Senin, 02 November 2009

Menulis dan Hidup di Zaman Pra-Sejarah

Oleh
Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


Kamis (29/10) kemarin, saat saya bertemu dengan 6 mahasiswa Progam Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) yang berada di bawah bimbingan saya – sebagai dosen penasehat akademik -- di ruang kerja saya, iseng-iseng saya bertanya pada mereka tentang kepenulisan.
Saya ingin menjajaki siapa di antara mereka yang suka menulis dan siapa yang tidak suka. Siapa yang suka baca dan siapa yang kurang suka baca.
Ternyata, tidak semua suka menulis. Tidak semua senang membaca.





Bah! Saya agak tersentak. Bagaimana mereka bisa memilih masuk Program KPI kalau mereka tidak suka menulis.
Masalahnya, program KPI diselenggarakan untuk membentuk orang agar dapat menulis. Mata kuliah atau kurikulum program mengacu pada tujuan itu. Banyak sekali mata kuliah yang diprogramkan khusus untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa menulis. Sebut misalnya Bahasa Indonesia, Karya Ilmiah, Penulisan Artikel Opini, Jurnalistik, Berita, Feature. Bahkan salah satu kompetensi yang dituju oleh penyelenggara prodi adalah: “Lulusan mampu berdakwah melalui media sebagai penulis”.
Pasti, jika ada yang masuk KPI tidak mencintai dunia kepenulisan, dia akan menghadapi masa yang sangat berat.
Karena itu, saya maklum mereka harus coba diingatkan. Mereka harus diberikan motivasi. Saya mulai mengingatkan mereka soal ini, tiba-tiba saya teringat pada pelajaran sejarah, dahulu sewaktu sekolah di Jongkong, Kapuas Hulu. Pak Basrun Syafie yang mengajarkan itu.
“Masih ingat perbedaan zaman sejarah dan zaman pra-sejarah?”
Mahasiswa terdiam. Mencoba mengingat pelajaran lama.
“Zaman sejarah apa? Zaman pra-sejarah apa?”
Meluncurlah jawaban dari mereka. Mereka menyebutkan tahap-tahan zaman pra-sejarah, misalnya zaman paleolitikum, mezolitikum, neolitikum.
“Zaman itu, orang menyebutnya sebagai zaman manusia purba”.
Saya melanjutkan.
“Apa tanda zaman sejarah?”
“Orang mengenal tulisan”.
“Ya, tulisan. Tulisan menentukan sejarah”.
Saya mencoba mengingatkan masalah sebagian dari mereka. “Jika orang tidak menulis, hakikatnya dia hidup di zaman prasejarah. Manusia pra-sejarah. Hanya orang yang suka menulislah yang boleh mengklaim diri hidup di peradaban sejarah”.
Mereka mengangguk. Ada yang tersenyum kecut. Saya yakin mereka mengerti apa yang saya maksudkan. “Anda, kita semua, boleh pilih sendiri, mau tergolong manusia sejarah atau manusia pra-sejarah”.
Mereka masih terdiam. Saya membiarkannya. Biarlah mereka merenung, meresapi dan menghayati hujah saya.
Saya meninggalkan tema itu. Namun saya tidak menyia-nyiakan kesempatan mengingatkan mereka soal pentingnya menulis. Ini tugas pokok saya sekarang. Setelah saya yakin mereka tersentuh hatinya, saya mencoba mengajak mereka untuk percaya bahwa menulis itu mudah.
Lantas saya ambil buku dari rak di belakang meja kerja saya. Ada 14 buku. Buku yang saya tulis sendiri dan buku yang saya tulis bersama dengan teman-teman.
Saya memang sering ‘ngegap’ orang dengan cara ini. Menunjukkan buku. Sedikit narsis. “Di antara penulis buku ini, mereka adalah mahasiswa”.
Saya mengambil buku “Menunggu di Tanah Harapan”, terbitan STAIN Pontianak Press tahun 2009. Buku ini saya tulis bersama banyak teman, dan saya edit sendiri.
Saya membaca nama penulis buku. Saya tahu, beberapa di antara penulis itu dikenal oleh mahasiswa di depan saya. “Fifin Fenti Farida, waktu menulis ini, baru semester 1. Marisa dan Erika Sulistia, mahasiswa semester 3. Ambaryani dan Isminarti, semester 5. Rizki Muhardini, Tino Amindani, semester 7”.
Saya mengambil lagi buku “Menapak Jalan Dakwah” juga terbitan STAIN Press tahun 2009. 10 penulis buku itu, semuanya mahasiswa. Mereka rombongan kelas Feature. “Kalau mereka bisa, saya yakin Anda juga pasti bisa. Asal mau”.
Banyak lagi yang saya sampaikan kepada mereka. Saya memang selalu bersemangat dalam soal begini. Saya ingin budaya menulis tumbuh di kalangan mahasiswa, khususnya di kalangan mahasiswa yang berada di sekitar saya. Saya mengajuk mereka: “Marilah hidup bersama manusia yang membangun sejarah”.

0 komentar: