Senin, 02 November 2009

Mempersoalkan Peneliti Asing di Kalbar

Oleh Yusriadi

Beberapa hari lalu di Pontianak Post, seorang akademisi sekaligus pejabat di sebuah Fakultas di Universitas Tanjungpura (Untan) Pontianak mengeluarkan penyataan agar peneliti asing yang berada di daerah ini diawasi.
Pernyataan itu disampaikannya –saya kira, berkaitan dengan masalah yang dihadapi oleh Menteri Kesehatan RI Endang Sedianingsih. Ini juga berkaitan dengan persoalan yang timbul karena Naval Medical Research Unit/NAMRU, melakukan riset tentang virus di Indonesia.




Komentar itu memang tidak mendapat sambutan, atau paling tidak tidak mengundang komentar banyak pihak. Wartawan juga agaknya tidak tertarik mengembangkan berita itu. Beritanya, terhenti pada komentar akademisi itu. Mungkin sebagian orang beranggapan komentar itu sebagai komentar biasa, komentar dari seorang analis ketika diminta mengulas sesuatu.
Tetapi, komentar itu menjadi penting disimak ketika di bagian akhir berita itu dia mengaitkan dengan aktivitas peneliti asing yang di beberapa taman lindung di daerah ini. Yang disebutkan di situ penelitian di Taman Nasional di Kapuas Hulu.
Rasanya, secara tersirat ada kesan khusus di balik berita dan komentar ini. Sepertinya aktivitas akademik peneliti luar menimbulkan masalah kepada mereka. Entahlah, masalah apa yang timbul.

***

Bahwa pemerintah harus mengawasi kegiatan peneliti asing, itu tentu. Bahkan bukan saja kepada peneliti, pemerintah harus mengawasi semua orang asing yang masuk ke daerah ini. Orang asing harus dipantau kegiatannya. Undang-undang Keimigrasian juga sudah mengamanatkan hal itu.
Tetapi tentu pernyataan ini menjadi lain jika dikaitkan dengan kesan bahwa peneliti luar yang melakukan penelitian di sini, telah merugikan daerah.
Saya teringat pada masalah serupa di awal tahun 2000 dahulu, saat orang ribut karena ada kegiatan penelitian di Gunung Palung Ketapang. Waktu itu salah satu dua peneliti yang disoroti kalangan tertentu.
Mereka mengungkapkan kekhawatiran bahwa peneliti luar melakukan pencurian (dan entah apa lagi). Mereka menyebutkan bahwa peneliti luar itu membawa plasma nutfah dari Gunung Palung ke daerah asal mereka, di Eropa sana.
Seorang wartawan di Equator waktu itu sempat bergairah menulis hal tersebut. Saya, waktu sebagai salah satu redaktur (kemudian saya dipecat), mendengar wartawan itu memberitahukan redaktur soal perkembangan pemberitaan. Dia benar-benar bersemangat. Dia mengutip beberapa pengamat dan lembaga swadaya– kononnya begitu.
Saya yang mendengar percakapan mereka ikut nimbrung. Saya mengajak mereka berdiskusi temanya: kerugian apa sebenarnya yang akan timbul dari kegiatan ini? Keuntungan apa yang membuat kita harus mendesak pemerintah agar mengambil tindakan terhadap peneliti asing di hutan nun jauh di Ketapang sana.
Saya mengajukan pendapat: katakan orang asing itu membawa tengkorak orang hutan dari Gunung Palung ke negera asal mereka di Eropa, untuk dijadikan koleksi, untuk dijadikan pajangan, atau untuk dijadikan sebagai sample penelitian, lalu apa ruginya daerah? Apa pemali yang akan tinggal pada masyarakat sekitar Gunung Palung?
Saya yakin, daerah tidak rugi. Saya juga yakin tidak ada pemali yang tinggal dan menimpa masyarakat setempat.
“Orang Barat itu mengambil tengkorak dari atas tanah. Tengkorak yang tinggal setelah induk orang utan dibunuh oleh pemburu. Jika tengkorak orang utan itu tidak dibawa orang asing, mungkin tengkorak itu akan terbiar begitu saja, lapuk oleh zaman dan kemudian mengapur, membaur bersama tanah di mana tengkorak itu teronggok”.
Malah sebaliknya, daerah akan mendapat promosi jika tengkorak itu dipajang. Dengan asumsi bahwa pada pajangan itu ada informasi: tengkorak orang utan dari Gunung Palung Kalimantan Barat.
Orang yang melihat keterangan tentang tengkorak itu tentu akan terbaca dengan nama Gunung Palung dan Kalimantan Barat.
Begitu juga, andai kemudian orang asing itu membuat artikel tentang orang utan Gunung Palung sebagai bentuk laporan penelitiannya. Habitat orang utan akan diceritakannya. Gambaran wilayah juga tentu akan dikemukakan. Artikel itu akan dibaca orang. Orang akan mengenal nama Gunung Palung dan mendapat gambaran sedikit banyak tentang daerah ini. Mungkin dari sekian banyak pembaca, ada mereka yang tertarik untuk suatu saat menjejak kakinya ke Gunung Palung. Bukankah kalau itu terjadi, sesuai pula dengan harapan kita selama ini selama ini agar orang asing datang ke daerah ini?
Kalaupun mereka tidak tertarik untuk datang, artikel tentang orang utan di Gunung Palung pasti akan memberikan bayangan kepada pembaca di negeri lain tentang daerah ini. Ini adalah bentuk promosi. Jika ini yang terjadi, apakah itu tidak menguntungkan?
Waktu itu, wartawan itu memahami cara pikir ini. Dia, tidak melanjutkan lagi memburu berita seputar peneliti asing di Gunung Palung.
Kita orang di Kalbar tahu bahwa biasanya orang yang datang cenderung membawa berkah. Lihatlah sesetengah masyarakat kita memasukkan dalam kepercayaan pantang larang menutup pintu rumah. Menurut budaya sebagian masyarakat menutup pintu sama saja dengan menolak rizki. Sebaliknya, membuka pintu sama dengan mempersilakan rizki masuk.
Ketika saya mengikuti kelas Leksikografi – berkaitan dengan ilmu membuat kamus, saya mendengar professor saya mengatakan: “Kita tidak mendapatkan banyak maklumat tentang bahasa di Indonesia karena beberapa waktu lalu pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan memperketat izin penelitian. Ini berbeda dengan data bahasa yang dapat kita peroleh tentang bahasa di Pasifik”.
Lantas beliau menyebutkan pengamalan salah satu linguis (ahli bahasa) yang popular Prof. James Fox. Fox adalah linguis besar asal Australia. Fox pernah diusir dari Indonesia pada tahun 1980-an ketika akan melakukan penelitian.
“Andai pemerintah Indonesia tidak menolak Fox, tentu data bahasa Austronesia dari Indonesia tidak akan sukar kita dapatkan”.
Saya kira, waktu mengusir Fox, pejabat Indonesia pasti tidak merasa rugi. Bahkan mereka mungkin bangga karena berhasil menggagalkan kedatangan orang asing ke Indonesia. Mungkin pejabat yang mengambil keputusan ketika itu langsung mendapatkan penghargaan dari atasannya.
Tetapi, nyatanya, orang yang berkecimpung di dunia akademik merasa rugi. Rugi karena konstruksi ilmu pengetahuan tidak bisa dilakukan dengan baik karena kekurangan data. Akhirnya ilmu yang dibangun pun menjadi tidak meyakinkan – sebab orang tahu ada data yang kurang. Orang tahu, banyak bahasa daerah dalam rumpun Austronesia di Indonesia Timur, tetapi, orang tidak punya data tentang itu. Orang asing yang memiliki kepakaran tidak bisa masuk, sedangkan orang local sendiri tidak mengerti tentang itu.
Kembali pada apa yang terjadi di Gunung Palung dahulu, saya yakin bahwa orang kita di Kalbar belum mampu melakukan penelitian seperti yang orang asing lakukan. Kita tidak ada kepakaran tentang itu. Malah mungkin, sama sekali awam. Paling banter, orang local biasanya baru sampai pada tahap membantu peneliti asing mengumpulkan bahan. Mungkin, juga membantu sebagai pendamping menunjukkan jalan.
Entahlah ilmuan dari kampus di Pontianak – mungkin mereka dapat melakukan penelitian tentang plasma nutfah, tentang keanekaragaman hayati, kemampuan yang setaraf dengan peneliti asing itu.
Tetapi saya ragu, mungkin mereka tidak sanggup melakukan penelitian itu saat ini. Maklum, penelitian memerlukan perhatian, waktu, dan biaya.
Lalu, kalau begitu, mengapa harus ributkan pasal itu?




0 komentar: