Senin, 11 Januari 2010

“Melayu Jangan Berjudi”

Oleh Yusriadi


“Melayu jangan berjudi”.
Nasehat itu masih terngiang di telinga saya, meskipun saya mendengarnya sudah lebih dua bulan lalu. Saya terkesan pada nasehat itu, pada kalimat itu, karena kata-kata itu mengingatkan saya pada seorang lelaki tua penjual jasa di pinggir jalan di kawasan Sungai Jawi, Pontianak.




Sejujurnya, kalau yang diingatkan itu saya sebagai muslim, mungkin saya tidak akan terkesan. Yang beliau ingatkan itu ‘Melayu’. Saya dianggapnya Melayu, setelah dia tahu saya beragama Islam. Saya tidak membantahnya, sebab memang di kalangan sebagian besar masyarakat lokal: pribumi Islam sama dengan Melayu.
Lha, mengapa Melayu tidak boleh berjudi? Selama ini saya beranggapan, etnik dan prilaku tidak berkaitan. Etnik hanyalah salah satu pilihan identitas. Sedangkan prilaku dibentuk oleh lingkungan. Saya juga beranggapan, kalau bisa, semua etnik jangan berjudi. Bukan Melayu saja.
Mengapa lelaki tua itu berkesimpulan begitu? Sangat menarik.
Selain itu, kalau yang mengingatkan saya jangan berjudi itu seorang ustadz, penceramah, rasanya, pasti saya tidak akan merasa terkesan. Biasa saja. Larangan itu sering saya dengar. Judi memang haram. Dalilnya jelas. Tidak ada perdebatan soal itu.
Namun, ini, yang memberi saya nasehat, orang pinggir jalan. Orang yang tidak menggunakan pendekatan agama. Saya terkesan karena dia mengingatkan itu dengan pendekatan lain: pendekatan pengalaman. Larangan itu terumuskan dari pelajaran hidup yang telah dia jalani.
Sebenarnya saya kebetulan saja bertemu dengan lelaki tua itu. Saat itu saya menunggu hujan reda di sebuah ruko di Sungai Jawi, Pontianak.
Mula-mula dia menceritakan bahwa dia pernah ketagihan bermain judi, sewaktu muda dahulu. Mungkin kira-kira tahun 1980. Setiap hari. Dia tidak perduli pada rumah tangga. Pada kerja. Malah sebaliknya judi membuat rumah tangganya berantakan. Harta habis. Perhiasan istri tergadai.
Tak bisa meminta baik-baik, dia menipu istrinya. Berbohong.
Dia pernah didatangi istrinya, dipukul dengan sandal, di depan orang banyak. Waktu itu istri kesal sebab dia mengambil uang belanja. Kerjanya mirip-mirip mencuri – yang dicuri uang belanja istri. Meskipun dia dipukul di depan orang banyak, namun dia tidak merasa malu, sedikitpun.
“Judi membuat kita tidak ada malu lagi. Jahat betul kalau sudah ketagihan,” akunya.
Dia sangat yakin bahwa judi tidak akan membuat orang kaya, sekalipun sesekali ada menangnya. Kemenangan menurutnya hanya pancingan agar nafsu berjudi bertambah, meningkat. Judi menguras harta, bukan menambah harta.
Sekarang dia sudah tobat. Sekarang dia tidak lagi duduk di depan lapak. Sekarang dia menjual jasa. Pekerjaan yang halal. Justru itu, dia ingin mengingatkan orang lain agar tidak berjudi. Orang yang diingatkannya, termasuk saya.
“Jadi, jangan coba-coba”.
Namun saya lupa bertanya mengapa dan bagaimana dia bisa insyaf.
Lepas mengingatkan agar jangan berjudi, dia juga mengingatkan Melayu juga jangan sampai jadi Bandar judi.
“Kalau Melayu jadi Bandar, pasti pok”.
Pok, maksudnya, bangkrut.
Lagi-lagi larangan itu tidak berkaitan dengan prinsip agama. Tapi, pengalaman.
Menurutnya, orang Melayu tidak punya bakat jadi Bandar. Untuk menjadi Bandar, selain punya uang, juga punya akal dan jaringan. Jaringan itu, meliputi jaringan sesama penjudi untuk mengelabuhi pemain baru, jaringan preman untuk menjaga kemungkinan ada pemain yang ‘nakal’, maupun jaringan keamanan agar para penjudi aman dan nyaman saat menghadap lapak. Tidak takut ditangkap.
Katanya, seorang Bandar harus pacak dalam mengelola jaringan itu. Seorang Bandar harus licin bermain di antara koneksinya.
“Tapi, orang Melayu tidak akan mampu dalam soal ini. Lihatlah, Bandar-bandar Melayu mana ada yang lama. Sebentar sudah pok”.
Lalu dia menyebutkan beberapa nama orang Melayu yang pernah mencoba menjadi Bandar. Saya suka sekali mendengar teorinya. Bagi saya pendapatnya ini baru, dan mencerminkan perspektif orang awam mengenai lagi-lagi identitas etnik. Saya takjub dengan logikanya, sekalipun ingin membantahnya.
Saya menganggap dia sebagai orang yang hebat. Hebat dengan pengalaman. Dan pengalaman itu, sesuai dengan kepercayaan saya: berjudi memang dilarang dalam Islam. Apapun alasannya, jangan coba-coba!


0 komentar: