Senin, 10 Agustus 2009

Mimpi tentang "Terang Terus"

Oleh Yusriadi
Borneo Tribune, Pontianak

Minggu ketiga Juli. Saya menerima sebuah pesan singkat yang masuk melalui HP. Seorang teman, peneliti dari Pontianak.
“Bang, maaf, makalahnya terlambat. Boleh nyusul khan?”
Saya segera teringat. Minggu ketiga Juli memang batas akhir “pengumpulan” makalah. Saya minta teman itu membuat makalah untuk sebuah jurnal di Malaysia untuk edisi terbitan akhir tahun. Kebetulan ada peluang.


Kebetulan apa awal Juli bertemu dengan editor jurnal tersebut dan saya meminta peluang – prioritas, untuk tulisan saya dan kawan-kawan. Prioritas karena saya tahu, tulisan kami pasti kalah saing mutunya dibandingkan tulisan ilmuan yang biasa menulis di jurnal itu. Para ilmuan itu, professor dan doctor. Mereka rajin buat penelitian, mereka berkesempatan mengumpulkan data dan membaca bahan penelitian orang lain. Sedangkan saya dan teman, tidak berkesempatan. Kalaupun ada kesempatan, kesempatan itu sangat terbatas. Penelitian jarang-jarang bisa dilakukan. Mungkin soal dana – yang studi-studi lapangan pasti memerlukan biaya akomodasi, dll. Dana pribadi tidak selalu bisa disisihkan untuk itu. Bahan bacaan? Kawan di Pontianak hanya bisa mengandalkan pustakaan pribadi yang koleksi amat terbatas.
Mungkin soal waktu juga satu hal. Mau turun lapangan berarti meninggalkan tugas kantor. Mau turun lapangan perlu izin. Kadang kala soal izin ini rumit. Kecuali main tinggalkan begitu saja. Bolos.
Belum lagi soal cara menulis. Kemampuan kita menulis, masih rendah. Maklum kurang latihan. Buat makalah pun jarang-jarang. Mungkin kalau tidak ada kesempatan tampil di seminar, lupalah kebiasaan menulis makalah. Padahal kesempatan seminar seperti itu amat jarang. Apa jadinya kemampuan menulis jika menulis makalah hanya 2 kali setahun? Pasti rendah. Tidak mungkin keterampilan menulis diperoleh jika tidak biasa menulis. Mungkin satu-satu yang meningkat adalah perasaan mampu menulis, selain kemampuan ‘ngobrol’.
Oleh sebab itu, ketika sang editor itu sedia memberi peluang, saya kira peluang itu adalah kesempatan emas. Kesempatan yang harus diraih dengan serta merta. Pikiran ini yang mendorong saya menghubungi beberapa orang teman untuk mengirimkan makalah ke jurnal tersebut.
“Waduh, kok lambat. Napa?”
Saya mencoba merespon pesan itu. Ingin tahu saja.
“Ga bisa nulis. Listrik mati terus”.
Pada mulanya saya agak tersentak. Maklum, tak terpikir kalau listrik bisa menjadi hambatan produktivitas sehingga teman tadi tidak bisa menyelesaikan penulisan makalahnya.
Tetapi, kemudian saya maklum. Kalbar berbeda dengan Selangor, atau Kuala Lumpur. Di Kalbar listrik memang sering padam. Sudah biasa orang mengeluh mati lampu.
Saya lantas teringat pengalaman seorang guru sekolah dasar di pedalaman lebih lima tahun lalu. Sekolah mereka mendapat bantuan komputer. Bantuan itu disambut dengan suka cita karena memang mereka mendambakannya sejak lama. Mereka di kampung ingin komputer karena melihat orang di kota sudah pakai komputer. Pada mulanya mereka pikir, dengan adanya komputer, kerja mereka makin mudah, semakin cepat. Makin canteklah surat menyurat – setidaknya dibandingkan dengan surat yang ditulis dengan mesik ketik.
Tetapi apa yang terjadi kemudian? Begitu komputer sampai di ruang guru di sekolah, para guru bingung. Listrik tidak pernah nyala pada siang hari. Listrik di kampung hanya nyala pada malam hari, mulai pukul 18.00 – 06.00. Waktu itu, orang lagi istirahat.
Sekian lama komputer tidak digunakan, disimpan saja di sekolah.
Lalu, para guru sepakat (mungkin inisiatif kepala sekolah) komputer itu dibawa ke rumah kepala sekolah, biar bisa dipakai, sekalipun pada malam hari.
Begitu dipasang di rumah, saat menyalakan monitor, tiba-tiba semua lampu mati. Gelap. Daya tidak kuat.
“Saat itu, orang hanya bisa heran. Tidak bisa,” katanya.
“Setelah itu, sampai sekarang, komputer tidak pernah dipakai. Jadi barang buruklah”.
Kalau ingat cerita ini saya rasanya ingin tertawa. Tertawa pada guru-guru itu, tertawa pada kepala sekolah, dan mentertawakan program komputerisasi Dinas Pendidikan. Niat ada, namun, tidak bisa dilaksanakan.
Tetapi cerita itu juga menyadarkan saya betapa suplai listrik sangat menentukan juga produktivitas dan juga kemajuan. Cerita ini menyadarkan saya bahwa PLN membantu orang mencapai peradaban. Dan, peradaban itu belum bisa ditapaki orang sekarang ini karena PLN belum dapat menyediakan jasanya dengan baik.
Jadi, sekarang, bukan hanya di kampung orang kesulitan mendapatkan listrik, tetapi juga di kota – justru di pusat peradaban itu sendiri.
Karena itu begitu mendengar masalah teman di Pontianak yang tidak bisa menyelesaikan makalah tepat waktu, tentu saya jadi maklum.
“O, gitu. Ya, udah mau apa lagi. Mudah-mudahan masih ada peluang”.
Ya, mau apa lagi? Soal listrik di luar kemampuan teman dan kemampuan saya mengatasinya. Tidak mungkin dapat mengatasinya.

***

Komunikasi singkat dengan teman lewat SMS itu membuat saya membandingkan (dan membanggakan Negara lain).
Selama berbulan-bulan saya di Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA) Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) rasanya baru satu kali ‘ketemu’ listrik padam. Listrik pada karena waktu itu ada perbaikan di pusat bekalan listrik.
Waktu itu saya tidak bertanya lagi, pusat bekalan listrik apa yang dimaksud. Saya kurang tertarik mengetahuinya lebih jauh, dan lagian, saya kira orang yang saya ajak bicara itu tidak mengetahui lebih jauh soal itu. Kalau pun saya bertanya terus, mungkin saya akan mendapat jawaban: Tidak tahu. Tidak tahu. Style orang di sini memang begitu, kalau dia tidak tahu, dia akan bilang tidak tahu, jika tidak mampu dia akan bilang tidak mampu.
Setelah sekali itu, rasanya belum pernah lagi listrik padam. Listrik menyala tiap hari. Tiap hari terang terus. Selama bekerja saya tidak pernah merasa khawatir tiba-tiba data hilang karena listrik padam. Tak pernah.
Lagi, saya tidak bisa bayangkan jika listrik di sini kelap kelip seperti di Pontianak. Mungkin (pada awalnya) orang akan ribut minta ampun. Mungkin orang tidak akan bisa bekerja karena komputer tidak bisa digunakan. Mungkin orang tidak akan betah berada di ruangan karena AC tidak menyala. Ruangan yang tidak punya ventelasi itu akan menjadi kurungan yang panas. Pegawai di sini tidak tahan panas.
“Kapankah kita di Pontianak bisa seperti itu?”
Pertanyaan seperti itu sering kali bergayut dalam benak saya, dan juga di benak teman-teman asal Pontianak yang belajar di Malaysia. Keadaan listrik yang terang terus di Malaysia telah membuat kami iri. Suplay energi itu benar-benar terjaga. Pemerintah benar-benar peduli dengan kebutuhan dasar itu.
Saya pernah mendengar cerita, tahun 1996, ketika saya pertama kali belajar di Malaysia, seorang professor di sana bilang bahwa beberapa waktu sebelum itu Kuala Lumpur dan Selangor, listrik mati selama beberapa jam. Lantas masyarakat ribut. Orang komplen. Mereka bercerita soal kerugian. Hingar binger ini diterima direktur perusahaan listrik dengan jantan. Dia mengundurkan dirinya.
“Dia merasa tidak sanggup menyelesaikan persoalan itu. Dia mundur,” kata professor itu.
“Di Pontianak, listrik mati terus pun mana ada peduli,” tambahnya.

***

Di Pontianak, pernahkah orang yang bertanggung jawab terhadap listrik merasa tidak mampu bekerja?
Entahlah. Rasanya tidak pernah kita dengar hal itu di ruang publik. Bahkan secara tersirat kita mendengar mereka orang-orang yang bertanggung jawab menyediakan suplai listrik untuk masyarakat selalu menganggap mereka sangat mampu. Bahkan sesekali kita mendengar mereka menyebutkan persoalan listrik yang kelap kelip itu, bukan persoalan mereka, sekalipun urusan listrik itu di tangan mereka.
Kita bisa bercermin pada ironi yang muncul di ruang publik di Pontianak.
Kalau ada listrik padam, masyarakat kota lantas teringat pernyataan orang PLN, bahwa yang bikin lampu padam itu kelayang. Masyarakat kota masih mengingat hal itu. Bahkan, ungkapan itu sering dikembalikan kepada PLN bila listrik tiba-tiba mati di malam hari.
“Aduhh…. Masak si orang main kelayang malam-malam?”
Hal seperti itu tentu saja menjadi aneh. Aneh karena masalah ini berkelanjutan. Apakah persoalan main kelayang tidak dapat diatasi? Apakah pemerintah tidak memiliki cara menghadapi para pemain kelayang – agar tidak ada lagi gangguan itu?
Sesungguhnya masyarakat kota tidak percaya dengan alasan ini. Saya pun juga sulit mempercayainya. Sebab, jika benar-benar tali kelayang yang bikin kita sengsara kegelapan, mengapa pemain kelayang tidak benar-benar ditangani? Masakan pemain kelayang tidak bisa diatasi. Bagi saya orang awam, cara mengatasinya sederhana: Tangkap pemainnya. Kurung mereka beberapa hari, kenakan denda yang besar – agar sesuai dengan kerugian yang mereka timbulkan dari permainan itu. Apakah Pol PP tidak sanggup mengerjakan itu? Rasanya mereka pasti sanggup. Pasukan mereka cukup gagah dan kuat untuk memburu para pemain, seperti gagahnya mereka ketika menertibkan lapak pedagang dan bangunan tak berizin.
Selain itu, Jaksa pasti dapat menuntut pelaku dengan tuntutan yang sepala, dan Hakim pasti dapat menjatuhkan putusan yang adil untuk pertimbangan kebaikan masyarakat yang lebih luas dan besar.
Tetapi mengapa sampai hari ini masalah listrik tidak bisa di atasi? Tentu sulit menjawabnya.
Sebenarnya kita ragu karena kita juga mendengar kabar bahwa persoalan listrik bukanlah tali kelayang. Ada yang bilang persoalan listrik karena soal mesin. Kataya, mesin sudah tua. Sering rusak. Setahun lalu kita sempat ditunjukkan alat-alat yang pecah itu ketika menjelang puasa juga, listrik macam orang sekarat.
Kalau benar soal mesin, mengapa bisa begitu? Mengapa mesin tidak bisa diganti? Mengapa mesin baru tidak bisa diperoleh?
Jika soal biaya, tidak adakah sumber dana yang bisa digunakan untuk itu? Dalam bayangan saya, jika dananya besar, seharusnya dana bisa dikumpulkan bertahun-tahun. Jika dana besar, seharusnya ada investor yang dapat membantu: sebab bisnis listrik pasti mendatangkan uang. Bisnis listrik tidak mungkin tidak dibeli orang. Mahal bagaimana pun, listrik tetap akan digunakan orang. Justru seharusnya, dana subsidi rakyat yang kononnya diberikan untuk bayar listrik, dapat digunakan untuk menambah modal mendapatkan mesin baru.
Tetapi kembali kita ragu, sebab kenyataannya, ketika krisis listrik di Kalbar terjadi setahun lalu, ada pejabat PLN yang mengatakan tak usah terlalu cemas, krisis bukan hanya di Kalbar tetapi seluruh Indonesia. Jadi di tempat lain yang orang tidak main kelayang pun listrik juga sering mati. Di tempat lain yang keadaan mesinnya kita tidak tahu, juga mati.
Sungguh membingungkan.
Oleh sebab itulah saya sempat berpikir, krisis listrik mungkin terjadi karena ada politik listrik. Mungkin ada sebab-sebab yang diciptakan, yang diatur, untuk motif-motif tertentu. Hanya motif itu yang belum terbuka kepada publik.
Pikiran itu sempat menggelinding pada kejadian sebuah perusahaan pemerintah di Sambas. Sekarang ini direkturnya dituntut karena menyalahgunakan bantuan. Seharusnya banyak uang digunakan untuk membeli oli agar mesin pompa bisa digunakan, namun yang digunakan hanya sedikit saja. Seharusnya bantuan itu digunakan untuk meningkatkan pelayanan kepada rakyat, namun amanah itu tidak disampaikan. Kasus ini terkuak karena diributkan aktivis LSM. Ditekan terus. Jika tidak, mungkin kasus ini pun akan senyap begitu saja. Orang pasti tidak mengira suplai air yang terbatas rupanya bukan karena air asin atau karena mesin pembangkit yang rusak, tetapi, karena mesinnya tidak bisa dioperasikan karena penyelewengan, karena ada pejabat yang tidak amanah.
Ini memang baru contoh kasus. Tetapi, banyak contoh kasus yang lain – baik yang sudah terbuka kepada publik, maupun yang masih samara-samar karena ada yang pandai menutupi.
Memang bukan kasus di PLN. Namun, kasus ini membuat kita belajar banyak. Hal seperti inilah yang membuat kita sering kali ragu apakah benar Negara ini diurus dengan benar? Apakah benar Negara ini memperhatikan rakyatnya.
Kita menjadi ragu karena masak hal seperti ini tidak ada jalan keluarnya. Masak mereka tidak tahu betapa menderitanya rakyat kecil karena tidak adanya suplai listrik. Masak mereka tidak mendengar betapa seringnya masyarakat mengeluhkan hal itu.





0 komentar: