Sabtu, 15 Agustus 2009

Buku “… Catatan Guru-guru di Kalbar”: Menggugah Semangat Menulis

Judul: Agama & Pendidikan Agama, Catatan Guru-guru di Kalbar
Editor: Hermansyah
Penulis: Syamsiah, Jaitunah, Abd. Rohman, Azizah, Sanusi, Ahmad Hasbullah, Eutik Nurjanah, HM Taslim, Sujiati, Yuhdi, M. Sidik H Idris, Muswadi, Sakarani, Nuraini, Suparno, Imam Muzaiyin, Nasifah, Nurjanah, Ismail, Mustaim, M. Nasir AK, Suindrawati, Indrawati, Tri Basuki, Masdariah, Habibah, Dayang Halijah.
Penerbit: STAIN Pontianak Press
Tahun: 2009
Halaman: 308+viii



Oleh: Yusriadi

Upaya menggugah semangat menulis guru di Kalbar sering dilakukan. Pelatihan menulis yang melibatkan para guru, kerap kali digelar. Tidak saja pembicara local, tetapi juga pembicara nasional.
Sebagian guru itu, termotivasi. Ada yang terbakar semangatnya. Banyak yang mengaku siap menjadi penulis.



Saya sendiri pernah berhadapan langsung dengan sejumlah guru ketika menjadi pemateri sebuah pelatihan menulis di kalangan guru sebuah sekolah favorit di Kalbar. Ketika itu, saya memprovokasi mereka dengan sejumlah buku – termasuk buku yang ditulis seorang anak sekolah menengah, buku yang ditulis mahasiswa dan buku yang ditulis oleh seorang temenggung di kampung.
Pada waktu itu, saya juga sempat mengingatkan mereka soal kepentingan menulis untuk karir mereka (angka kredit), dan kepentingan menulis sebagai bentuk memberikan keteladanan kepada murid-murid. Saya juga mengingatkan mereka tentang citra kepenulisan sebagai salah satu ciri manusia hidup di era sejarah dibandingkan citra kelisanan sebagai salah satu ciri manusia yang hidup di era prasejarah.
Dalam sehari dua, sebulan dua, nampak jugalah semangat mereka. Saya sempat menerima kiriman satu dua naskah agar dapat dimuat di Borneo Tribune. Tetapi, seiring perjalanan waktu semangat itu padam. Luntur. Tak ada karya yang dihasilkan. Tak ada lagi cerita menulis. Yang ada, cerita masalah-masalah yang mereka hadapi. Lantas, mimpi tinggal mimpi.
Saya sempat menjadi agak pesimis dengan keadaan ini. Berat nian membentuk budaya menulis di kalangan masyarakat. Hatta masyarakat biasa, guru saja yang pekerjaannya seharusnya berkaitan dengan budaya baca dan tulis, susah.
Sudahlah. Nasib agaknya memang begitu.
Harapan saya berkecambah kembali ketika saya mendengar Dekan FKIP Untan Dr. Aswandi bersama SDRC memfasilitasi pembentukan Komunitas Guru Menulis di Kalbar. Komunitas ini deklarasinya Kamis (13/8) lalu. Di tengah harapan besar saya terhadap komunitas ini, saya sempat bertanya-tanya dalam hati: apakah komunitas itu akan bertahan lama? Apakah orang di komunitas itu akan melahirkan karya tulis kelak? Apakah nasib semangat mereka akan sama seperti guru-guru yang pernah saya temui?

***

Optimisme saya berkembang. Semua itu karena saya mendapatkan kejutan besar saat masuk ke ruangan Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak Kamis (13/8).
Di atas meja Ketua P3M Drs. Yapandi Ramli, M.Pd, terdapat sebuah buku baru yang sampul depannya gambar seorang anak sedang menyimak penjelasan seorang guru. Buku itu berjudul “Agama & Pendidikan Agama, Catatan Guru-guru di Kalimantan Barat”. Buku itu terbitan STAIN Pontianak Press ditulis banyak penulis, dengan editor Hermansyah.
Saya sangat tertarik pada buku itu. Maklum, bagi saya buku-buku yang mengangkat isu local selalu menarik. Bahkan, saya pun, kalau buat judul untuk buku selalunya memilih judul “Kalimantan Barat”.
Misalnya, buku Etnisitas di Kalimantan Barat; Budaya Melayu di Kalimantan Barat; Dayak Islam di Kalimantan Barat; Dakwah Islam di Kalimantan Barat; Perjalanan di Pedalaman Kalimantan Barat, dll…
Bagi saya, lokal konten selalu menarik karena data yang ditampilkan adalah data-data lapangan tentang daerah di mana saya berada.
Saya menjangkau buku itu. Saya membaca nama-nama penulisnya. Syamsiah, Jaitunah, Abd. Rohman, Azizah, Sanusi, Ahmad Hasbullah, Eutik Nurjanah, HM Taslim, Sujiati, Yuhdi … hingga terakhir nama Dayang Halijah. Jumlah semuanya ada 27 orang. Mereka semua guru.
Saya rasa, ini benar-benar kejutan. Guru di Kalbar telah menulis. Mereka menulis bersama. Dan kini telah jadi buku. Mungkin, sepanjang yang saya tahu ini adalah buku pertama berisi kompilasi tulisan guru di Kalbar.
Saya kagum, karena mereka ini sudah melampaui batas ‘semangat’. Mereka telah mengatasi hambatan-hambatan dalam menulis. Kesibukan mengajar, kesibukan mengurus anak, dll, dapat mereka atasi.
“Saya tidak sempat mengedit benar-benar,” kata Hermansyah, ketika saya membuka buku ini.
Saya menyimak daftar isi. Daftar isi buku sangat menarik. Misalnya, Penyebaran Agama Islam oleh Muhammad Yusuf Saigon Al-Banjari; Islamisasi di Pesisir Utara; Kehidupan Beragama di Desa Teluk Kapuas; Suasana Pendidikan Masyarakat Dusun Tanjung Sosor, dll.
Saya membaca pengantar editor. Di bagian ini disebutkan bahwa tulisan ini merupakan hasil dari kelas Bimbingan Penulisan Karya Ilmiah di Kelas Khusus Jurusan Dakwah. Sebagai dosen, Hermansyah mengakui dia telah mengajak guru ini menulis dan kadang kala seperti setengah memaksa.
“Hasilnya, walaupun kadang-kadang setengah memaksa wujud juga tulisan itu. Bahkan, tidak sedikit pula dari mereka yang menunjukkan bakat menulis yang baik”. (Hal. iv).
Memaksa! Saya dapat menyelami lika-liku yang dihadapi editor ini dalam menggarap karya ini. Pasti tidak mudah. Situasi seperti ini pernah saya hadapi ketika menerbitkan tulisan mahasiswa yang mengikuti kelas Feature – yaitu buku cerita “Mimpi di Borneo” dan “Menapak Jalan Dakwah”. Cukup berat. Tetapi, karena kami mengerjakannya dengan semangat, buku itu akhirnya terbit juga. Sekalipun terbitnya terbatas dan kemudiannya di sana sini ditemukan kekurangan.
Namun, terbatas atau kurang, bukan isu penting dalam menumbuhkembangkan budaya menulis.
Yang penting adalah bagaimana karya itu bisa diterbitkan. Dan lebih penting lagi, penerbitan itu akan menjadi kayu api yang membakar semangat sehingga menjadi lebih dahsyat lagi. Bukan saja semangat guru yang sudah menulis, tetapi juga semangat guru-guru yang baru menganggotai Komunitas Guru Menulis Kalbar dan semangat guru-guru yang sempat memiliki semangat semangat menulis.
Karena itulah saya kira, buku ini seharusnya kita miliki dan dijadikan pegangan.




2 komentar:

Nurita Putranti mengatakan...

salam kenal bang yusriadi.
artikel yang menarik dan memacu saya utk terus menulis. walaupun belum pernah menerbitkan buku atau dimuat di koran, saya tetap setia menuangkan pengetahuan & pengalaman di blog. silahkan kunjungi http://nuritaputranti.wordpress.com

Yusriadi mengatakan...

Salam.
Senang mendengar semangat Ibu.
Bagaimana kalau tulisan di blog dikumpulkan, disunting, lalu dijadikan buku? Biar ada buku pertama.