Sabtu, 07 November 2009

Pertanyaan untuk Dosen

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Seorang teman, dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di Pontianak, menceritakan, beberapa waktu lalu dia bertemu dengan seorang ilmuan di sebuah perguruan tinggi di tanah Jawa. Pertemuan tidak sengaja. Mereka bertemu dalam seminar. Ilmuan itu menjadi pembicara, sedangkan teman dosen itu sebagai pendengar.
Usai sesi seminar itu, teman dosen menghampiri sang ilmuan. Niatnya ingin bertanya sedikit. Maklum, waktu seminar tadi dia tidak kebagian waktu untuk bicara.
Ilmuan menyambut perkenalan dari teman dosen dengan ramah. Ilmuan itu lantas bertanya asal dia dan apa kegiatan.
“Saya bilang, saya dari Pontianak. Saya juga bilang saya mengajar di sebuah perguruan tinggi”.
“Mendengar itu, dia bertanya, berapa buku yang sudah ditulis?”



Kata teman tadi, dia sempat agak terkejut dengan pertanyaan itu. Maklum, selama ini kalau berkenalan dengan orang, setelah dia menyebutkan pekerjaannya sebagai dosen, biasanya orang bicara tema yang terkait. Maksudnya tidak terlalu peduli dengan status itu. Mungkin, orang pun sudah tahu, dosen itu adalah orang yang mengajar di perguruan tinggi, dll. Kalau pun orang ingin berbasa-basa soal status dosen, biasanya orang akan bertanya tentang matakuliah yang diampu, berapa lama mengajar, dan lain-lain berkaitan dengan kegiatan mengajar.
Pertanyaan ilmuan ini, menurut teman saya, menampilkan kesan yang lain dari yang biasa.
“Untung saja, saya selama ini sudah ada buku. Kalau tidak, wah… gimana menjawabnya”.
Saya yang mendengar cerita teman tersenyum lebar. Saya senyum karena bisa membayangkan situasinya. Pasti seru bertemu dengan orang seperti ilmuan itu. Saya jadi penasaran.
Saya tahu, tentu teman dosen itu bisa sedikit menegakkan kepalanya karena memang selama ini dia sudah menerbitkan beberapa buku. Memang tidak banyak. Tetapi, setahu saya selama lebih 10 tahun dia sebagai dosen, dia sudah punya 4 buku. Dua buku karangan sendiri, satu buku bahan ajar dan satu lagi terjemahan. Jadi kira-kira saja, dosen ini memerlukan waktu hampir 3 tahun untuk satu buku.
Walaupun jumlah itu sangat tidak ideal – karena menurut saya seharusnya, dalam satu tahun, seorang dosen punya satu buku, apapun bentuk dan kualitasnya, tetapi, teman dosen ini masih bisa menyampaikan pesan kepada ilmuan: sebagai dosen, dia memiliki kapasitas. Sebagai dosen, secara akademik, dia cukup berwibawa.

***

Saya sependapat dengan orang yang mengatakan, kewibawaan seorang ilmuan (dosen adalah ilmuan) antara lain dinilai dari karya akademiknya. Baik mutu maupun jumlahnya. Semakin banyak dan bermutu, semakin berwibawa dia. Sebaliknya, seorang dosen yang tidak punya buku, akan kurang wibawanya sebagai ilmuan. Bahkan, ada seorang ilmuan yang pernah mengatakan pada saya, seorang dosen yang tidak punya buku dan artikel jurnal, sama dengan guru biasa. Seorang yang hanya bisa mengajar.
Oleh sebab itu, seorang dosen yang ingin berwibawa dalam dunia akademik, seharusnya memacu diri untuk berkarya sebanyak mungkin dan sebaik mungkin. Baik dengan menulis buku sendiri, maupun menulis bersama-sama koleganya. Beruntunglah seorang dosen yang bisa mencapai taraf itu.
Saya bisa membayangkan betapa beruntungnya teman saya itu bisa berkenalan dengan ilmuan yang demikian. Sebab tidak semua ilmuan berpikir begitu. Kadang kala ada orang yang berpikir, seseorang dosen hanyalah orang yang mengajar di perguruan tinggi. Cukup sebatas itu. Seorang dosen adalah pengajar di depan mahasiswa. Mengajar saja. Tidak perlu meneliti. Tidak perlu menulis.
Biasanya, banyak orang baru sadar bahwa seorang dosen perlu meneliti dan menulis artikel serta buku, ketika membicarakan Tri Dharma perguruan tinggi. Lebih khususnya lagi, ketiga orang membicarakan kenaikan jabatan fungsional seorang dosen. Orang baru sibuk membicarakan (dan mengumpulkan) tulisan ketika kenaikan pangkat membutuhkan kredit point dari aspek penelitian dan publikasi.
Tidak heran ketika kemudian orang menemukan makalah-makalah yang dilampirkan seorang dosen bukan karya orisinilnya. Tidak heran ketika seseorang melampirkan karya akademik yang sebenarnya seakan-akan miliknya sendiri. Tidak heran jika sesekali kita mendengar orang menyebutkan plagiatisasi yang terjadi di dunia akademik.
Saya sering menemukan dosen yang tidak memiliki karya akademik dalam waktu berbulan-bulan. Saya sering menemukan seorang dosen yang beku dalam rutinitas dan aktivitas, sehingga lupa meneliti dan menulis.
Bahkan, saya pernah bertemu dengan seorang dosen yang mengatakan: kalau urusan dengan tulis menulis, itu urusan dosen tertentu. Sedangkan kalau dia, mengurus soal ceramah dan sejenisnya. Akhirnya, karena pandangan ini, dia hamper tidak pernah menulis. Kalaupun diundang ceramah, berbicara di depan orang, dia menyampaikannya secara lisan. Dia tidak membuat makalah untuk forum-forum begitu, sekalipun sesetengah forum agak ilmiah sifatnya. Paling-paling yang dapat dilakukannya hanyalah membuat slide untuk presentasi.
Alasannya, “Tidak sempat buat makalah”.

***

Teman dosen itu beruntung bisa bertemu dengan ilmuan yang bisa mengingatkan dia soal paradigma berpikir orang tentang dosen. Saya katakan beruntung karena ilmuan merupakan orang langka, yang ingat tentang kapasistas seorang dosen.
Ya, kapasitas seorang dosen mestilah seorang yang memiliki kemampuan dan karya dalam konteks tri dharma perguruan tinggi.
Pertama: Pengajaran. Dosen mesti mengajar mahasiswa. Dosen mestilah orang yang dapat mentransformasikan ilmunya kepada mahasiswa di ruang kuliah.
Tetapi, agar mahasiswa tidak ketinggalan informasi, ilmu yang ditransformasikan mestilah ilmu yang actual. Ilmu yang berkembang. Ilmu yang berkembang karena data-data dan informasi yang terkait, terus bertambah.
Tidak pada tempatnya jika seorang dosen hanya mengajar berdasarkan buku panduan yang dipakaikan sejak mula mengajar, hingga mengajar 10 tahun kemudian. Tidak pada tempatnya seorang dosen memberikan informasi kepada siswa tentang kejadian lama tanpa membandingkan dengan kejadian baru.
Kedua: Penelitian. Dosen adalah seorang peneliti. Seorang yang gemar menggali pengetahuan, gemar mencari-cari hal baru. Gemar bertanya dan mencarikan jawaban atas setiap phenomena yang berlegar di sekitar kehidupan. Penelitian, bukan sekadar menggali informasi di lapangan dengan modal proyek dari lembaga. Tetapi penelitian dalam pengertian luas. Pada akhirnya setiap dosen memiliki temuan-temuan khas, temuan yang harusnya diberitahu kepada mahasiswa, agar mahasiswa juga tidak tertinggal informasi.
Temuan itu seharusnya diinformasikan kepada koleganya sesama ahli akademik dan ditransformasikan kepada public. Medianya: buku, artikel di jurnal dan surat kabar. Dalam konteks itulah ilmuan tadi bertanya pada teman saya.
Ketiga: Pengabdian kepada Masyarakat. Seorang dosen, sebagai ilmuan, seharusnya menempatkan diri pada posisi yang berguna untuk masyarakat. Memang kadang ada kesan (di kampus kami), dosen yang mengabdi kepada masyarakat adalah dosen yang diminta masyarakat membaca khutbah dan berceramah. Jadi, kalau tidak berkhutbah dan berceramah, dianggap kurang mengabdi.
Tetapi pandangan ini agak sempit. Sebab ada pandangan umum yang mengatakan seorang dosen dianggap mengabdi kepada masyarakat, ketika dosen yang bersangkutan menunjukkan bahwa dia membantu masyarakat dan berguna untuk masyarakat, baik sesuai dengan bidang ilmunya maupun dalam bidang yang lain.
Oleh sebab itulah, saya kira, seorang dosen mencapai puncak aplikasi tra dharma perguruan tinggi, apabila buku, artikelnya, tulisannya, berguna dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.
Inilah mungkin yang menyebabkan, mengapa ilmuan itu bertanya pada teman saya dengan pertanyaan yang mendasar itu. Rasanya, saya pun ingin bertanya begitu pada dosen yang akan saya temui di hari-hari mendatang.



4 komentar:

laboratorium digital mengatakan...

saya juga ingin bisa menulisa yang bagus dan berharap punya buku yang sudi diterbitkan oleh penerbit...

Dunia Ebook mengatakan...

saran saja...

tulisan anda bagus,,, tetapi huruf yang digunakan terlalu kecil. saya berharap ada sedikit perbaikan

sekian.. dan terimakasih.. semoga berkenan

Yusriadi mengatakan...

Terima kasih atas saran Ibu Swacahyani. Nanti dibesarkan ya.

Yusriadi mengatakan...

Untuk Laboratorium Digital
Tulisan yang bagus sebenarnya relatif. Kata teman saya: Tulisan bagus itu adalah tulisan yang bermanfaat bagi pembaca. Teman saya yang lain mengatakan: Tulisan yang bagus adalah tulisan yang masih di dalam komputer, belum diprint, dan belum bisa dibaca oleh orang lain.
Soal diterbitkan, coba saja kirim ke penerbit yang Anda baca di dalam kolofon setiap buku. Tapi, sebelumnya, sebaiknya tulisan itu dibaca dulu oleh teman yang "mengerti" agar kalau ada hal yang kurang, bisa ditambahkan, dan kalau ada yang lebih bisa dikurangkan.
Selamat mencoba.

KALAU SUDAH COBA DI MANA-MANA TIDAK ADA JUGA PENERBIT YANG BERSEDIA MENERBITKAN TULISAN ANDA, KONTAK KE EMAIL yusriadii@yahoo.com
Selamat mencoba