Senin, 30 November 2009

Pohon Buah Sutarmidji

Oleh Yusriadi

Gagasan Walikota Pontianak agar warga kota melakukan penghijauan dengan menanam pohon buah-buahan merupakan gagasan sederhana, tetapi, besar.
Sederhana, karena penghijauan mudah diucapkan, mudah digagaskan dan mudah dilakukan. Lahan ada. Pohon tinggal tanam. Masyarakat sebenarnya, rajin-rajin. Biasa be orang menanam.




Gagasan itu juga besar, karena saya bisa membayangkan dampak positifnya. Hasilnya. Kota akan menjadi hijau. Jalan kota akan rimbun oleh pepohonan. Penduduk kota akan merasakan ademnya kota mereka. Penduduk akan sehat karena udaranya segar dan agak bersih. Sekaligus penduduk akan menikmati buah-buah dari pohon yang mereka tanam. Pendudukan akan menjadi ‘semakin’ rajin, karena ada pekerjaan tambahan: merawat pepohonan. Bak kata, gagasan ini seperti kata pepatah, “Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui”.
Saya menyampaikan apresiasi yang besar terhadap upaya ini.
Sudah lama saya memimpikan kota yang adem dengan penghijauan. Rasanya, Pontianak telah banyak kehilangan hutan kota menyusul pohon-pohon yang ditebang dan diganti dengan perumahan. Malangnya perumahan-perumahan dan bangunan baru tidak semuanya ada pohon penghijauan. Jadinya, sudut kota menjadi sangat gersang rasanya.
Saya selalu membandingkan ketika di tahun 1989 saat saya ke Pontianak, hingga beberapa tahun kemudian, saya masih sempat merasakan rerimbunan pohon di sepanjang Jalan Rais A Rahman, Jalan Kom Yos Sudarso, Jalan Penjara dan Jalan Merdeka.
Cukup banyak pohon besar di pinggir jalan.
Jika sudah lewat di jalan tersebut, adem banget rasanya. Sejuk dan nyaman.
Tetapi, kemudian satu persatu pohon tumbang. Ditebang. Saya tidak tahu apakah kebijakan penebangan pohon di pinggir jalan itu kebijakan pemerintah (dinas pertamanan) atau pandai-pandai warga.
Lalu, beberapa tahun lalu pemerintah melakukan penghijauan menyusul program penanaman sejuta pohon. Pohon yang ditanam, antara lain jenis sengon dan pohon hutan lainnya.
Saya sempat berdiskusi dengan salah satu calon wakil walikota dalam Pilwako lalu soal penghijauan kota. Dia lebih suka penghijauan dengan sengon, dan dia menyebutkan keuntungan tanaman sengon.
Saya tidak sependapat dengan beliau. Mungkin karena saya tidak mengerti sengon.
Menurut saya, penanaman pohon pinang untuk penghijauan kota lebih baik. Pohon pinang sangat familier di tengah masyarakat. Pohon ini juga sederhana. Sampah daunnya tidak terlalu banyak, dan buah pinang memiliki nilai ekonomi dan social. Batang pinang juga besar manfaatnya.
Saya membayangkan jika setiap gang ditanami pinang. Lingkungan akan rimbun. Lalu, jika pinang berbuah, RT di gang itulah yang boleh memungutnya dan menjualnya. Hasilnya, untuk kepentingan bersama. Orang perorang pasti tidak terlalu tertarik untuk mengambil buah pinang. Mana pinang bisa dimakan banyak-banyak? Jadi, konflik yang timbul karena buah pinang ini bisa agak minimun.
Pikiran saya muncul waktu itu, karena saya melihat di ruas jalan di kawasan Danau Sentarum, ditanami banyak pohon nangka. Pohon itu berbuah. Cukup lebat. Buahnya bisa digunakan untuk sayur-mayur masyarakat setempat. Kalau mau.
Saya teringat kebiasaan makan bersama di kampung. Andai saja orang kota mau makan bersama, tentu sayur nangka ini bisa dijadikan sayur pelengkap yang semua orang merasakannya. Kebersamaan yang indah.
Di jalan-jalan ke luar kota, misalnya jalan Sungai Rengas, saya juga melihat ada banyak penduduk yang menanam pisang di pinggir parit. Pisang ini rimbun dan subur. Buahnya besar. Pisang ini membuat lingkungan menjadi teduh.
Kini, Sutarmidji sudah melakukan sesuatu yang menurut saya luar biasa. Sesuatu yang besar. Karena itu, seharusnya kita memberikan apresiasi dan dukungan.




Baca Selengkapnya...

Memahami Orang Lain

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Saya melihat mata kambing itu. Rasanya, tatapan mata itu kosong. Mata itu mengundang iba.
Hati saya terenyuh. “Kasihan kau kambing”.
Kalau turutkan hati, saya ingin memberitahu kambing itu agar lari. Kalau turutkan hati, saya ingin melepaskan ikatan tali di leher kambing itu, agar kambing selamat dari eksekusi.
Saya tahu, hayat kambing itu menunggu waktu. Kehidupannya tinggal hitungan jam. Beberapa saat lagi, setelah salat iduladha, lehernya akan digerek oleh pisau tukang sembelih. Saat eksekusi itu, orang menonton proses sakratul maut, mungkin kebanyakan, tanpa sedikitpun rasa iba. Orang akan melihat detik-detik terakhir kehidupan kambing sebagai tontonan yang biasa.




Tetapi, tak mungkin saya bercakap dengan kambing. Kambing tidak akan mengerti apa yang saya sampaikan. Sebaliknya, saya juga tidak akan mengetahui apa yang kambing embekkan. Komunikasinya juga pasti tidak akan berjalan.
Tak mungkin pula saya melepaskan ikatan kambing dan mengusirnya. Justru mungkin saya yang akan dianggap sebagai orang aneh. Mungkin saya akan dipersalahkan. Akan ditegur. Sekalipun saya yakin saya melakukan hal yang benar. Saya melakukannya atas dasar rasa prihatin saya melihat kehidupan kambing diambil oleh manusia, atas nama kebaikan.
Saya ingat, dahulu saya pernah melepaskan ayam yang akan disembelih. Ayam itu kami tangkap dengan susah payah. Kami mengepungnya, kami mengejarnya. Ayam berusaha melarikan diri. Ayam juga berteriak. Entah apa arti teriakannya. Tiada seorang pun di antara kami yang tahu. Waktu menangkap, saya hanya tahu, ayam itu harus disembelih karena kami pengin menyediakan lauk yang istimewa untuk tamu yang akan datang. Apa daya ayam, setelah capek dia menghindari, tertangkap juga akhirnya.
Lalu ayam itu dimasukkan ke dalam sangkar darurat. Ayam dikurung di situ menunggu pisau bapak menggorok lehernya. Maklum, saya, walaupun sudah bujang babah – sebutan untuk anak yang mulai menjadi lelaki besar, tidak berani menyembelih ayam. Semula saya mengikuti perintah emak. Namun kemudian, saya jadi berpikir lain. Kasihan sungguh ayam itu. Saya membuka sangkar darurat itu. Ayam keluar. Dia menggerakkan badan dan kepalanya. Seperti atlit yang sedang melakukan pemanasan ringan. Saya melepaskan ayam itu dengan perasan bangga, bangga bisa menolong ayam itu terlepas dari ajalnya.
Ketika Emak melihat ayam itu tidak ada lagi di dalam kandang darurat, beliau bertanya. Saya katakan apa yang saya lakukan.
“Kasihan Mak, ayam itu”.
Emak tidak marah (justru kemudian saya tahu beliau bangga pada saya, karena itu). Beliau hanya nampak heran.
“Adat ayam begitulah. Memang untuk dimakan kita manusia”.
Kata Emak lagi, justru ayam yang kita sembelih itu akan masuk syurga. Kalau ayam mati sendiri, belum tentu ayam itu akan masuk syurga. Saya jadi terbayang, ayam-ayam kami yang sering ditangkap elang, ular sawa, musang. Ayam-ayam juga sering mati sendiri karena penyakit sampar.
Ohh. Saya baru tahu itu. Penjelasan Emak, cukup membuat saya mengerti. Saya mempercayai Emak.
Apa yang terjadi pada cerita penyembelihan kurban juga begitu. Saya kira, kisah Ibrahim juga yang membuat orang tidak merasa perih melihat binatang kurban merenggang nyawa. Seperti yang sering kita dengar, Ibrahim melakukan penyembelihan anaknya, merupakan bentuk ketaatan, kepatuhan kepada Tuhan. Ibrahim melakukan penyembelihan terhadap Ismail adalah bentuk kebaikan sebagai seorang yang taat. Karena itu Ibrahim melupakan soal tega tidak teganya. Orang Islam menganggap justru Ibrahim merupakan sosok yang luar biasa karena rela mengorbankan anaknya demi tuhannya.
Sementara, orang lain menganggap apa yang dilakukan Ibrahim adalah kegilaan. Kegilaan seorang tua yang tega menyembelihkan anaknya. Orang semakin yakin Ibrahim gila ketika dia bertakbar dan bertahmid usai prosesi penyembelihan itu. Istrinya, juga sempat mengira begitu, hingga kemudian melihat Ibrahim pulang bersama Ismail.
Ya, begitulah, banyak hal dalam kehidupan manusiawi yang berjalan seperti itu. Pandangan kita berbeda dibandingkan pandangan orang lain, karena kita dan orang lain melihatnya dari sudut yang berbeda. Apa yang kita lakukan sering dikritik dan dianggap salah oleh orang lain, karena orang lain melihatnya dari sisi yang lain, sebelum dia mencoba memahami cara kita berpikir.
Mungkin kita juga sering begitu. Kita buru-buru mengeritik dan bahkan membenci orang lain sebelum tahu mengapa orang lain melakukan ini dan itu.


Baca Selengkapnya...

Sabtu, 07 November 2009

Pertanyaan untuk Dosen

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Seorang teman, dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Pontianak, menceritakan, beberapa waktu lalu dia bertemu dengan seorang ilmuan di sebuah perguruan tinggi di tanah Jawa. Pertemuan tidak sengaja. Mereka bertemu dalam seminar. Ilmuan itu menjadi pembicara, sedangkan teman dosen itu sebagai pendengar.
Usai sesi seminar itu, teman dosen menghampiri sang ilmuan. Niatnya ingin bertanya sedikit. Maklum, waktu seminar tadi dia tidak kebagian waktu untuk bicara.
Ilmuan menyambut perkenalan dari teman dosen dengan ramah. Ilmuan itu lantas bertanya asal dia dan apa kegiatan.
“Saya bilang, saya dari Pontianak. Saya juga bilang saya mengajar di sebuah perguruan tinggi”.
“Mendengar itu, dia bertanya, berapa buku yang sudah ditulis?”



Kata teman tadi, dia sempat agak terkejut dengan pertanyaan itu. Maklum, selama ini kalau berkenalan dengan orang, setelah dia menyebutkan pekerjaannya sebagai dosen, biasanya orang bicara tema yang terkait. Maksudnya tidak terlalu peduli dengan status itu. Mungkin, orang pun sudah tahu, dosen itu adalah orang yang mengajar di perguruan tinggi, dll. Kalau pun orang ingin berbasa-basa soal status dosen, biasanya orang akan bertanya tentang matakuliah yang diampu, berapa lama mengajar, dan lain-lain berkaitan dengan kegiatan mengajar.
Pertanyaan ilmuan ini, menurut teman saya, menampilkan kesan yang lain dari yang biasa.
“Untung saja, saya selama ini sudah ada buku. Kalau tidak, wah… gimana menjawabnya”.
Saya yang mendengar cerita teman tersenyum lebar. Saya senyum karena bisa membayangkan situasinya. Pasti seru bertemu dengan orang seperti ilmuan itu. Saya jadi penasaran.
Saya tahu, tentu teman dosen itu bisa sedikit menegakkan kepalanya karena memang selama ini dia sudah menerbitkan beberapa buku. Memang tidak banyak. Tetapi, setahu saya selama lebih 10 tahun dia sebagai dosen, dia sudah punya 4 buku. Dua buku karangan sendiri, satu buku bahan ajar dan satu lagi terjemahan. Jadi kira-kira saja, dosen ini memerlukan waktu hampir 3 tahun untuk satu buku.
Walaupun jumlah itu sangat tidak ideal – karena menurut saya seharusnya, dalam satu tahun, seorang dosen punya satu buku, apapun bentuk dan kualitasnya, tetapi, teman dosen ini masih bisa menyampaikan pesan kepada ilmuan: sebagai dosen, dia memiliki kapasitas. Sebagai dosen, secara akademik, dia cukup berwibawa.

***

Saya sependapat dengan orang yang mengatakan, kewibawaan seorang ilmuan (dosen adalah ilmuan) antara lain dinilai dari karya akademiknya. Baik mutu maupun jumlahnya. Semakin banyak dan bermutu, semakin berwibawa dia. Sebaliknya, seorang dosen yang tidak punya buku, akan kurang wibawanya sebagai ilmuan. Bahkan, ada seorang ilmuan yang pernah mengatakan pada saya, seorang dosen yang tidak punya buku dan artikel jurnal, sama dengan guru biasa. Seorang yang hanya bisa mengajar.
Oleh sebab itu, seorang dosen yang ingin berwibawa dalam dunia akademik, seharusnya memacu diri untuk berkarya sebanyak mungkin dan sebaik mungkin. Baik dengan menulis buku sendiri, maupun menulis bersama-sama koleganya. Beruntunglah seorang dosen yang bisa mencapai taraf itu.
Saya bisa membayangkan betapa beruntungnya teman saya itu bisa berkenalan dengan ilmuan yang demikian. Sebab tidak semua ilmuan berpikir begitu. Kadang kala ada orang yang berpikir, seseorang dosen hanyalah orang yang mengajar di perguruan tinggi. Cukup sebatas itu. Seorang dosen adalah pengajar di depan mahasiswa. Mengajar saja. Tidak perlu meneliti. Tidak perlu menulis.
Biasanya, banyak orang baru sadar bahwa seorang dosen perlu meneliti dan menulis artikel serta buku, ketika membicarakan Tri Dharma perguruan tinggi. Lebih khususnya lagi, ketiga orang membicarakan kenaikan jabatan fungsional seorang dosen. Orang baru sibuk membicarakan (dan mengumpulkan) tulisan ketika kenaikan pangkat membutuhkan kredit point dari aspek penelitian dan publikasi.
Tidak heran ketika kemudian orang menemukan makalah-makalah yang dilampirkan seorang dosen bukan karya orisinilnya. Tidak heran ketika seseorang melampirkan karya akademik yang sebenarnya seakan-akan miliknya sendiri. Tidak heran jika sesekali kita mendengar orang menyebutkan plagiatisasi yang terjadi di dunia akademik.
Saya sering menemukan dosen yang tidak memiliki karya akademik dalam waktu berbulan-bulan. Saya sering menemukan seorang dosen yang beku dalam rutinitas dan aktivitas, sehingga lupa meneliti dan menulis.
Bahkan, saya pernah bertemu dengan seorang dosen yang mengatakan: kalau urusan dengan tulis menulis, itu urusan dosen tertentu. Sedangkan kalau dia, mengurus soal ceramah dan sejenisnya. Akhirnya, karena pandangan ini, dia hamper tidak pernah menulis. Kalaupun diundang ceramah, berbicara di depan orang, dia menyampaikannya secara lisan. Dia tidak membuat makalah untuk forum-forum begitu, sekalipun sesetengah forum agak ilmiah sifatnya. Paling-paling yang dapat dilakukannya hanyalah membuat slide untuk presentasi.
Alasannya, “Tidak sempat buat makalah”.

***

Teman dosen itu beruntung bisa bertemu dengan ilmuan yang bisa mengingatkan dia soal paradigma berpikir orang tentang dosen. Saya katakan beruntung karena ilmuan merupakan orang langka, yang ingat tentang kapasistas seorang dosen.
Ya, kapasitas seorang dosen mestilah seorang yang memiliki kemampuan dan karya dalam konteks tri dharma perguruan tinggi.
Pertama: Pengajaran. Dosen mesti mengajar mahasiswa. Dosen mestilah orang yang dapat mentransformasikan ilmunya kepada mahasiswa di ruang kuliah.
Tetapi, agar mahasiswa tidak ketinggalan informasi, ilmu yang ditransformasikan mestilah ilmu yang actual. Ilmu yang berkembang. Ilmu yang berkembang karena data-data dan informasi yang terkait, terus bertambah.
Tidak pada tempatnya jika seorang dosen hanya mengajar berdasarkan buku panduan yang dipakaikan sejak mula mengajar, hingga mengajar 10 tahun kemudian. Tidak pada tempatnya seorang dosen memberikan informasi kepada siswa tentang kejadian lama tanpa membandingkan dengan kejadian baru.
Kedua: Penelitian. Dosen adalah seorang peneliti. Seorang yang gemar menggali pengetahuan, gemar mencari-cari hal baru. Gemar bertanya dan mencarikan jawaban atas setiap phenomena yang berlegar di sekitar kehidupan. Penelitian, bukan sekadar menggali informasi di lapangan dengan modal proyek dari lembaga. Tetapi penelitian dalam pengertian luas. Pada akhirnya setiap dosen memiliki temuan-temuan khas, temuan yang harusnya diberitahu kepada mahasiswa, agar mahasiswa juga tidak tertinggal informasi.
Temuan itu seharusnya diinformasikan kepada koleganya sesama ahli akademik dan ditransformasikan kepada public. Medianya: buku, artikel di jurnal dan surat kabar. Dalam konteks itulah ilmuan tadi bertanya pada teman saya.
Ketiga: Pengabdian kepada Masyarakat. Seorang dosen, sebagai ilmuan, seharusnya menempatkan diri pada posisi yang berguna untuk masyarakat. Memang kadang ada kesan (di kampus kami), dosen yang mengabdi kepada masyarakat adalah dosen yang diminta masyarakat membaca khutbah dan berceramah. Jadi, kalau tidak berkhutbah dan berceramah, dianggap kurang mengabdi.
Tetapi pandangan ini agak sempit. Sebab ada pandangan umum yang mengatakan seorang dosen dianggap mengabdi kepada masyarakat, ketika dosen yang bersangkutan menunjukkan bahwa dia membantu masyarakat dan berguna untuk masyarakat, baik sesuai dengan bidang ilmunya maupun dalam bidang yang lain.
Oleh sebab itulah, saya kira, seorang dosen mencapai puncak aplikasi tra dharma perguruan tinggi, apabila buku, artikelnya, tulisannya, berguna dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Inilah mungkin yang menyebabkan, mengapa ilmuan itu bertanya pada teman saya dengan pertanyaan yang mendasar itu. Rasanya, saya pun ingin bertanya begitu pada dosen yang akan saya temui di hari-hari mendatang.



Baca Selengkapnya...

Lubang di Kota Pontianak

Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Rabu (4/11) sekitar pukul sebelas siang. Saya melewati Jalan Kom Yos Sudarso Pontianak. Lewat sedikit dari Gang Lamtoro, saya melihat sebuah pick up warna putih terperosok di bekas lubang galian kabel fiber optic. Sebelah bannya terbenam. Tidak bisa keluar. Bodi kendaraan jadi ada miring. Untung muatannya – karung-karung dan kardus, tidak tumpah ke jalan.



Kejadian ini memang tidak menarik perhatian orang. Tidak ada orang yang mengerumuni mobil yang lagi apes itu. Orang tidak tertarik untuk melihat kejadian itu, seperti orang tertarik kalau melihat ada kejadian tabrakan, perkelahian, dll.
Orang tidak tertarik karena mungkin pick up yang terperosok itu tidak mengganggu lalu lintas. Maklum, kejadiannya di pinggir jalan.
Lagi, mungkin juga karena kendaraannya agak kecil sehingga tidak nampak-nampak amat.
Saya tertarik dengan kejadian ini. Sesaat saya berhenti. Melihat-lihat dari atas motor.
Saya prihatin pada nasib sopir (mungkin ada keneknya juga). Kesihan sungguh.
Jika saya bawa mobil dan mobil terperosok di lubang itu, mungkin saya akan marah. Kesal. Mungkin saya akan pikir-pikir untuk meminta pertanggungjawaban dari kontraktor yang menangani proyek ini.
Menurut saya, jelas, bahwa kejadian ini, karena lubang yang digali pekerja yang memasang kabel optic itu. Pekerja, dan kontraktorlah yang menggali lubang yang membuat ban mobil pick up itu terperangkap. Mereka telah memasukkan kabel dan kemudian menimbun bekas galian itu. Timbunan ini nampak rata dengan tanah di sekitarnya. Dan, rupanya tanah itu belum padat sehingga ban mobil jadi amblas.
Dalam peristiwa kemarin, mungkin orang berpikir, sopir yang salah, tidak hati-hati sehingga kenadaraannya masuk lobang.
Tetapi menurut saya, justru kontraktorlah yang harus bertanggung jawab karena bekas galian itu tidak dikembalikan seperti sedia kala. Harusnya, mereka memadatkan kembali bekas galian. Jika tidak, mereka harus memberikan tanda bekas galian, sehingga orang lebih hati-hati.
Saya lantas teringat kebiasaan-kebiasaan selama ini. Orang proyek memang seakan-akan bebas melakukan sesuatu. Semau mereka. Mereka boleh membongkar-bongkar jalan yang sudah bagus. Mereka bebas melakukan pekerjaan dan ‘mengganggu’ kenyamanan pelintas.
Jarang saya lihat ada plang proyek: “Maaf Kenyamanan Anda Terganggu. Ada pekerjaan proyek”. Yang biasa kita lihat: “Hati-hati Ada Kegiatan Proyek”. Tanpa ada kata maafnya.
Malahan, setelah proyek selesai, bekas-bekas pekerjaan kadang kala ditinggalkan begitu saja. Apakah kemudian pelintas tidak nyaman melalui bekas proyek itu, nampaknya tidak dipikirkan. Apakah kemudian ada orang yang celaka karena bekas proyek itu, sepertinya juga tidak dipikirkan.
Ini hampir sama dengan orang yang menumpukkan pasir di pinggir jalan. Tumpukan pasir yang “merata-rata” mengganggu pelintas. Ban motor jadi slip. Saya kenal beberapa orang yang jatuh ketika melewati tumpukan pasir yang luber ke jalan. Mereka celaka. Mereka dirawat di rumah sakit. Malah ada yang mati!
Mereka tanggung sendiri musibah itu. Orang yang punya pasir, orang yang menumpukkan pasir di jalan, tidak diminta pertanggungjawaban. Justru sering orang bilang: “Salah sendiri, bawa motor ndak liat-liat”. Padahal jelas, mereka menumpukkan pasir di jalan umum, jalan yang dilewati orang. Jalan yang seharusnya tak terhalang.
Tapi, mau apalagi. Kasihan sungguh. Itulah logika sebagian masyarakat kita. Logika yang menurut saya mencerminkan kelemahan perintah melindungi warganya. Inilah cerminan bahwa hukum kita lemah dan seakan-akan tidak ada. Sering kali orang boleh bebas melakukan apa saja.



Baca Selengkapnya...

Senin, 02 November 2009

Menulis dan Hidup di Zaman Pra-Sejarah

Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Kamis (29/10) kemarin, saat saya bertemu dengan 6 mahasiswa Progam Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) yang berada di bawah bimbingan saya – sebagai dosen penasehat akademik -- di ruang kerja saya, iseng-iseng saya bertanya pada mereka tentang kepenulisan.
Saya ingin menjajaki siapa di antara mereka yang suka menulis dan siapa yang tidak suka. Siapa yang suka baca dan siapa yang kurang suka baca.
Ternyata, tidak semua suka menulis. Tidak semua senang membaca.





Bah! Saya agak tersentak. Bagaimana mereka bisa memilih masuk Program KPI kalau mereka tidak suka menulis.
Masalahnya, program KPI diselenggarakan untuk membentuk orang agar dapat menulis. Mata kuliah atau kurikulum program mengacu pada tujuan itu. Banyak sekali mata kuliah yang diprogramkan khusus untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa menulis. Sebut misalnya Bahasa Indonesia, Karya Ilmiah, Penulisan Artikel Opini, Jurnalistik, Berita, Feature. Bahkan salah satu kompetensi yang dituju oleh penyelenggara prodi adalah: “Lulusan mampu berdakwah melalui media sebagai penulis”.
Pasti, jika ada yang masuk KPI tidak mencintai dunia kepenulisan, dia akan menghadapi masa yang sangat berat.
Karena itu, saya maklum mereka harus coba diingatkan. Mereka harus diberikan motivasi. Saya mulai mengingatkan mereka soal ini, tiba-tiba saya teringat pada pelajaran sejarah, dahulu sewaktu sekolah di Jongkong, Kapuas Hulu. Pak Basrun Syafie yang mengajarkan itu.
“Masih ingat perbedaan zaman sejarah dan zaman pra-sejarah?”
Mahasiswa terdiam. Mencoba mengingat pelajaran lama.
“Zaman sejarah apa? Zaman pra-sejarah apa?”
Meluncurlah jawaban dari mereka. Mereka menyebutkan tahap-tahan zaman pra-sejarah, misalnya zaman paleolitikum, mezolitikum, neolitikum.
“Zaman itu, orang menyebutnya sebagai zaman manusia purba”.
Saya melanjutkan.
“Apa tanda zaman sejarah?”
“Orang mengenal tulisan”.
“Ya, tulisan. Tulisan menentukan sejarah”.
Saya mencoba mengingatkan masalah sebagian dari mereka. “Jika orang tidak menulis, hakikatnya dia hidup di zaman prasejarah. Manusia pra-sejarah. Hanya orang yang suka menulislah yang boleh mengklaim diri hidup di peradaban sejarah”.
Mereka mengangguk. Ada yang tersenyum kecut. Saya yakin mereka mengerti apa yang saya maksudkan. “Anda, kita semua, boleh pilih sendiri, mau tergolong manusia sejarah atau manusia pra-sejarah”.
Mereka masih terdiam. Saya membiarkannya. Biarlah mereka merenung, meresapi dan menghayati hujah saya.
Saya meninggalkan tema itu. Namun saya tidak menyia-nyiakan kesempatan mengingatkan mereka soal pentingnya menulis. Ini tugas pokok saya sekarang. Setelah saya yakin mereka tersentuh hatinya, saya mencoba mengajak mereka untuk percaya bahwa menulis itu mudah.
Lantas saya ambil buku dari rak di belakang meja kerja saya. Ada 14 buku. Buku yang saya tulis sendiri dan buku yang saya tulis bersama dengan teman-teman.
Saya memang sering ‘ngegap’ orang dengan cara ini. Menunjukkan buku. Sedikit narsis. “Di antara penulis buku ini, mereka adalah mahasiswa”.
Saya mengambil buku “Menunggu di Tanah Harapan”, terbitan STAIN Pontianak Press tahun 2009. Buku ini saya tulis bersama banyak teman, dan saya edit sendiri.
Saya membaca nama penulis buku. Saya tahu, beberapa di antara penulis itu dikenal oleh mahasiswa di depan saya. “Fifin Fenti Farida, waktu menulis ini, baru semester 1. Marisa dan Erika Sulistia, mahasiswa semester 3. Ambaryani dan Isminarti, semester 5. Rizki Muhardini, Tino Amindani, semester 7”.
Saya mengambil lagi buku “Menapak Jalan Dakwah” juga terbitan STAIN Press tahun 2009. 10 penulis buku itu, semuanya mahasiswa. Mereka rombongan kelas Feature. “Kalau mereka bisa, saya yakin Anda juga pasti bisa. Asal mau”.
Banyak lagi yang saya sampaikan kepada mereka. Saya memang selalu bersemangat dalam soal begini. Saya ingin budaya menulis tumbuh di kalangan mahasiswa, khususnya di kalangan mahasiswa yang berada di sekitar saya. Saya mengajuk mereka: “Marilah hidup bersama manusia yang membangun sejarah”.

Baca Selengkapnya...

Mempersoalkan Peneliti Asing di Kalbar

Oleh Yusriadi

Beberapa hari lalu di Pontianak Post, seorang akademisi sekaligus pejabat di sebuah Fakultas di Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak mengeluarkan penyataan agar peneliti asing yang berada di daerah ini diawasi.
Pernyataan itu disampaikannya –saya kira, berkaitan dengan masalah yang dihadapi oleh Menteri Kesehatan RI Endang Sedianingsih. Ini juga berkaitan dengan persoalan yang timbul karena Naval Medical Research Unit/NAMRU, melakukan riset tentang virus di Indonesia.




Komentar itu memang tidak mendapat sambutan, atau paling tidak tidak mengundang komentar banyak pihak. Wartawan juga agaknya tidak tertarik mengembangkan berita itu. Beritanya, terhenti pada komentar akademisi itu. Mungkin sebagian orang beranggapan komentar itu sebagai komentar biasa, komentar dari seorang analis ketika diminta mengulas sesuatu.
Tetapi, komentar itu menjadi penting disimak ketika di bagian akhir berita itu dia mengaitkan dengan aktivitas peneliti asing yang di beberapa taman lindung di daerah ini. Yang disebutkan di situ penelitian di Taman Nasional di Kapuas Hulu.
Rasanya, secara tersirat ada kesan khusus di balik berita dan komentar ini. Sepertinya aktivitas akademik peneliti luar menimbulkan masalah kepada mereka. Entahlah, masalah apa yang timbul.

***

Bahwa pemerintah harus mengawasi kegiatan peneliti asing, itu tentu. Bahkan bukan saja kepada peneliti, pemerintah harus mengawasi semua orang asing yang masuk ke daerah ini. Orang asing harus dipantau kegiatannya. Undang-undang Keimigrasian juga sudah mengamanatkan hal itu.
Tetapi tentu pernyataan ini menjadi lain jika dikaitkan dengan kesan bahwa peneliti luar yang melakukan penelitian di sini, telah merugikan daerah.
Saya teringat pada masalah serupa di awal tahun 2000 dahulu, saat orang ribut karena ada kegiatan penelitian di Gunung Palung Ketapang. Waktu itu salah satu dua peneliti yang disoroti kalangan tertentu.
Mereka mengungkapkan kekhawatiran bahwa peneliti luar melakukan pencurian (dan entah apa lagi). Mereka menyebutkan bahwa peneliti luar itu membawa plasma nutfah dari Gunung Palung ke daerah asal mereka, di Eropa sana.
Seorang wartawan di Equator waktu itu sempat bergairah menulis hal tersebut. Saya, waktu sebagai salah satu redaktur (kemudian saya dipecat), mendengar wartawan itu memberitahukan redaktur soal perkembangan pemberitaan. Dia benar-benar bersemangat. Dia mengutip beberapa pengamat dan lembaga swadaya– kononnya begitu.
Saya yang mendengar percakapan mereka ikut nimbrung. Saya mengajak mereka berdiskusi temanya: kerugian apa sebenarnya yang akan timbul dari kegiatan ini? Keuntungan apa yang membuat kita harus mendesak pemerintah agar mengambil tindakan terhadap peneliti asing di hutan nun jauh di Ketapang sana.
Saya mengajukan pendapat: katakan orang asing itu membawa tengkorak orang hutan dari Gunung Palung ke negera asal mereka di Eropa, untuk dijadikan koleksi, untuk dijadikan pajangan, atau untuk dijadikan sebagai sample penelitian, lalu apa ruginya daerah? Apa pemali yang akan tinggal pada masyarakat sekitar Gunung Palung?
Saya yakin, daerah tidak rugi. Saya juga yakin tidak ada pemali yang tinggal dan menimpa masyarakat setempat.
“Orang Barat itu mengambil tengkorak dari atas tanah. Tengkorak yang tinggal setelah induk orang utan dibunuh oleh pemburu. Jika tengkorak orang utan itu tidak dibawa orang asing, mungkin tengkorak itu akan terbiar begitu saja, lapuk oleh zaman dan kemudian mengapur, membaur bersama tanah di mana tengkorak itu teronggok”.
Malah sebaliknya, daerah akan mendapat promosi jika tengkorak itu dipajang. Dengan asumsi bahwa pada pajangan itu ada informasi: tengkorak orang utan dari Gunung Palung Kalimantan Barat.
Orang yang melihat keterangan tentang tengkorak itu tentu akan terbaca dengan nama Gunung Palung dan Kalimantan Barat.
Begitu juga, andai kemudian orang asing itu membuat artikel tentang orang utan Gunung Palung sebagai bentuk laporan penelitiannya. Habitat orang utan akan diceritakannya. Gambaran wilayah juga tentu akan dikemukakan. Artikel itu akan dibaca orang. Orang akan mengenal nama Gunung Palung dan mendapat gambaran sedikit banyak tentang daerah ini. Mungkin dari sekian banyak pembaca, ada mereka yang tertarik untuk suatu saat menjejak kakinya ke Gunung Palung. Bukankah kalau itu terjadi, sesuai pula dengan harapan kita selama ini selama ini agar orang asing datang ke daerah ini?
Kalaupun mereka tidak tertarik untuk datang, artikel tentang orang utan di Gunung Palung pasti akan memberikan bayangan kepada pembaca di negeri lain tentang daerah ini. Ini adalah bentuk promosi. Jika ini yang terjadi, apakah itu tidak menguntungkan?
Waktu itu, wartawan itu memahami cara pikir ini. Dia, tidak melanjutkan lagi memburu berita seputar peneliti asing di Gunung Palung.
Kita orang di Kalbar tahu bahwa biasanya orang yang datang cenderung membawa berkah. Lihatlah sesetengah masyarakat kita memasukkan dalam kepercayaan pantang larang menutup pintu rumah. Menurut budaya sebagian masyarakat menutup pintu sama saja dengan menolak rizki. Sebaliknya, membuka pintu sama dengan mempersilakan rizki masuk.
Ketika saya mengikuti kelas Leksikografi – berkaitan dengan ilmu membuat kamus, saya mendengar professor saya mengatakan: “Kita tidak mendapatkan banyak maklumat tentang bahasa di Indonesia karena beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan memperketat izin penelitian. Ini berbeda dengan data bahasa yang dapat kita peroleh tentang bahasa di Pasifik”.
Lantas beliau menyebutkan pengamalan salah satu linguis (ahli bahasa) yang popular Prof. James Fox. Fox adalah linguis besar asal Australia. Fox pernah diusir dari Indonesia pada tahun 1980-an ketika akan melakukan penelitian.
“Andai pemerintah Indonesia tidak menolak Fox, tentu data bahasa Austronesia dari Indonesia tidak akan sukar kita dapatkan”.
Saya kira, waktu mengusir Fox, pejabat Indonesia pasti tidak merasa rugi. Bahkan mereka mungkin bangga karena berhasil menggagalkan kedatangan orang asing ke Indonesia. Mungkin pejabat yang mengambil keputusan ketika itu langsung mendapatkan penghargaan dari atasannya.
Tetapi, nyatanya, orang yang berkecimpung di dunia akademik merasa rugi. Rugi karena konstruksi ilmu pengetahuan tidak bisa dilakukan dengan baik karena kekurangan data. Akhirnya ilmu yang dibangun pun menjadi tidak meyakinkan – sebab orang tahu ada data yang kurang. Orang tahu, banyak bahasa daerah dalam rumpun Austronesia di Indonesia Timur, tetapi, orang tidak punya data tentang itu. Orang asing yang memiliki kepakaran tidak bisa masuk, sedangkan orang local sendiri tidak mengerti tentang itu.
Kembali pada apa yang terjadi di Gunung Palung dahulu, saya yakin bahwa orang kita di Kalbar belum mampu melakukan penelitian seperti yang orang asing lakukan. Kita tidak ada kepakaran tentang itu. Malah mungkin, sama sekali awam. Paling banter, orang local biasanya baru sampai pada tahap membantu peneliti asing mengumpulkan bahan. Mungkin, juga membantu sebagai pendamping menunjukkan jalan.
Entahlah ilmuan dari kampus di Pontianak – mungkin mereka dapat melakukan penelitian tentang plasma nutfah, tentang keanekaragaman hayati, kemampuan yang setaraf dengan peneliti asing itu.
Tetapi saya ragu, mungkin mereka tidak sanggup melakukan penelitian itu saat ini. Maklum, penelitian memerlukan perhatian, waktu, dan biaya.
Lalu, kalau begitu, mengapa harus ributkan pasal itu?




Baca Selengkapnya...