Apakah aku sudah memikirkan istirahat panjang itu? Berat benar memikirkannya. Bukan, maksudku, berat benar menjawabnya. Aku malu menjawabnya. Apakah aku sudah siap (siap-siap) untuk istirahat panjang? Ibadahku bagaimana? Apakah aku sudah memenuhi panggilan Tuhan yang menciptakanku?
Apakah aku sudah berusaha mengembalikan ayam dan ternak lain kembali ke kandang? Rasanya belum. Pada saat senja ini aku masih lebih banyak memikirkan diri sendiri, ketimbang orang yang menjadi tanggung jawabku. Aku sering mengabaikan ayam dan ternakku. Kalaupun aku memikirkan mereka, aku hanya memikirkan mereka. Memikirkan saja. Tidak melakukan apa-apa.
Sering aku berpikir, jika aku mati saat ini, bagaimana ayam dan ternakku itu? Apakah mereka akan kembali sendiri ke kandang? Apakah mereka akan bertempiaran?
Justru kadang kala, aku bukannya memikirkan apa persiapanku di senja ini dan di malam hari saat aku hanya bisa terbaring. Aku, lebih sering duduk terdiam: memikirkan apa yang kubuat di pagi hari. Apa yang kubuat menjelang ufuk. Apa yang kubuat ketika matahari sepenggalan naik. Apa yang kubuat ketika hari menjelang siang.

***

Tiba-tiba, tanganku terhenti pada sebuah kartu: kartu mahasiswa. Kartu itu milikku ketika aku masih kuliah di IAIN Pontianak, tahun 1991/2, saat aku duduk di semester 5. Lagi-lagi, kartu ini mengingatkan aku pada masa muda dahulu.
Aku menilik foto yang terpampang di balik laminating. Foto hitam putih. Wajahku masih comel. Pipiku masih gemuk, dahulu ada lesung pipinya. Rambutku masih lebih lebat. Walaupun tidak rapi karena hampir tak pernah bersisir, dan tak jarang pula terkena cecair minyak Tancho. Kata orang, masih ganteng waktu itu. Banyak yang gemas – sehingga seringkali mereka membuatku takut. Bayangkan (tapi beberapa tahun sebelumnya), ada tiga orang teman Mbok Lena – Mbok Lena itu kakakku, mengepungku di atas jembatan di Jongkong, hanya karena ingin mencubit pipiku.
Beda jauhlah dibandingkan aku sekarang ini. Walaupun aku merasa tetap ganteng (hm! Maaf narsis), tapi kata orang-orang, wajahku sekarang sudah menyeramkan, kalau bisa jangan dilihat, kalau bisa dihindari. Sekarang pipiku sudah kempes sehingga semuanya jadi seperti lesung pipi, rambutku sudah tipis hampir-hampir kulit kepala yang nampak. Rambutku tetap awut-awutan karena tak berbekal sisir dan tak tersentuh minyak Gatsby. Warna putih, uban, ada di mana-mana mengkilap, mudah dilihat dari kejauhan.
Ya, aku merasakan ada perbedaan yang sangat kontras sekarang. Mengapa?
Inilah perbedaan waktu. Inilah perbedaan usia.
Perbedaan yang tak bisa dihindarkan. Perbedaan yang harus diterima sebagai sesuatu yang alami. Perbedaan yang membuatku hanya bisa mengingat, dan mengingat. Merenung dan menghayal.
Ya Rab, berikan aku husnul khatimah.

0 komentar: