Minggu, 23 Agustus 2009

Nasionalisme dan Pewarisan Budaya: Mengapa Ribut?

Oleh Yusriadi

Malam kemarin, secara tak sengaja kami – saya dan dua orang teman, menyaksikan pemilihan Gadis Melayu di sebuah stasiun TV swasta Malaysia. Siaran ulang.
Saya katakan tak sengaja, karena teman yang pegang remote TV, main tekan-tekan saja mencari acara TV yang disenangi. Nah ketika terpencet tombol tertentu, muncullah wajah cantik gadis Melayu itu.


Kalau itu, salah seorang peserta dari sebuah Negeri (provinsi) tampil di panggung. Dia memulai dengan lantunan gurindam. Iramanya, ditingkahi dengan pukulan gamelan.
“Jawa-lah itu”.
Kata seorang teman.
“Ha.. ha… Wajah pun, wajah Padang”.
Seorang lagi nyeletuk.
“Ya.. ya…”
Benar. Gamelan identik dengan Jawa. Kebudayaan Jawa. Dugaan teman tadi, betul seratus persen. Tetapi, saya rasa soal wajah Padang, saya tak dapat menyelaminya maksud kawan itu. Apakah tebakannya itu berkaitan dengan lantunan gurindam di awal persembahan gadis itu? Maklum, gurindam yang paling terkenal gurindam Raja Ali Haji, seniman asal Riau. Riau dan Padang, Sumatera Barat, berbatasan.
Tapi, mungkin dia bergurau saja. Benarkah ada wajah Padang? Hidung Padang? Muka Padang? Yang saya tahu, pakaian Minang ada.
Tetapi mungkin teman tadi itu benar. Kemungkinan ini, bisa saja, sebab banyak sekali orang Minang di Malaysia. Bahkan orang mengenal Negeri Sembilan, salah satu provinsi di Malaysia, sebagai wilayah orang Minang di Malaysia. Simbol rumah gadang dijadikan sebagai symbol rumah kebesaran orang Negeri Sembilan. Budaya Minang menjadi budaya penting anak negeri ini.
Adapun soal gamelan Jawa tadi, teman saya berbeda persepsi. Dalam konteks ini, gamelan Jawa dianggap sebagai ‘pinjaman’ orang Malaysia. Sebab, gamelan Jawa, dianggap sebagai gamelan Indonesia. Jawa, identik dengan orang Indonesia. Malaysia, tidak.
Saya sangsi apakah dia mengetahui kalau di Sabak Bernam, Johor, dan beberapa wilayah lagi, orang Jawa cukup banyak. Tetapi saya pasti, teman saya tadi tahu, banyak orang besar di Malaysia asalnya adalah perantau dari Jawa. Merantau jauh sebelum Indonesia diproklamirkan tahun 1945. Mereka bukan orang Indonesia. Mereka orang Malaysia.
Sebagai orang Jawa, tentulah orang Sabak Bernam, atau orang Pontian Johor, mewariskan budaya Jawa dalam kehidupan mereka. Jadi milik mereka juga. Sebagai pewaris budaya Jawa, sewajarnya mereka dapat memainkan atau memperlihatkan kepemilikannya itu.
Saya jadi teringat beberapa waktu lalu, ada pejabat daerah di Kalbar merisaukan banyak khazanah “budaya kita” begitu dia katakan, yang diambil Negara Malaysia. Mereka sebutlah sumpit, gasing, dll. Saya sempat mengingatkan teman wartawan yang menulis statemen itu. Itu tudingan yang naïf.
Tentu tudingan itu aneh. Sebab, budaya Sarawak (Malaysia) dan Kalbar (Indonesia) – contoh kasus, memiliki kesamaan. Mereka sama asal usulnya. Orang Iban di Sarawak –seperti yang diriwayatkan, beberapa ratus tahun lalu pindah dari wilayah hulu Sungai Kapuas. Mereka menetap di bagian lagi pulau ini, sebelum pulau ini ditadbir oleh dua Negara yang berbeda.
Sebagai orang Iban, wajar kalau mereka mewarisi sumpit, tattoo, topi daun, dll dan kemudian mewariskan budaya itu kepada generasi mereka di tempat baru itu. Amat wajar.
Jadi, di mana masalahnya?
Mungkin, masalahnya adalah mungkin kita lupa, sekat Negara Indonesia –Malaysia adalah sekat yang baru. Sekat yang diwariskan oleh penjajah dahulu pertengahan abad ke-19 yang membagi wilayah jajahan di pulau Borneo menjadi dua, bagian selatan dan bagian utara. Mereka membagi tanah, mereka membagi penduduk, mereka membagi budaya, bahasa, dll. Pembagian ini membuat kita seakan-akan ‘jauh’ dan ‘harus lain’.
Sesungguhnya, kenyataan ini samalah seperti sekat kabupaten yang kita mekarkan sekarang. Ada saudara kita yang menjadi penduduk Kabupaten Pontianak, ada yang menjadi penduduk Kabupaten Landak, dan kemudian ada yang menjadi penduduk Kubu Raya.
Tetapi, bedanya, dalam konteks kabupaten, kita menyadari bahwa ada masyarakat yang mewarisi budaya Kanayatn (Ahe) di tiga kabupaten itu. Kita juga menyadari ada masyarakat Melayu di sana. Karena itu jika kemudian ada atraksi budaya Kanayatn atau Melayu harus dipersembahkan, sebagai ‘wakil’ dari daerah kabupaten itu, kita dari masing-masing kabupaten tak perlulah ribut memprotes kabupaten lain, apalagi menudingnya ‘mencuri budaya’. Mengapa? Karena masih satu provinsi dengan mereka. Masih satu Negara. Masih boleh berkongsi.
Sedangkan dengan Negara lain, tidak, sekalipun, darah yang mengalir di tubuh mereka darah yang sama dengan darah yang mengalih di tubuh kita. Sekalipun nenek moyang sama.
Unik ya?!.



0 komentar: