Senin, 17 Agustus 2009

Jurnalistik untuk Humas: Yang Terbaik untuk Mereka yang Bersemangat

Oleh Yusriadi


“Alhamdulillah jumlah peserta cukup banyak,”
Nur Iskandar, Pimpinan Redaksi Harian Borneo Tribune yang juga Wakil Ketua Yayasan Tribune Institute memberitahu saya tentang peserta yang akan mengikuti pelatihan Jurnalistik untuk Humas se Kalimantan Barat yang diselenggarakan Tribune Institut, di Pontianak 12-14 Agustus 2009.
“Sudah terdaftar sekitar 15 orang,” tambahnya.

Lantas dia merinci satu per satu asal peserta itu.
Saya kira, jumlah 15 orang untuk sebuah pelatihan sudah cukup banyak. Terlalu banyak peserta, tidak akan maksimal. Jumlah 15 orang akan memudahkan proses bimbingan dan pemantauan. Juga, akan memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada peserta untuk berinteraksi dengan pemandu.
Seringkali pelatihan melibatkan banyak orang tidak akan maksimal. Pemandu tidak dapat menguasai mereka; dan mereka tidak mendapat perhatian. Kesempatan bertanya dan mendapatkan bimbingan juga akan sangat terbatas.
Kalau ada di antara peserta yang ‘aneh’, justru kelas akan hiruk pikuk. Jika tidak, justru kelas akan sunyi senyap karena ada yang sempat-sempat tertidur.
Jadi, kalaupun dipaksakan banyak peserta, kedatangan mereka mungkin tidak banyak manfaat bagi mereka. Mungkin mereka hanya bisa bangga dengan mendapat sertifikat tanda pelatihan.
“Kita harus memberikan yang terbaik untuk peserta”.
Dwi Syafriyanti, Ketua Yayasan Tribune Institute beberapa kali mewanti-wantikan hal itu. Dalam rapat panitia pelatihan dia mengingatkan obsesinya.
“Ini pelatihan perdana kita untuk mereka. Kita harus membuat mereka puas dan terkesan”.
Sebab itulah dalam pertemuan beberapa hari lalu, materi pelatihan dikaji kembali. Dalam rapat yang diikuti peneraju Tribune Institute, antara lain Nur Iskandar, Dwi Syafriyanti, Tanto Yakobus, Muhlis Suhaeri, Caturaini Fahmi, dan saya, kami kemudian menambahkan beberapa materi baru yang berbeda dibandingkan materi yang dikirimkan kepada instansi Humas di seluruh Kalbar sebelumnya.
Materi baru itu antara lain, berkaitan dengan relasi Humas dan Media, Blog dan Internet, serta tentang Apa yang Harus dilakukan Humas ketika berhadapan dengan wartawan. Selain itu, untuk menambah wawasan, peserta juga disajikan tentang perbandingkan etika jurnalistik dan pers di Jerman.
Dwi sendiri yang dijadwalkan menyampaikan materi berkaitan dengan Hukum dan Pers juga merancang materi yang kemas.
“Saya akan mulai dari contoh kasus,” katanya.
Maklum, Dwi sendiri memiliki pengalaman menangani kasus berkaitan dengan wartawan dan pelanggaran hukum.
“Saya harap mereka mendapatkan sesuatu yang berguna dalam tugas mereka. Minimal dapat memberikan advise kepada bosnya jika berhadapan dengan media”.

***

Hari Rabu (12/8), pelatihan dibuka secara resmi oleh Pembina Tribune Institute, WW Suwito. Yel-yel di saat pembukaan itu membangkitkan semangat peserta.
Setelah pembukaan itu, Nur Iskandar bersama Annabelle Schmitt meminta peserta memperkenalkan diri dan mengemukakan tujuan mengikuti pelatihan.
Semangat sekali. Ada yang tujuannya menambah wawasan dan keterampilan menulis. Ada yang ingin mendalami fotografi. Mereka memiliki harapan yang cukup tinggi terhadap pelatihan itu.
Saya kira semangat itu terasa sampai hari kedua pelatihan. Saya masuk ke kelas pelatihan itu untuk menyampaikan materi dasar penulisan berita dan release.
Saya memprovokasi peserta dengan menunjukkan buku biografi Aspar Aswin, mantan Gubernur Kalbar.
“Seharusnya buku seperti ini, yang menulisnya adalah orang-orang di Humas. Sebab, mereka sangat dekat dengan seorang pemimpin. Bukan orang lain”.
Saya kira, tidak seorang peserta pun yang meragukan hal itu. Sebagai Humas mereka memiliki akses yang sangat mudah kepada seorang pemimpin. Humas (seharusnya) selalu dibawa bos-nya ke mana pun bos itu pergi.
“Jika setiap kali bersama bos bisa buat tulisan, maka jadilah buku biografi itu”.
Saya juga menunjukkan kumpulan kliping koran yang saya buat ketika mula-mula bertugas di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pontianak.
Bahan-bahan itu menjadi bukti pengabdian, bukti yang akan terus tinggal untuk masa berikutnya.
“Sekalipun 100 tahun kita sudah meninggal, kita akan dikenang orang,” kata AA Mering, pemandu kelas menyampuk.
“Tulisan akan membuat kita abadi”.
Ketika di bagian akhir kelas saya meminta peserta membuat berita berdasarkan bahan laporan panitia, saya tergugah. Mereka mengerjakannya dengan serius. Bertungkus lumus, kata orang Melayu.
Waktu yang diberikan seakan tidak cukup karena perhatian mereka tercurahkan pada bahan-bahan itu.
Bahkan setelah selesai kelas, seorang peserta berbisik kepada saya.
“Saya ingin membuat buku tentang kepala dinas”.
“Oh, ok. Bisa. Saya akan bantu”.
Saya sempat memberitahu dia bahwa saya, bersama teman-teman di Malay Corner STAIN Pontianak menyelenggarakan pelatihan menulis. Hasilnya, buku. Peserta pelatihan itu sudah menerbitkan satu buku. Satu buku lagi akan terbit dalam waktu dekat ini.
“Buat buku biografi juga harus sabar. Tidak bisa jadi sekali tulis. Mungkin waktunya enam bulan atau satu tahun untuk mengumpulkan bahan-bahan tulisan itu sehingga banyak, dan kemudian layak diterbitkan”.
Saya juga mendengar dari Dwi, kemudian, bahwa peserta juga menunjukkan semangat ketika mendiskusikan kasus-kasus pers.
“Waktunya jadi molor”.
Mering yang menyampaikan materi blog dan internet juga mengungkapkan peserta sangat antusias dengan materi itu.
“Malah mereka minta tambah waktunya. Mereka minta besok lagi”.
Pada pertemuan pertama tadi, beberapa peserta yang membawa lap top sudah berhasil membuat blog sendiri.
“Sayangnya tadi internet mati setelah listrik PLN padam. Jadi, terputus”.




0 komentar: