Senin, 10 Agustus 2009

Libur Sekolah di Pontianak

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Rasanya, salah satu hal yang paling diinginkan banyak orang tua sekarang adalah: sekolah diliburkan. Orang tua ingin agar sekolah membuat kebijakan kegiatan belajar diliburkan untuk sementara.
Setidaknya ada dua alas an. Alasan pertama, soal asap.




Saya dengar orang tua bilang: „Pagi ... asap pekat sekali. Terasa benar kalau kita antar anak jam 6“.
„Kita si mungkin kuat. Kasian anak-anak“.
Tentu orang tua yang bilang begitu orang yang tua yang pakai motor. Mereka yang pakai mobil, tentu tidak sempat menghisap karbon itu.
Memang sekolah-sekolah tertentu membagikan masker kepada siswa mereka. Jadi, anak-anak dapat menggunakan pelindung. Namun, orang tua tetap khawatir udara yang tidak sehat menimbulkan dampak terhadap anak-anak kelak, untuk jangka panjang.
Karena itu orang tua cukup senang ketika mendengar pemerintah mengimbau sekolah menggeser jam belajar menjadi agak siang sedikit. Biar kabut asap turun dulu. Tetapi, sampai kemarin, imbauan itu belum dilaksanakan. Maklum, imbauan pun juga baru-baru ini dikeluarkan.
Alasan kedua, soal penyakit.
Banyak anak sekarang ini sakit.
Seorang anak sekolah dasar mengatakan, dari 40 orang temannya satu kelas, ada 15 orang tidak masuk. „Kawan-kawan banyak yang sakit“.
Ada yang demam. Ada yang batuk. Ada yang berak-berak. Ada yang pusing. Kabarnya rumah sakit juga kebanjiran pasien anak-anak.
Memang ada yang bilang anak sakit pada musim sekarang itu biasa.
„Musim buah memang selalu begitu“.
Sekarang musim durian, langsat, rambutan. Musim buah ini yang dipercayai mengundang penyakit. Itu kata orang tua-tua.
Ya, sebenarnya kita percaya, musim kemarin selalu begitu. Musim seperti sekarang memang anak-anak yang paling rentan pada penyakit. Apalagi dalam masyarakat yang air minumnya dari sumber air hujan tadahan teluturan atap; atau dalam masyarakat yang menggunakan air sungai, yang sungai itu selain untuk sumber air minum, juga menjadi tempat mencuci dan buang hajat.
Oleh sebab itu, ada orang tua yang membatasi jajan anak-anak mereka. Jenis es, goreng-gorengan, dilarang. Namun, melarang anak jajan tidak selalu mudah. Diam-diam anak membeli sendiri makan sesuai dengan selera mereka, sekalipun sudah diwanti-wanti. Sulit bagi anak untuk menghadapi godaan. Sebab, begitu keluar kelas, mereka meluru ke halaman dan di halaman sekolah ada banyak pedagang es, gorengan, dan lain-lain. Uang ada, yang jual juga ada. Klop.
Hanya malangnya, karena kebersihan kurang diperhatikan, jajanan menimbulkan akibat buruk pada mereka. Kayaknya tidak ada lembaga yang berkompeten mengurus soal higenitas makanan yang dijual oleh pedagang. Kalau ada, semestinya hal seperti itu sudah dilakukan sejak lama, tidak menunggu anak-anak sakit-sakitan. Sepatutnya, penjual yang tidak memperhatikan kebersihan, dilarang berjualan.
Karena itu, seorang teman bilang, dalam masa sekarang ini meliburkan anak sekolah merupakan cara untuk menghindari anak dari terus jatuh sakit; sambil menunggu kebijakan soal jajanan di sekitar sekolah.
„Kalau anak sekarang diliburkan, rasanya lebih tenang, tidak was-was mereka jajan apa di sekolah“.
Tetapi, tentu harapan seperti ini tidak mudah direalisasikan. Maklum, orang yang terkena dampak hanyalah orang dari golongan rendah yang bersekolah di sekolah yang terbuka – tidak berpagar tinggi. Kita maklum terlalu sulit bagi pejabat untuk berempati pada nasib orang kecil.
Rasanya, kalau pejabat kita masih macam dahulu, rasanya, jangan berharaplah ada kebijakan seperti itu!











0 komentar: