Minggu, 31 Januari 2010

HP Anak Sekolah

Oleh: Yusriadi
Kisah anak SMAN 7 Pontianak yang kedapatan melihat adegan asusila di HP, mengingatkan saya pada pengalaman seorang teman.
Teman menceritakan, anaknya yang berusia 11 tahun, sudah melihat adegan seperti itu dan mencontohkan cara orang “mendesah-desah”. Anak umur segitu itu melihat adegan tersebut di HP teman sekolah saat mereka istirahat.
“Kaget saya mendengarnya,” aku teman.
Dia kaget, saya juga kaget. Bayangkan anak usia 11 tahun melihat adegan itu lewat HP, di sekolah lagi!
Mengapa ada siswa usia SD bisa membawa HP ke sekolah? Mengapa ada siswa SD bisa menyimpan gambar begitu di HP mereka?
Setahu saya, banyak sekolah dasar yang melarang siswa membawa HP. Ada razia. Sekolah tempat anak teman belajar juga ada peraturan itu. Tapi kok bisa?
Rupanya, saat razia siswa itu menitipkan HP mereka kepada pemilik warung Kadang juga HP disimpan di lemari di dalam kelas. Kadang juga disimpan di pot bunga. Siswa tersebut menyimpan HP-nya di tempat yang tidak terjangkau perhatian guru. Saya mendengar cerita ini dengan takjub. Sungguh anak yang hebat. Anak itu lebih hebat dari guru. Anak itu dapat mengecoh guru mereka. Anak itu lebih pintar dan panjang akal dibandingkan guru mereka.
Kalau sudah begini keadaannya, ini bukan salah guru. Bukan salah sekolah. Mereka sudah berusaha membuat aturan dan menegakkan aturan.
Lalu, jika begitu, ini masalah siapa? Saya anggap, dalam kasus anak SD yang menyimpan film tidak senonoh di HP mereka, ini masalah orang tua. Pertama, orang tua yang memberikan uang untuk membeli HP. Kedua, orang tua yang pasti ikut memilih atau paling tidak merestui jenis HP yang dipilih. Orang tua yang memilih membeli HP yang bagus sehingga alat itu berfungsi lebih dari sekadar untuk menerima dan menelepon. Fasilitas yang memungkinkan membuat anak dapat menyimpan file memuat gambar asusila.
Jadi, seharusnya, jika orang tua benar-benar memperhatikan pendidikan dan masa depan anak mereka, orang tua seharusnya merasa bertanggung jawab untuk mengontrol isi HP anak mereka. Orang tua seharusnya juga memastikan HP yang dibelikan untuk anaknya digunakan hanya untuk hal yang positif.
Sesungguhnya bukan saja soal isi HP, orang tua juga selayaknya mengontrol atau paling tidak tahu, siapa yang menghubungi dan dihubungi anak mereka. Bahkan jika mungkin, tidak saja panggilan keluar masuk, SMS yang keluar masuk juga sesekali dipantau oleh mereka.

***
Saya jadi teringat ketika beberapa waktu lalu saya bertemu dengan anak seorang teman yang sekarang menjadi kepala sekolah, sebuah sekolah agama.
Anak itu duduk di kelas 2 sekolah menengah. Hari itu, ketika saya sedang belanja di warung saya melihat anak itu juga datang ke warung. Dia menenteng HP-nya. Saya mengenal HP jenis itu disebut HP Pisang. Ya, karena bentuknya seperti pisang, agak melengkung.
Saya penasaran melihatnya.
“Woi, HP-nya bagus benar”.
Anak itu tersenyum mendengar saya memujinya. Lalu saya bertanya pada dia berapa harganya. Dia menyebutkan harga.
“HP bekas bah”.
“O, bekas?”
“Coba lihat”.
Dia menyerahkan HP-nya. Saya mengambil dan mengutak-atik tombolnya. Saya melihat isi folder. Lalu masuk lagi ke gambar-gambar dalam folder itu.
Alamak! Saya kaget ternyata di folder itu ada banyak gambar perempuan dengan setengah telanjang.
“Ya ampun…. Kamu simpan gambar begini???”
Anak itu nampak gugup ketika mendengar suara saya meninggi. Dia gagap.
Dia menceritakan gambar yang ada di folder itu memang sudah ada sejak awal. Gambar itu koleksi pemilik HP sebelumnya. Bukan dia yang memasukkan.
“Dihapus ya. Kalau ndak saya beritahu bapak nanti”.
Saya meminta begitu, karena saya khawatir, anak tersebut akan ngiler melihat hal seperti itu. Mungkin, nanti malah pengin melihat gambar hidup. Saya khawatir dia terjerumus; saya khawatir dia gagal melanjutkan pendidikan. Dia anak teman saya, karena itu saya merasa harus mengingatkannya – sekalipun nampak sedikit usil.
Anak itu mengambil HP yang saya kembalikan. Dia (sepertinya) menghapus beberapa gambar perempuan cantik itu. Entah dihapus semua, entah tidak.
Kejadian ini, kisah anak SD dan kisah siswa SMAN 7, mengingatkan saya betapa lemahnya kontrol orang tua, terhadap anak mereka. Betapa orang tua kurang dapat mengontrol prilaku anak mereka. Orang tua tidak mungkin menyerahkan kontrol prilaku dan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah, karena kemampuan sekolah juga terbatas. Waktu sekolah bersama anak juga terbatas.
Kejadian ini sekaligus juga mengingatkan kita bahwa ke depan pihak sekolah tidak boleh berhenti melakukan kontrol terhadap HP siswa mereka – tentu saja melakukan kontrol dengan cerdas sehingga tidak ‘diketawain’ siswa yang nakal.
Jangan pernah bosan!



Baca Selengkapnya...

Sabtu, 30 Januari 2010

Mengenang Suman Kurik

Oleh: Yusriadi

“Pak Suman meninggal”.
Tanto Yakobus, Pimpinan Redaksi Borneo Tribune memberitahu saya kabar itu sekitar pukul 12.30 Selasa (112/1) kemarin. Saat itu, kami sedang rapat, dan kebetulan kami duduk bersebelahan dengan beliau.
Walaupun saya tidak dekat dengan beliau, dan sebaliknya beliau tentu tidak mengenal saya, namun, kabar ini telah mengejutkan saya. Mendadak. Seperti juga dikatakan Nur Is, General Manager Borneo Tribune, soal kematian beliau, kami tidak mendengar kabar soal beliau sakit.


“Ndak ada dengar beliau sakit, ya?”.
Saya bertanya pada Tanto.
“Mengapa?”
“Jantung”.
Bah! Jantung. Saya ingat sudah banyak sekali orang yang meninggal karena sakit itu. Terutama mereka yang besar-besar. Malam sebelumnya, saya malah menghadiri acara tahlilan memperingati tujuh hari meninggalnya ayah teman, yang juga meninggal tiba-tiba. Katanya, jantung.
Kami terdiam mendengar pemberitahuan Tanto. Lantas, saya mengingat-ingat tentang sosok ini. Menurut saya, beliau sangat mengesankan.
Saya pernah bertemu beliau dan berbicara dengannya, dahulu awal tahun 2000-an. Waktu itu, beliau masih menjabat sebagai Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Sintang. Saya (bersama teman saya) bertemu beliau karena saya harus menyampaikan surat dari STAIN Pontianak, perihal penolakan Sintang terhadap lulusan D2 STAIN Pontianak.
Waktu itu, hari Jumat. Beliau mengenakan pakaian olahraga, putih hijau. Masih ada nampak bekas keringat.
Kami diterima di ruang kerja beliau. Penerimaannya simpatik. Dia mendengarkan penjelasan kami, dan mengatakan akan menerima lulusan D2 STAIN. Saya membandingkan, sikap beliau jauh sekali dibandingkan sikap orang Dinas Pendidikan dan BKD Kapuas Hulu di Putussibau. Di Putussibau, kami harus ‘berdebat’; dan mereka tetap ngotot tidak mau terima. Membandingkan sikap orang di Putussibau dan sikap Pak Suman, teman saya mengatakan:
“Itulah… Kadang saya pikir, lebih enak berkomunikasi dengan orang bukan Islam, dibandingkan orang Islam sendiri”.
“Makanya, kita tidak boleh melihat orang berdasarkan agama. Santun atau tidaknya orang, bukan karena dia beragama apa”.
Setelah itu, saya tidak pernah bertemu beliau lagi. Hingga suatu saat, saya mendengar beliau ditunjuk sebagai Plt Bupati Melawi. Melawi adalah kabupaten baru, pemekaran dari Kabupaten Sintang.
Saya menganggap, penunjukkan Pak Suman, merupakan pilihan yang tepat.
Lantas kemudian, ketika Pak Suman menjadi calon Bupati Melawi empat tahun lalu, bersaing dengan beberapa nama, dalam hati saya meyakini: Suman layak dipilih karena dia memang memiliki kapasitas. Dan kemudian, beliau memang terpilih. Beliau unggul suara dibandingkan calon-calon yang lain.
Saya melihat, selama kepemimpinannya, Melawi, khususnya Nanga Pinoh, memperlihatkan perkembangan yang cukup signifikan. Saya melihat kota Nanga Pinoh di tahun 1993, 1998, 2003, 2006. Saya dapat menunjukkan kemajuan-kemajuan yang dicapai selama era Suman Kurik. Saya juga mengagumi beliau ketika beliau meluncurkan buku dokumentasi pemikiran dan pandangannya. Saya memang selalu mengagumi orang yang membuat buku, karena usaha seperti ini merupakan usaha besar dan bersejarah. Pasti, walaupun Suman Kurik telah tiada, tetapi pemikirannya tetap akan dibaca orang.
Beberapa bulan lalu, saya sempat memprediksikan bahwa Suman Kuriklah yang akan menjadi Ketua Partai Demokrat Kalbar menggantikan alm. Henri Usman. Dari sisi kapasitas dan ketokohan beliau sangat layak. Dari kemungkinan, dengan posisinya di Demokrat saat itu, Suman Kurik juga mungkin. Tetapi, kemudian prediksi saya salah, ternyata Muda Mahendrawan yang ditunjuk sebagai pengganti Henri.
Oleh sebab itu, menjelang Pilkada mendatang, saya masih mengandaikan Suman Kuriklah akan dipercaya melanjutkan kepemimpinan Melawi 5 tahun yang akan datang.
Teringat soal Pilkada ini, saya jadi teringat dinamika yang sedang terjadi di tubuh Demokrat. Suman, termasuk bakal penumpang perahu itu.
Saya sempat bertanya pada Tanto di mana sekarang Tim 9 Demokrat berada. Tim ini yang akan menentukan siapa yang akan menjadi bakal penumpang. Saya dengar, ada orang Demokrat dari Pusat yang sedang ada di Kalbar terkait urusan perahu politik dalam Pilkada 19 Mei 2010.
Pikir saya, apa mungkin soal penentuan siapa calon bupati Melawi yang akan menjadi penumpang perahu Demokrat, yang membuat jantung Suman ‘terkejut’. Tetapi Tanto membantah.
“Ndak…. Demokrat Melawi sudah jelas ke Suman Kurik”.
Lalu? Entahlah.
Saya masih tidak puas membicarakan tentang beliau. Membicarakan tentang kebaikan beliau dan pengharapan yang disandarkan padanya. Sungguh, menurut saya, beliau pergi dengan kesan yang baik. Semoga beliau mendapat tempat yang layak di sisi Tuhannya. Selamat Jalan Pak Suman.





Baca Selengkapnya...

Tanaman Obat di Pasar Tengah

Oleh Yusriadi

Pasar Tengah, Pontianak, adalah pasar rakyat kelas bawah di kota ini. Pasar Tengah tempat jualan barang murah. Terutama jenis peralatan rumah tangga, pertanian dan juga barang-barang bekas. Pasar Tengah juga dikenal sebagai tempat pembelian barang dalam partai banyak. Pedagang-pedagang dari pedalaman selalu berbelanja di pasar ini untuk barang jualan mereka di nun perhuluan sana.


Dahulu, sering kali saya ke pasar ini untuk mencari baju-baju bekas. Saya pernah mencari sepatu bola bekas, sepeda bekas, dan juga buku-buku cetak murah. Saya pernah mencari ikan asin di lorong-lorong di pasar tengah.
Saya menyusuri lorong, melihat kiri kanan, memilih barang. Berinteraksi dengan penjual yang menawarkan barang, dan kemudian tawar menawar. Ada juga banyak pembeli yang mampir ke kawasan ini. Dahulu, kalau hari Minggu, lorong-lorong tertentu di Pasar Tengah, puadat sekali. Berdesakan. Karena berdesakan itu ada yang memanfaatkan peluang mencopet. Ada banyak orang yang pernah punya pengalaman buruk dicopet di Pasar Tengah.
Sebenarnya saya sangat suka belanja di pasar tengah. Namun, kadang kala pasar itu terasa jauh. Susah letak motor. Khawatir banyak copet. Khawatir beli barang ditipu. Maklum, penjual kadang kala meletakkan harga pertama cukup tinggi dengan maksud agar pembeli menawar. Saya tidak pandai dan kurang suka menawar. Spekulasinya tinggi.
Saya lebih suka membeli barang yang harganya pas. Tidak spekulasi. Karena itulah kemudian saya lebih suka belanja di mall.
Saya masih terpengaruh oleh cerita mengenai rawannya pasar ini. Tetapi begitulah. Pandangan ini membuat saya agak sedikit malas ke pasar ini.
Sejak pemerintah kota mengubah tampilan Pasar Tengah, khususnya Parit Besar, memang kesan dari jalan, pasar ini berubah. Gerbang masuk ke lorong itu nampak dengan lampu yang kalau malam cukup indah. Nampak juga bangunan di atas parit lebih baik dibandingkan dahulu.
Saya mengunjungi pasar tengah kemarin bersama dua teman. Kami mencari tumbuhan obat. Teman mencari temu ireng (temu hitam) untuk obat sakit usus buntu.
Saya jadi ikutan mencarinya. Penasaran. Saya juga pengin mencoba. Jaga-jaga kesehatan. Lalu, sekalian saya mencari bawang mekah. Bawang mekah baik untuk pelbagai penyakit.
Kami masuk ke lorong sebelah kanan, parkir motor di situ. Parkir motornya nampak tertib. Di badan jalan. Dan ini membuat jalan jadi agak sempit. Pemerintah tidak menyediakan lahan khusus untuk parker. Kalau disediakan pasti jadi lebih baik, dan dengan begitu tidak ada lagi orang yang pakir di depan kios, di jalan yang sempit. Entah mungkin suatu saat.
Lorong yang kami masuki menjual aneka barang ‘antik’, alat pertanian, dll. Tetapi bukan itu yang kami cari. Lalu kami melalui jembatan, pindah ke lorong di seberang parit. Di bagian ini orang menjual sayur mayur, tanaman, buah, dll.
Kami berjalan perlahan. Dan berhenti di sebuah kios yang menjual jahe, kunyit, dll. Nama tanaman ada ditulis di atas secarik kertas di atas barang jualan yang diletakkan di atas badan jalan. Hanya nama. Saya bayangkan, duh, baiknya jika penjual juga mencantumkan harga barang. Tak perlu banyak tanya. Tak perlu takut tertipu.
Penjual, seorang lelaki dan seorang perempuan.
Teman saya bertanya, tentang temu hitam. Penjual lelaki menunjuk tumpukan dalam karung yang terbuka yang diletakkan agak di ujung tempat jualan. Kami menuju tempat itu.
“Lho, kok ndak hitam?” Dalam bayangan saya, temu itu warnanya hitam. Teman saya meminta izin mematahkan bonggolnya. Di dalam warna di dalamnya juga tidak hitam.
“Benar, ini dia,” teman saya berbisik.
Mereka bertransaksi dengan penjual wanita. Sedangkan saya memilih bawang mekah yang diletakkan di bagian atas, di lapak. Sudah lama saya ingin mendapatkan bawang itu.
“Untuk apa Pak? Untuk kanker ini bagus,” penjual lelaki bertanya pada saya.
Ketika saya mengatakan ya, dia kemudian menceritakan khasiat bawang mekah. “Akan lebih baik kalau dicampur dengan jerangau merah, kunyit putih dan keladi tikus”. Masing-masing ada fungsinya. Ada yang –katanya, untuk membunuh akar kanker, ada yang untuk mengeringkan bekas luka, dll. Saya tidak mengingatnya. Tetapi, penjelasan mereka sangat mengesankan.
Akhirnya saya membeli semua barang itu sesuai petunjuk dia. Kecuali, keladi tikus harus dipesan lebih dahulu, sebab mereka yang mengolahnya. Katanya, kalau orang tidak pandai mengolah keladi tikus, nanti airnya yang seharusnya diminum, akan menyebabkan gatal.
Setelah selesai transaksi, kami pulang. Sepanjang perjalanan saya memikirkan apa yang terjadi. Saya anggap ini perjalanan yang luar biasa. Saya sering ke sini, lewat di depan kios ini. Tetapi saya tidak tahu jika di lapak-lapak itu ada kekayaan hutan Kalbar; kekayaan yang luar biasa. Ini juga kekayaan pengetahuan orang Kalbar; pengetahuan tentang ilmu perobatan tradisional. Kekayaan itu belum digali, belum dieksplore. Belum banyak diketahui. Berkali-kali saya menggeleng kepala, takjub dengan apa yang saya peroleh di Pasar Tengah ini.
Saya membayangkan jika citra Pasar Tengah sebagai pasar tumbuhan obat tradisional dipromosikan dan dibentuk. Pasti akan lebih istimewa. Saya juga membayangkan jika pengetahuan tentang tanaman obat –khususnya tanaman yang memang tumbuh di tanah Kalbar ini digali oleh dosen dan mahasiswa farmasi di Kedokteran Untan. Bayangkan jika lembaga riset Kalbar memperhatikan kekayaan itu. Dll.
Uhgg.. betapa kayanya kita. Betapa istimewanya kita. Pasti kita tidak akan susah mendatangkan ornag luar berkunjung. Lha, untuk mendukung visit Kalbar year 2010 itu lho.


Baca Selengkapnya...

Senin, 25 Januari 2010

Dokter Spesialis Perempuan

Oleh: Yusriadi

Setahun lalu, teman saya mengantar seorang wanita tua dari kampung di Kapuas Hulu berobat ke tempat praktik “seorang tabib” di Pontianak. Wanita itu, menderita sakit di payudaranya. Sakitnya sudah lama. Mula-mula berupa benjolan, kemudian lama-lama benjolan itu pecah. Busuk. Bau. Wanita tua itu sangat menderita. Dia juga sangat malu karena penyakitnya itu.


Di kampungnya, dia tidak berobat ke dokter. Tempat dokter di Puskesmas, memang tidak jauh dari tempatnya tinggal. Tetapi dia malu. Masalahnya, dokter di Puskesmas itu lelaki. Tak mungkin lelaki selain suaminya boleh melihat ‘bende’ rahasia itu. (Dia tidak mempersoalkan dokter tersebut, dokter umum atau spesialis).
Lantas, wanita tua itu berikhtiar mengobati sendiri penyakitnya secara tradisional dan “sedikit modern”. Dia mencari obat yang mungkin digunakan - menurut kira-kiranya saja. Baik dari tumbuh-tumbuhan, maupun obat warung. Obat warung yang dicoba, ya… misalnya obat untuk pusing kepala, obat untuk meriang, dll.
Usahanya tidak berhasil. Sakitnya bukan makin sembuh. Semakin hari dia semakin menderita. Ceritanya, dia sering menangis sendiri karena sakitnya itu.
Lama-lama, orang sekitarnya tahu wanita tua itu ada penyakit. Mula-mula orang tahu dia sakit biasa. Tetapi, kemudian orang menjadi curiga ketika mencium bau busuk (bau dari benjolan di dadanya yang sudah pecah). Setelah didesak, barulah perempuan itu mengaku. Sakit payudara.
Keluarga pun berembuk. Sakitnya mulai jelas. Namnya kanker payudara. Solusinya dicari. Berobat ke Pontianak. Di Pontianak, mereka memilih ke alternative. Terapinya satu bulan, dan katanya, borok itu kering. ‘Sembuh’. Wanita tua itu kembali ke kampungnya.
Saya sempat ‘ngeri’ membayangkan penyakit wanita tua itu. Saya juga prihatin dengan masalah yang dihadapinya. Saya dapat merasakan masalahnya.
Bahkan, beberapa malam lalu saya juga merasakan hal yang sama. Saya membawa orang ke dokter untuk periksa penyakitnya. Penyakitnya sudah dirasakan cukup lama. Tapi, dia malu mengatakannya. Setelah didesak, barulah ketahuan.
Mulanya dia dibawa konsultasi ke dokter penyakit dalam. Dia mengaku sangat malu ketika dokter memeriksa penyakitnya. Dia berkeringat. Untung saja dokter itu, dokter wanita. Dia agak lega.
Namun kelegaannya tidak berlangsung lama. Periksa ke dokter penyakit dalam, tidak cukup. Dokter mengatakan dia juga harus ‘difoto’, dan dokter yang dirujuk untuk foto itu adalah dokter lelaki. Lagi-lagi dia sawan. Lebih sawan dibandingkan ketika dia diperiksa dokter wanita yang ahli penyakit dalam.
Sebelum masuk ke ruangan praktik dokter foto itu dia antri. Saat duduk menunggu dia mengaku panas dingin. Dia deg-degan. Lantas tiba gilirannya. Dia masuk. Setelah keluar ruangan dia bercerita, dia sempat termangu ketika dokter meminta dia membuka pakaian bagian agar diperiksa. Dia sempat gemetaran. Dia memang mendengar dokter mengatakan: tidak perlu malu. Tetapi, tetap saja dia pucat.
Saya masih melihat sisa ketakutannya ketika dia keluar dari ruangan.
“Ah, kasihan sungguh”.
Saya sempat membayangkan, andai saja pengambil kebijakan memperhatikan masalah seperti ini. Saya sempat mengandai, pemerintah membiayai doktek-dokter perempuan untuk mengambil spesialisasi untuk penyakit yang ada hubungan dengan bagian keperempuanan. Saya juga mengandai, seandainya para pembela hak-hak perempuan juga memperhatikan isu-isu ini: perempuan tidak saja dibela untuk masuk ke ranah public, terjun ke politik, tetapi juga didorong untuk memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan keperempuanan. Itu masalah mereka sendiri yang sebaiknya diurus mereka sendiri; bukan diurus lelaki.
Saya yakin, kalau ini diperhatikan, tidak perlulah perempuan-perempuan yang sakit, sampai harus bergegar-gegar mau periksa penyakit wanita mereka kepada dokter lelaki. Mungkin akan semakin sedikit wanita yang menyimpan sendiri penyakit mereka, karena mereka malu berobat. Agaknya.



Baca Selengkapnya...

“Laku Tiga Buti’”

Oleh: Yusriadi

Duh, malangnya! Kasihan.
Kata itu tercetus seketika dalam pikiran, ketika saya mendengar seorang perempuan paroh baya melaporkan jumlah kuenya yang laku terjual hari itu kepada pemilik warung di kawasan Purnama, Pontianak.
Saya mendengar percakapan mereka tanpa sengaja. Ya, sore kemarin mengunjungi teman yang tinggal di sebuah gang di Jalan Purnama Pontianak. Teman itu membuka warung sembako. Usahanya sekarang nampak besar.


Saya tahu bagaimana dia memulai usaha. Modalnya kecil. Tempatnya sederhana. Rumah murah yang mereka beli. Lokasinya memang pas di persimpangan gang.
Mereka merangkak dan berusaha keras. Beberapa tahun kemudian, usaha itu maju. Sangat maju. Mereka membesarkan rumah dan mendesainnya khusus untuk tempat berdagang. Jika dahulu sang suami belanja dengan motor ke pasar setiap pagi, sekarang, dia ke pasar pakai pikup sendiri.
Nah, karena maju, warung ini juga menjadi tempat penitipan kue-kue buatan ibu-ibu rumah tangga. Saya lihat sore kemarin, ada nagasari, ada bakwan, kroket, klepon, dan lain-lain. Kue-kue ini diletakkan di atas meja di bagian kiri warung. Setiap pagi, ibu-ibu menitipkan kue di sini. Lalu, sore mereka mengambilnya.
Seperti juga sore kemarin.
Saat saya berbicara dengan teman itu, seorang ibu paroh baya datang. Dia menggunakan sepeda dengan keranjang di depan. Di dalam keranjang itu ada beberapa bungkusan plastik. Dia mengambil tempat bakwan dan kroket dari atas meja. Lalu, dia menghitung isinya. Tidak ada suara. Hanya mulutnya yang bergerak. Ekspresinya menyiratkan kekecewaan.
“Tiga”.
“Tiga?”
Saya nimbrung. “Tiga? Lakunya tiga?”
“Iya. Lakunya cuma tiga”.
Saya terperangah. Sedikit amat.
“Ndak rugi?”
Teman saya tertawa.
“Ya, begitulah resikonya”.
“Jangankan untung, bisa-bisa modal habis,” saya menyampuk.
“Lalu kuenya diapakan?”
Ibu pemilik kue tidak menjawab. Saya tidak mengulangi pertanyaan. Tidak ingin Nampak mendesak. Sekalipun sebenarnya saya ingin tahu.
“Nanti masuk koran, Bu,” teman saya bercanda.
Kami melupakan tema kue yang tidak laku. Ibu pemilik kue meninggalkan warung. Kembali bicara soal kegiatan masing-masing. Tukar cerita. Maklum sudah lama tidak bertemu. Sesekali pembicaraan terputus karena dia harus melayani pembeli.
Tak lama kemudian, seorang ibu datang menghampiri meja tempat kue diletakkan. Dia mengambil piring plastic tempat kue nagasari. Saya melihat di dalam piring itu ada tiga bungkus daun pisang.
“Empat”.
Suara ibu itu terdengar agak nyaring. Maksudnya ada 4 kue yang laku.
Berselang lima menit setelah itu, seorang ibu lain yang nampaknya masih lebih muda, mengambil kue. Klepon. Dia menghitung isi klepon dalam plastic.
“Lima”.
Dia menyebutkan jumlah yang laku.
Sungguh malang. Tapi mau apa, begitulah sudah kenyataannya.
“Memang sekarang kue-kue lagi payah. Musim buah bah,” kata teman.
Benar, kue-kue memang payah. Payah laku. Peminatnya kurang. Pembuatnya, membuat dengan susah payah. Dengan modal uang untuk membeli bahan dan modal tenaga. Mereka mau berusaha.
Tetapi, saya tidak ada bayangan, bagaimana jika usaha mereka terus menerus payah. Pasti modal akan hangus. Pok. Kalau mereka pok, matilah riwayat kue-kue tradisional. Kue buatan ibu-ibu itu akan jadi kenangan.
Bisakah mereka dibantu? Tiba-tiba saya teringat Visit Kalbar Years 2010. Seharusnya ini kesempatan mengangkat dan mempromosikan kue-kue lokal. Ini saatnya membantu ibu rumah tangga yang mau berusaha untuk kehidupan mereka, rumah tangga mereka dan anak-anak mereka.
Tetapi bagaimana caranya? Saya masygul. Saya belum menemukan jawabannya. Mudah-mudahan pemerintah dan para wirausahawan menemukan caranya.


Baca Selengkapnya...

Senin, 11 Januari 2010

Tak Ikutan FB

Oleh
Yusriadi

“Abang ndak ikut facebook?!”
Itulah kata yang diajukan seorang, kepada saya beberapa waktu lalu.
Saya tahu dia heran. Dia pasti merasa aneh, mengapa saya tidak ikut seperti orang-orang lain. Dia heran mengapa saya tidak menjalin pertemanan melalui jejaring tersebut.



Saya kira, dia memang harus heran. Sekarang – sejak satu tahun belakangan ini, orang memang sedang demam facebook (FB). Saya tahu itu karena saya melihat sendiri beberapa teman mengalami hal itu. Saya menggunakan kata ‘demam’ untuk menyebutkan betapa mereka sangat ketagihan terhadap FB itu. Bak kata, sehari tidak FB, rasa meriang, rasa tidak enak badan. Pening kepala tak bisa FB.
Tiap hari mereka merasa harus membuka computer, karena mereka merasa perlu melihat perkembangan jaringan ‘pertemanan’ di FB. Jaringan pertemanan ini membuat mereka tahan berlama-lama berada di depan computer, melayari laman web dari pagi hingga siang. Dari siang hingga malam. Dari malam hingga larut malam. Ada teman yang seharian penuh FB. Bak kata, dia jadi lupa waktu, lupa makan. Lupa kerja. Hanya sesekali dia buat kerja lain.
Apa yang dibuat mereka dengan FB? Ada yang bilang, dia bisa meninggalkan ‘kata (biasanya kata-kata bijak, atau kata pilihan)’ di FB. Ada yang bisa memberikan tanggapan terhadap tanggapan orang lain. Tanggap menanggap. Ada yang memilih chating. Justru katanya, chating memang paling asyik dilakukan.
Teman bilang, FB membuat teman memiliki banyak teman.
“Kita bisa ketemu teman lama”.
Dia menunjukkan contoh, gara-gara FB dia bertemu dengan teman sewaktu SMP dahulu. Belasan tahun sudah tidak bertemu, belasan tahun tidak ada kabar.
Tetapi, dengar-dengar, FB juga memberi ruang kepada seorang bisa menyalurkan kenakalannya. Nakal karena dia bisa merayu teman baru di FB, bisa ngegombal, dll. Saya kira, bagi orang muda dan berjiwa muda, tentu saja ngegombal ini pekerjaan yang asyik. Ada yang jadian setelah sering gombal menggombal melalui jaringan ini. Kalau tidak percaya, coba saja!
Di balik keasyikan tadi, FB juga bisa bikin masalah. Saya pernah mendengar di sebuah kantor, jaringan FB (internet?) ditutup karena ada karyawan yang tidak produktif karena FB terus. Pekerjaan menjadi tidak terurus maksimal. Dia tidak dapat menahan diri. Isolasi jaringan baru dibuka setelah ada reaksi. Saya senyum sendiri mendengar kisah seru itu. Saya senyum membayangkan betapa orang-orang pecandu FB kelimpungan tidak bisa melihat jejak terakhir pertemanannya di jaringan.
Justru itu, apa yang terjadi pada teman-teman membuat saya tidak berani ikutan FB. Saya sering diundang untuk masuk jaringan pertemanan. Tetapi sampai hari ini, saya belum ikut. Saya tidak ikut karena saya khawatir, saya akan seperti teman yang kecanduan duluan. Saya akan menjadi orang yang (semakin) gombal. Saya akan menjadi orang yang (semakin) narsis. Saya khawatir, waktu di depan computer jadi lebih banyak dihabiskan untuk FB. Padahal, banyak pekerjaan lain yang harus saya kerjakan.
Sungguh, saya hampir yakin, kalau saya masuk dalam jaringan FB saya akan sangat aktif dalam jejaring ini. Bayangkan, ada teman meninggalkan komen di “dinding” FB saya, masak saya tidak balas? Mungkin saya juga akan tertarik membuka komentar teman-teman dan meninggalkan komentar di sana. Mungkin saya akan tertarik untuk ngegombal dan menyalurkan kenakalan. Kalee…



Baca Selengkapnya...

“Melayu Jangan Berjudi”

Oleh Yusriadi


“Melayu jangan berjudi”.
Nasehat itu masih terngiang di telinga saya, meskipun saya mendengarnya sudah lebih dua bulan lalu. Saya terkesan pada nasehat itu, pada kalimat itu, karena kata-kata itu mengingatkan saya pada seorang lelaki tua penjual jasa di pinggir jalan di kawasan Sungai Jawi, Pontianak.




Sejujurnya, kalau yang diingatkan itu saya sebagai muslim, mungkin saya tidak akan terkesan. Yang beliau ingatkan itu ‘Melayu’. Saya dianggapnya Melayu, setelah dia tahu saya beragama Islam. Saya tidak membantahnya, sebab memang di kalangan sebagian besar masyarakat lokal: pribumi Islam sama dengan Melayu.
Lha, mengapa Melayu tidak boleh berjudi? Selama ini saya beranggapan, etnik dan prilaku tidak berkaitan. Etnik hanyalah salah satu pilihan identitas. Sedangkan prilaku dibentuk oleh lingkungan. Saya juga beranggapan, kalau bisa, semua etnik jangan berjudi. Bukan Melayu saja.
Mengapa lelaki tua itu berkesimpulan begitu? Sangat menarik.
Selain itu, kalau yang mengingatkan saya jangan berjudi itu seorang ustadz, penceramah, rasanya, pasti saya tidak akan merasa terkesan. Biasa saja. Larangan itu sering saya dengar. Judi memang haram. Dalilnya jelas. Tidak ada perdebatan soal itu.
Namun, ini, yang memberi saya nasehat, orang pinggir jalan. Orang yang tidak menggunakan pendekatan agama. Saya terkesan karena dia mengingatkan itu dengan pendekatan lain: pendekatan pengalaman. Larangan itu terumuskan dari pelajaran hidup yang telah dia jalani.
Sebenarnya saya kebetulan saja bertemu dengan lelaki tua itu. Saat itu saya menunggu hujan reda di sebuah ruko di Sungai Jawi, Pontianak.
Mula-mula dia menceritakan bahwa dia pernah ketagihan bermain judi, sewaktu muda dahulu. Mungkin kira-kira tahun 1980. Setiap hari. Dia tidak perduli pada rumah tangga. Pada kerja. Malah sebaliknya judi membuat rumah tangganya berantakan. Harta habis. Perhiasan istri tergadai.
Tak bisa meminta baik-baik, dia menipu istrinya. Berbohong.
Dia pernah didatangi istrinya, dipukul dengan sandal, di depan orang banyak. Waktu itu istri kesal sebab dia mengambil uang belanja. Kerjanya mirip-mirip mencuri – yang dicuri uang belanja istri. Meskipun dia dipukul di depan orang banyak, namun dia tidak merasa malu, sedikitpun.
“Judi membuat kita tidak ada malu lagi. Jahat betul kalau sudah ketagihan,” akunya.
Dia sangat yakin bahwa judi tidak akan membuat orang kaya, sekalipun sesekali ada menangnya. Kemenangan menurutnya hanya pancingan agar nafsu berjudi bertambah, meningkat. Judi menguras harta, bukan menambah harta.
Sekarang dia sudah tobat. Sekarang dia tidak lagi duduk di depan lapak. Sekarang dia menjual jasa. Pekerjaan yang halal. Justru itu, dia ingin mengingatkan orang lain agar tidak berjudi. Orang yang diingatkannya, termasuk saya.
“Jadi, jangan coba-coba”.
Namun saya lupa bertanya mengapa dan bagaimana dia bisa insyaf.
Lepas mengingatkan agar jangan berjudi, dia juga mengingatkan Melayu juga jangan sampai jadi Bandar judi.
“Kalau Melayu jadi Bandar, pasti pok”.
Pok, maksudnya, bangkrut.
Lagi-lagi larangan itu tidak berkaitan dengan prinsip agama. Tapi, pengalaman.
Menurutnya, orang Melayu tidak punya bakat jadi Bandar. Untuk menjadi Bandar, selain punya uang, juga punya akal dan jaringan. Jaringan itu, meliputi jaringan sesama penjudi untuk mengelabuhi pemain baru, jaringan preman untuk menjaga kemungkinan ada pemain yang ‘nakal’, maupun jaringan keamanan agar para penjudi aman dan nyaman saat menghadap lapak. Tidak takut ditangkap.
Katanya, seorang Bandar harus pacak dalam mengelola jaringan itu. Seorang Bandar harus licin bermain di antara koneksinya.
“Tapi, orang Melayu tidak akan mampu dalam soal ini. Lihatlah, Bandar-bandar Melayu mana ada yang lama. Sebentar sudah pok”.
Lalu dia menyebutkan beberapa nama orang Melayu yang pernah mencoba menjadi Bandar. Saya suka sekali mendengar teorinya. Bagi saya pendapatnya ini baru, dan mencerminkan perspektif orang awam mengenai lagi-lagi identitas etnik. Saya takjub dengan logikanya, sekalipun ingin membantahnya.
Saya menganggap dia sebagai orang yang hebat. Hebat dengan pengalaman. Dan pengalaman itu, sesuai dengan kepercayaan saya: berjudi memang dilarang dalam Islam. Apapun alasannya, jangan coba-coba!


Baca Selengkapnya...