Minggu, 31 Januari 2010

HP Anak Sekolah

Oleh: Yusriadi
Kisah anak SMAN 7 Pontianak yang kedapatan melihat adegan asusila di HP, mengingatkan saya pada pengalaman seorang teman.
Teman menceritakan, anaknya yang berusia 11 tahun, sudah melihat adegan seperti itu dan mencontohkan cara orang “mendesah-desah”. Anak umur segitu itu melihat adegan tersebut di HP teman sekolah saat mereka istirahat.
“Kaget saya mendengarnya,” aku teman.
Dia kaget, saya juga kaget. Bayangkan anak usia 11 tahun melihat adegan itu lewat HP, di sekolah lagi!
Mengapa ada siswa usia SD bisa membawa HP ke sekolah? Mengapa ada siswa SD bisa menyimpan gambar begitu di HP mereka?
Setahu saya, banyak sekolah dasar yang melarang siswa membawa HP. Ada razia. Sekolah tempat anak teman belajar juga ada peraturan itu. Tapi kok bisa?
Rupanya, saat razia siswa itu menitipkan HP mereka kepada pemilik warung Kadang juga HP disimpan di lemari di dalam kelas. Kadang juga disimpan di pot bunga. Siswa tersebut menyimpan HP-nya di tempat yang tidak terjangkau perhatian guru. Saya mendengar cerita ini dengan takjub. Sungguh anak yang hebat. Anak itu lebih hebat dari guru. Anak itu dapat mengecoh guru mereka. Anak itu lebih pintar dan panjang akal dibandingkan guru mereka.
Kalau sudah begini keadaannya, ini bukan salah guru. Bukan salah sekolah. Mereka sudah berusaha membuat aturan dan menegakkan aturan.
Lalu, jika begitu, ini masalah siapa? Saya anggap, dalam kasus anak SD yang menyimpan film tidak senonoh di HP mereka, ini masalah orang tua. Pertama, orang tua yang memberikan uang untuk membeli HP. Kedua, orang tua yang pasti ikut memilih atau paling tidak merestui jenis HP yang dipilih. Orang tua yang memilih membeli HP yang bagus sehingga alat itu berfungsi lebih dari sekadar untuk menerima dan menelepon. Fasilitas yang memungkinkan membuat anak dapat menyimpan file memuat gambar asusila.
Jadi, seharusnya, jika orang tua benar-benar memperhatikan pendidikan dan masa depan anak mereka, orang tua seharusnya merasa bertanggung jawab untuk mengontrol isi HP anak mereka. Orang tua seharusnya juga memastikan HP yang dibelikan untuk anaknya digunakan hanya untuk hal yang positif.
Sesungguhnya bukan saja soal isi HP, orang tua juga selayaknya mengontrol atau paling tidak tahu, siapa yang menghubungi dan dihubungi anak mereka. Bahkan jika mungkin, tidak saja panggilan keluar masuk, SMS yang keluar masuk juga sesekali dipantau oleh mereka.

***
Saya jadi teringat ketika beberapa waktu lalu saya bertemu dengan anak seorang teman yang sekarang menjadi kepala sekolah, sebuah sekolah agama.
Anak itu duduk di kelas 2 sekolah menengah. Hari itu, ketika saya sedang belanja di warung saya melihat anak itu juga datang ke warung. Dia menenteng HP-nya. Saya mengenal HP jenis itu disebut HP Pisang. Ya, karena bentuknya seperti pisang, agak melengkung.
Saya penasaran melihatnya.
“Woi, HP-nya bagus benar”.
Anak itu tersenyum mendengar saya memujinya. Lalu saya bertanya pada dia berapa harganya. Dia menyebutkan harga.
“HP bekas bah”.
“O, bekas?”
“Coba lihat”.
Dia menyerahkan HP-nya. Saya mengambil dan mengutak-atik tombolnya. Saya melihat isi folder. Lalu masuk lagi ke gambar-gambar dalam folder itu.
Alamak! Saya kaget ternyata di folder itu ada banyak gambar perempuan dengan setengah telanjang.
“Ya ampun…. Kamu simpan gambar begini???”
Anak itu nampak gugup ketika mendengar suara saya meninggi. Dia gagap.
Dia menceritakan gambar yang ada di folder itu memang sudah ada sejak awal. Gambar itu koleksi pemilik HP sebelumnya. Bukan dia yang memasukkan.
“Dihapus ya. Kalau ndak saya beritahu bapak nanti”.
Saya meminta begitu, karena saya khawatir, anak tersebut akan ngiler melihat hal seperti itu. Mungkin, nanti malah pengin melihat gambar hidup. Saya khawatir dia terjerumus; saya khawatir dia gagal melanjutkan pendidikan. Dia anak teman saya, karena itu saya merasa harus mengingatkannya – sekalipun nampak sedikit usil.
Anak itu mengambil HP yang saya kembalikan. Dia (sepertinya) menghapus beberapa gambar perempuan cantik itu. Entah dihapus semua, entah tidak.
Kejadian ini, kisah anak SD dan kisah siswa SMAN 7, mengingatkan saya betapa lemahnya kontrol orang tua, terhadap anak mereka. Betapa orang tua kurang dapat mengontrol prilaku anak mereka. Orang tua tidak mungkin menyerahkan kontrol prilaku dan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah, karena kemampuan sekolah juga terbatas. Waktu sekolah bersama anak juga terbatas.
Kejadian ini sekaligus juga mengingatkan kita bahwa ke depan pihak sekolah tidak boleh berhenti melakukan kontrol terhadap HP siswa mereka – tentu saja melakukan kontrol dengan cerdas sehingga tidak ‘diketawain’ siswa yang nakal.
Jangan pernah bosan!



0 komentar: