Kamis, 24 September 2009

Nanggok Malam Lebaran di Pontianak

Oleh: Yusriadi

Nanggok bukan sekadar bagian dari pawai takbir untuk memeriahkan malam lebaran di tengah masyarakat kota Pontianak. Nanggok juga bukan sekadar melanjutkan tradisi yang sudah bernama dalam masyarakat sebelumnya. Nanggok sekarang, dilakukan orang untuk mendapatkan uang.







Sore itu, sore terakhir puasa, kami, adik beradik, berbuka di rumah Mas Yanto – Mbok Lena di sebuah komplek di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Nipah Kuning Pontianak. Mbok adalah kakak kami yang paling tua dari 5 saudara.
Kami berkumpul juga bersama bapak dan emak, serta ipar-biras, anak, cucu. Jumlah yang kumpul di rumah komplek ukuran 37 yang sudah dilebarkan, ada 22 orang.
Ramai sekali.
Setelah buka, salat Magrib, makan, kami duduk-duduk santai. Ada yang memilih duduk di ruang tamu, ada yang di ruang tengah, ada juga yang di dapur. Yang anak-anak, mereka lalu lalang: dapur, teras, jalan depan rumah – maklum pemukiman padat ini tidak ada halaman. Di jalan juga banyak anak tetangga sedang bermain.
Bunyi mercon yang dibakar anak tetangga, meledak sesekali. Agaknya juga ada kembang api dibakar.
Saya, bersama beberapa orang duduk di ruang tengah. Kami ngobrol tentang apa saja. Mulai tentang lebaran yang serentak, hingga tentang harga daging dan telur yang naik lebih dari Rp10 ribu per kilogram. Panjang ceritanya. Sampai kemudian, obrolan kami terpenggal oleh suara anak-anak takbir di luar.
“A-lah hu akbar. A-lah hu akbar. Walilah hil ham”.
Berulang dua kali saja.
Saya kira ini takbir yang unik. Beda dengan cara takbir orang pada umumnya. Cara mereka mengucapkan juga beda.
Takbir ini terputus. Anak yang takbir tadi, berjumlah tiga orang, seorang di antaranya membawa kotak, hanya berdiri di teras, di depan pintu. Mereka tidak masuk. Mereka juga tidak melanjutkan takbirnya.
Lalu, tiga orang anak Mbok Lena –seorang berumur sekitar 14 tahun, 9 tahun, seorang lagi berumur 4,5 tahun berlari ke belakang.
“Bu, ada budak takbir”.
“Bu, ada budak nanggok”.
Mereka melapor pada ibunya.
Mbok bergegas ke kamar. Dia mencari tempat menyimpan uang. Lalu, keluar lagi dari kamar, dan dia menghitung uang itu. Seribu, dua ribu.
“Ni”.
Dia mengangsur uang itu kepada anaknya yang berumur 14 tahun.
Anak-anak itu berlari ke depan menjumpai rombongan takbir.
Tak lama kemudian, suara takbir anak-anak itu terdengar di rumah tetangga sebelah.
“Jam segini sudah turun nanggok mereka”.
“Ya, begitu, terus sampai malam”.
“Tahun lalu saya hitung ada 12 rombongan nanggok”.
“Berapa dikasih yang datang itu?”
“Tergantung. Dua ribu, lima ribu”.
Kalau yang datang itu anak-anak kecil, paling banyak, mereka diberikan Rp2000. Kalau yang datang remaja masjid, mereka diberikan Rp5000.
Lalu bagaimana membedakan yang datang itu anak-anak biasa atau remaja masjid?
“Lihat tok-nya”.
Tok maksudnya kotak yang mereka bawa untuk mendapatkan sumbangan. Orang yang memberikan sumbangan memasukkan uang ke dalam kotak itu. Tidak langsung kepada orang per orang.
“Kalau resmi, tok itu ada tulisan nama Masjid atau Surau apa. Kalau tidak ada tulisan, berarti rombongan itu, pandai-pandai mereka”.
Rombongan pandai-pandai mereka maksudnya, rombongan yang dibentuk oleh kesepakatan dua tiga anak. Mereka bergerak sendiri. Uang yang diperoleh nanti pun untuk diri sendiri.
Tak lama kemudian, rombongan takbir kedua di malam takbir itu, juga datang. Anak-anak Mbok masuk kembali menjumpai ibu mereka. Mbok memberika mereka uang dan kemudian mereka memasukkan uang ke dalam tok yang dibawa oleh rombongan yang datang.
Saya tidak sempat melihat kedatangan rombongan takbir berikutnya. Keburu. Malam itu saya menyaksikan pelepasan rombongan takbiran keliling kota Pontianak di Pendopo Gubernur Kalbar, Jalan Ahmad Yani Pontianak.
Saya menghitung, jika jumlah rombongan takbir di komplek Mbok tahun ini sama dengan jumlah rombongan tahun lalu, berarti masih ada 10 rombongan lagi yang akan datang. Ada 10 kali lagi terdengar lafaz takbir yang unik. Setidaknya ada 10 kali lagi keluarga Mbok melihat orang-orang datang menanggok. Setidaknya ada 10 kali lagi keluarga Mbok mendermakan sebagian dari pendapatan mereka.
Sesuatu yang berbeda dibandingkan di rumah saya di Jalan Karet. Di rumah saya, tahun lalu, hanya ada 3 rombongan yang datang. Lebih sepi. Maklum, rumah dalam gang yang penduduknya dapat dihitung dengan telunjuk, di tengah sawah yang lebih banyak wilayah gelapnya dibandingkan terang berlampu.
Tetapi, malam itu, bukan cuma rombongan takbir yang nanggok di sebuah komplek di TPI yang saya lihat. Saya juga melihat beberapa remaja putri berdiri di pinggir jalan di Jalan H. Rais A Rahman, Sungai Jawi, di lampu merah Jalan Martadinata, yang menyodorkan kotak terbuka. Kotak itu – mungkin disebut tok juga?, dari kardus. Ada tulisan di kardus itu. Namun saya tidak dapat membacanya – karena jarak yang jauh dan malam yang tidak terlalu terang.
Pakaian mereka modis. Keren. Tetapi, mereka nampak malu-malu ketika menyodorkan kotak itu kepada orang yang tertahan di lampu merah.
Sementara itu, di belakang mereka, ada sejumlah remaja putra menabuhkan tahar seraya melaungkan takbir. Saya duga, mereka pasti remaja masjid Asy-Syakirin, yang sedang memungut sumbangan dari para pelintas. Sesuatu yang jarang saya lihat dilakukan remaja masjid lain. Mungkin remaja masjid ini tidak sempat takbir sambil nanggok dari rumah ke rumah.


***

Tradisi nanggok sudah dianggap budaya orang Melayu Pontianak pada saat lebaran. Tradisi ini ada sejak dahulu kala. Beberapa orang teman kelahiran Pontianak mengakui pernah melakukan itu di waktu mereka kecil.
Sekarang, setelah mereka menjadi orang tua, mereka tidak melakukan itu. Anak-anak merekalah yang melanjutkannya.
Namun, beberapa sumber menyebutkan tradisi sekarang berbeda dibandingkan tradisi 20 tahun yang lalu.
Dahulu tidak ada rombongan nanggok berjalan sendiri-sendiri. Kegiatan nanggok selalunya bermula dari masjid, setelah jamaah salat Isya berjamaah dan takbir bersama di masjid.
Rombongan berangkat dari masjid, dipisahkan dalam beberapa kelompok. Sehingga nantinya ada rombongan takbir yang mendatangi rumah-rumah warga di arah kanan masjid, ada yang mendatangi rumah di kiri masjid, dan seterusnya. Di dalam rombongan ini ada anak-anak, ada juga orang tua.
Kelompok orang cenderung dibagi berdasarkan asal jamaah. Misalnya orang yang berasal dari arah kanan masjid, cenderung masuk dalam kelompok yang bergerak ke arah kanan masjid, dan seterusnya. Pembagian begini dilakukan untuk memudahkan penyambutan rombongan nantinya. Biasanya, tuan rumah akan kembali ke rumahnya lebih dahulu –termasuk menyiapkan hidangan penyambutan, saat rombongan tiba di rumah kedua sebelum rumahnya.
Rombongan takbir mendatangi rumah penduduk dengan berjalan kaki. Sepanjang perjalanan mereka takbir. Pemimpin takbir ditunjuk secara bergantian beberapa orang yang tentu saja suaranya bagus. Yang lain, menjawab takbir itu dan menabuh gandang, kentongan dll. Takbir terus dilaungkan hingga sampai di depan pintu rumah penduduk yang terbuka. Pintu terbuka menandakan pemilik rumah siap menerima kedatangan rombongan.
Secara formal, tuan rumah menyilakan rombongan masuk. Setelah masuk, duduk, kembali takbir dilanjutkan, sambil menunggu hidangan disajikan tuan rumah. Jenis hidangan biasanya kue dan minuman. Sesekali ada makanan jenis lain. Semuanya tergantung kemampuan dan kerelaan hati tuan rumah.
Setelah selesai makan, rombongan berpamit. Kadang-kadang juga ditutup dengan doa selamat. Selesai, doa tuan rumah memasukkan sumbangan ke dalam tok. Dua puluh tahun lalu, sumbangan berkisar pada angka Rp5 ribu.
Begitulah seterusnya, sampai semua rumah didatangi rombongan takbir. Setelah selesai, rombongan kembali lagi ke masjid dan mengagih-agihkan hasil tanggukan. Kadang kala, hasilnya dibagikan orang-orang yang takbir, kadang kala juga uang takbir itu digunakan untuk kepentingan bersama – misalnya peningkatan pembangunan jalan, atau pembangunan fisik lain. Maklum waktu itu kemajuan pembangunan belum seperti sekarang ini. Pembangunan lebih banyak mengandalkan kemampuan swadaya penduduk. Sedangkan sekarang, penduduk dapat mengharapkan bantuan pemerintah untuk aneka pembangunan fisik di sebuah wilayah.

***

Perubahan budaya „nanggok“ sekarang mendatangkan keprihatinan pada teman saya.
“Nanggok sekarang seperti melegalisir budaya mengemis”.
„Seharusnya budaya ini tidak dikembangkan“.
Dia lantas mengutip nash yang menyebutkan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Nash ini maksudnya, memberi lebih baik daripada menerima.
Katanya, dari budaya ini terlihat anak-anak menjadi tidak malu membawa kotak sumbangan, padahal sumbangan dipungut untuk kepentingan dibagi-bagikan di antara mereka sendiri. Pribadi. Mana yang bernasib baik, mereka bisa mengumpulkan uang puluhan ribu rupiah. Jika satu komplek ada 100 rumah, dan setiap rumah menyumbangkan minimal Rp2000 maka satu tok bisa mengumpulkan uang Rp200 ribu.
Anak yang “pandai-pandai” pasti tidak akan melewatkan kesempatan ini. Mereka bisa mendapatkan uang dengan mudah, dengan bekal kotak tok dan melafazkan takbir sekali dua.
„Mungkin suatu saat akan ada orang yang mengorganisir kelompok ini untuk mendapatkan sumbangan yang lebih besar, untuk pribadinya“.
Protes teman ini mengingatkan saya pada kisah seorang anak tetangga yang berumur 4 tahun, beberapa tahun lalu. Waktu itu, pada malam lebaran, anak tersebut berkunjung ke rumah neneknya di sebuah gang di kawasan padat di Sungai Jawi, Pontianak.
Dia ikut rombongan anak-anak tanggung (remaja) nanggok dari satu rumah ke rumah lain di dalam gang itu. Dia ikut takbir – sekalipun mungkin dia tidak tahu lafaz sebenarnya dan maknya.
Dia menyaksikan orang yang menerima rombongan mereka, memasukkan uang ke dalam tok dari kaleng susu yang agak besar.
Setelah merasa cukup, rombongan ini membagikan uang hasil tanggukan. Malangnya, anak kecil itu tidak mendapat bagian dari hasil nanggok itu. Alasan remaja-remaja ini, anak tersebut masih kecil, tidak layak mendapat bagian. Anak kecil ini tidak ada peran dalam kelompok mereka.
Tentu saja anak kecil itu marah dan kesal. Tetapi dia tidak bisa apa-apa. Dia tak sanggup memaksa ‘abang-abangnya’ agar dapat bagian dari nanggok bersama itu.
Dia hanya bisa kembali ke rumah neneknya.
Hebatnya, anak itu bukannya menyerah. Dia lantas mencari kaleng susu di tempat pembuangan di samping rumah. Dapat.
Dengan kaleng kosong itu, lantas dia mendatangi rumah-rumah yang tadi didatangi rombongan. Dia dapat melafazkan takbir yang terpatah-patah.
Hasilnya lumayan. Dia mendapatkan sumbangan beberapa ribu rupiah dari rumah yang didatanginya. Total, anak itu mendapatkan hampir Rp20 ribu. Penghasilan yang besar untuk ukuran anak seusia 4 tahun.
Saya selalu ingat cerita ini karena ini kisah luar biasa. Seorang anak usia 4 tahun bisa melakukan takbir secara mandiri dan sudah dapat berpikir bagaimana mencari uang. Saya mengagumi anak itu karena dia memiliki keberanian yang jarang dimiliki anak seusianya.
Namun, di antara kekaguman itu, ada keprihatinan. Prihatin karena secara tidak langsung budaya ini mengajarkan anak tidak malu meminta sumbangan, sekalipun sumbangan untuk dirinya sendiri.
Apa bedanya dengan mengemis? Hal seperti inilah yang mendatangkan keprihatinan teman saya tadi.
Tetapi, mengapa keprihatinan ini belum menyeluruh? Maksudnya, mengapa orang-orang yang lain tidak melihat adanya dampak negative dari budaya nanggok mandiri sekarang ini – sehingga mereka tidak merasa perlu menghentikannya?
Bisakah dihentikan? Bisakah setiap orang tidak memberikan uang terhadap anak yang datang menanggok di malam lebaran? Bisa saja. Tapi, pasti tidak mudah. Seorang teman saya mengatakan:
“Mana enak kita ndak ngasih. Nanti dikira orang pelit”.
Bahkan sekarang, bukan saja di malam takbir, tradisi membagi amplop sudah membudaya dalam sebagian masyarakat muslim di Pontianak saat anak-anak datang berkelaran ke rumah mereka di hari pertama raya, ke dua, ke tiga, dan seterusnya. Sudah ada amplop khusus yang didesain untuk itu. Lebaran kali ini saya melihat kebanyakan amplopnya berwarna hijau dengan tulisan ala Islami sedikit.
Saya terpana. Padahal, beberapa tahun lalu, memberi uang saat lebaran – jika pun pakai amplop, amplopnya masih amplop merah, seperti ’angpao’ dalam masyarakat Tionghoa. Beberapa tahun lalu, orang memberi uang kepada anak-anak yang datang dengan cara langsung dikepilkan ke tangan saat anak datang atau pulang. Namanya pun waktu itu biasa disebut ’angpau’ juga.
Kesediaan memberi memang diajarkan dalam Islam. Inilah bagian dari kesediaan menginfaqkan sebagian dari harta yang dimiliki kepada orang lain. Inilah bagian dari hasrat orang yang tua menyenangkan hati ponakan dan anak-anak saudara mereka.
Saya kira, inilah yang kemudian membuat tradisi nanggok tumbuh dan berkembang, yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi seperti yang terlihat hari ini.
Bagaimana selanjutnya? Entahnya, perubahan pasti terjadi. Hanya soalnya, bagaimana bentuk perubahan itu, waktulah yang akan menentukan. Yang pasti, masyarakat selalu punya alasan baik untuk perubahan. Sebaliknya, masyarakat lain juga punya cara untuk menyikapi perubahan itu.


0 komentar: