Senin, 25 Januari 2010

“Laku Tiga Buti’”

Oleh: Yusriadi

Duh, malangnya! Kasihan.
Kata itu tercetus seketika dalam pikiran, ketika saya mendengar seorang perempuan paroh baya melaporkan jumlah kuenya yang laku terjual hari itu kepada pemilik warung di kawasan Purnama, Pontianak.
Saya mendengar percakapan mereka tanpa sengaja. Ya, sore kemarin mengunjungi teman yang tinggal di sebuah gang di Jalan Purnama Pontianak. Teman itu membuka warung sembako. Usahanya sekarang nampak besar.


Saya tahu bagaimana dia memulai usaha. Modalnya kecil. Tempatnya sederhana. Rumah murah yang mereka beli. Lokasinya memang pas di persimpangan gang.
Mereka merangkak dan berusaha keras. Beberapa tahun kemudian, usaha itu maju. Sangat maju. Mereka membesarkan rumah dan mendesainnya khusus untuk tempat berdagang. Jika dahulu sang suami belanja dengan motor ke pasar setiap pagi, sekarang, dia ke pasar pakai pikup sendiri.
Nah, karena maju, warung ini juga menjadi tempat penitipan kue-kue buatan ibu-ibu rumah tangga. Saya lihat sore kemarin, ada nagasari, ada bakwan, kroket, klepon, dan lain-lain. Kue-kue ini diletakkan di atas meja di bagian kiri warung. Setiap pagi, ibu-ibu menitipkan kue di sini. Lalu, sore mereka mengambilnya.
Seperti juga sore kemarin.
Saat saya berbicara dengan teman itu, seorang ibu paroh baya datang. Dia menggunakan sepeda dengan keranjang di depan. Di dalam keranjang itu ada beberapa bungkusan plastik. Dia mengambil tempat bakwan dan kroket dari atas meja. Lalu, dia menghitung isinya. Tidak ada suara. Hanya mulutnya yang bergerak. Ekspresinya menyiratkan kekecewaan.
“Tiga”.
“Tiga?”
Saya nimbrung. “Tiga? Lakunya tiga?”
“Iya. Lakunya cuma tiga”.
Saya terperangah. Sedikit amat.
“Ndak rugi?”
Teman saya tertawa.
“Ya, begitulah resikonya”.
“Jangankan untung, bisa-bisa modal habis,” saya menyampuk.
“Lalu kuenya diapakan?”
Ibu pemilik kue tidak menjawab. Saya tidak mengulangi pertanyaan. Tidak ingin Nampak mendesak. Sekalipun sebenarnya saya ingin tahu.
“Nanti masuk koran, Bu,” teman saya bercanda.
Kami melupakan tema kue yang tidak laku. Ibu pemilik kue meninggalkan warung. Kembali bicara soal kegiatan masing-masing. Tukar cerita. Maklum sudah lama tidak bertemu. Sesekali pembicaraan terputus karena dia harus melayani pembeli.
Tak lama kemudian, seorang ibu datang menghampiri meja tempat kue diletakkan. Dia mengambil piring plastic tempat kue nagasari. Saya melihat di dalam piring itu ada tiga bungkus daun pisang.
“Empat”.
Suara ibu itu terdengar agak nyaring. Maksudnya ada 4 kue yang laku.
Berselang lima menit setelah itu, seorang ibu lain yang nampaknya masih lebih muda, mengambil kue. Klepon. Dia menghitung isi klepon dalam plastic.
“Lima”.
Dia menyebutkan jumlah yang laku.
Sungguh malang. Tapi mau apa, begitulah sudah kenyataannya.
“Memang sekarang kue-kue lagi payah. Musim buah bah,” kata teman.
Benar, kue-kue memang payah. Payah laku. Peminatnya kurang. Pembuatnya, membuat dengan susah payah. Dengan modal uang untuk membeli bahan dan modal tenaga. Mereka mau berusaha.
Tetapi, saya tidak ada bayangan, bagaimana jika usaha mereka terus menerus payah. Pasti modal akan hangus. Pok. Kalau mereka pok, matilah riwayat kue-kue tradisional. Kue buatan ibu-ibu itu akan jadi kenangan.
Bisakah mereka dibantu? Tiba-tiba saya teringat Visit Kalbar Years 2010. Seharusnya ini kesempatan mengangkat dan mempromosikan kue-kue lokal. Ini saatnya membantu ibu rumah tangga yang mau berusaha untuk kehidupan mereka, rumah tangga mereka dan anak-anak mereka.
Tetapi bagaimana caranya? Saya masygul. Saya belum menemukan jawabannya. Mudah-mudahan pemerintah dan para wirausahawan menemukan caranya.


1 komentar:

Unknown mengatakan...

lebih diperhatikan untuk pemilipem tempat penjualan,harga barang, kualitas pelayanan da promosi agar pemebeli banyak yang datang dan setia