Senin, 30 November 2009

Memahami Orang Lain

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Saya melihat mata kambing itu. Rasanya, tatapan mata itu kosong. Mata itu mengundang iba.
Hati saya terenyuh. “Kasihan kau kambing”.
Kalau turutkan hati, saya ingin memberitahu kambing itu agar lari. Kalau turutkan hati, saya ingin melepaskan ikatan tali di leher kambing itu, agar kambing selamat dari eksekusi.
Saya tahu, hayat kambing itu menunggu waktu. Kehidupannya tinggal hitungan jam. Beberapa saat lagi, setelah salat iduladha, lehernya akan digerek oleh pisau tukang sembelih. Saat eksekusi itu, orang menonton proses sakratul maut, mungkin kebanyakan, tanpa sedikitpun rasa iba. Orang akan melihat detik-detik terakhir kehidupan kambing sebagai tontonan yang biasa.




Tetapi, tak mungkin saya bercakap dengan kambing. Kambing tidak akan mengerti apa yang saya sampaikan. Sebaliknya, saya juga tidak akan mengetahui apa yang kambing embekkan. Komunikasinya juga pasti tidak akan berjalan.
Tak mungkin pula saya melepaskan ikatan kambing dan mengusirnya. Justru mungkin saya yang akan dianggap sebagai orang aneh. Mungkin saya akan dipersalahkan. Akan ditegur. Sekalipun saya yakin saya melakukan hal yang benar. Saya melakukannya atas dasar rasa prihatin saya melihat kehidupan kambing diambil oleh manusia, atas nama kebaikan.
Saya ingat, dahulu saya pernah melepaskan ayam yang akan disembelih. Ayam itu kami tangkap dengan susah payah. Kami mengepungnya, kami mengejarnya. Ayam berusaha melarikan diri. Ayam juga berteriak. Entah apa arti teriakannya. Tiada seorang pun di antara kami yang tahu. Waktu menangkap, saya hanya tahu, ayam itu harus disembelih karena kami pengin menyediakan lauk yang istimewa untuk tamu yang akan datang. Apa daya ayam, setelah capek dia menghindari, tertangkap juga akhirnya.
Lalu ayam itu dimasukkan ke dalam sangkar darurat. Ayam dikurung di situ menunggu pisau bapak menggorok lehernya. Maklum, saya, walaupun sudah bujang babah – sebutan untuk anak yang mulai menjadi lelaki besar, tidak berani menyembelih ayam. Semula saya mengikuti perintah emak. Namun kemudian, saya jadi berpikir lain. Kasihan sungguh ayam itu. Saya membuka sangkar darurat itu. Ayam keluar. Dia menggerakkan badan dan kepalanya. Seperti atlit yang sedang melakukan pemanasan ringan. Saya melepaskan ayam itu dengan perasan bangga, bangga bisa menolong ayam itu terlepas dari ajalnya.
Ketika Emak melihat ayam itu tidak ada lagi di dalam kandang darurat, beliau bertanya. Saya katakan apa yang saya lakukan.
“Kasihan Mak, ayam itu”.
Emak tidak marah (justru kemudian saya tahu beliau bangga pada saya, karena itu). Beliau hanya nampak heran.
“Adat ayam begitulah. Memang untuk dimakan kita manusia”.
Kata Emak lagi, justru ayam yang kita sembelih itu akan masuk syurga. Kalau ayam mati sendiri, belum tentu ayam itu akan masuk syurga. Saya jadi terbayang, ayam-ayam kami yang sering ditangkap elang, ular sawa, musang. Ayam-ayam juga sering mati sendiri karena penyakit sampar.
Ohh. Saya baru tahu itu. Penjelasan Emak, cukup membuat saya mengerti. Saya mempercayai Emak.
Apa yang terjadi pada cerita penyembelihan kurban juga begitu. Saya kira, kisah Ibrahim juga yang membuat orang tidak merasa perih melihat binatang kurban merenggang nyawa. Seperti yang sering kita dengar, Ibrahim melakukan penyembelihan anaknya, merupakan bentuk ketaatan, kepatuhan kepada Tuhan. Ibrahim melakukan penyembelihan terhadap Ismail adalah bentuk kebaikan sebagai seorang yang taat. Karena itu Ibrahim melupakan soal tega tidak teganya. Orang Islam menganggap justru Ibrahim merupakan sosok yang luar biasa karena rela mengorbankan anaknya demi tuhannya.
Sementara, orang lain menganggap apa yang dilakukan Ibrahim adalah kegilaan. Kegilaan seorang tua yang tega menyembelihkan anaknya. Orang semakin yakin Ibrahim gila ketika dia bertakbar dan bertahmid usai prosesi penyembelihan itu. Istrinya, juga sempat mengira begitu, hingga kemudian melihat Ibrahim pulang bersama Ismail.
Ya, begitulah, banyak hal dalam kehidupan manusiawi yang berjalan seperti itu. Pandangan kita berbeda dibandingkan pandangan orang lain, karena kita dan orang lain melihatnya dari sudut yang berbeda. Apa yang kita lakukan sering dikritik dan dianggap salah oleh orang lain, karena orang lain melihatnya dari sisi yang lain, sebelum dia mencoba memahami cara kita berpikir.
Mungkin kita juga sering begitu. Kita buru-buru mengeritik dan bahkan membenci orang lain sebelum tahu mengapa orang lain melakukan ini dan itu.


0 komentar: