Jumat, 09 April 2010

Ntawak Mate

Oleh: Yusriadi

Ketika Pak Paimun, kepala SMA Negeri 1 Kembayan mempromosikan kampung Ntawak Mate, saya menanggapinya dengan antusias. Kami (saya dan Ibrahim, dosen STAIN Pontianak) memang ingin mengunjungi kampung Dayak di sekitar Kembayan.
“Terlanjur sudah jalan begini, kami ingin jalan juga ke kampung orang Dayak”.
Menurut Pak Paimun, kampung Dayak ini unik karena masih mempertahankan kepercayaan lama. Salah satu kepercayaan mereka yang beliau sebutkan adalah kepercayaan pada kekeramatan ular sawa’. Katanya, ada ular sawa’ besar di kampung ini. Tidak boleh diganggu.



Beliau membantu mengatur perjalanan kami ke sana. Dundok, S.Pd dan Kuari, SP, guru muda di SMA Kembayan yang diminta menjadi penunjuk arah. Dundok asal kampung Tanap, sebuah kampung beberapa kiloa meter sebelum Kembayan dari arah Pontianak. Tanap terletak di pinggir jalan raya ke Entikong, perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak.
“Dundok tahu bahasa di sana. Bahasa di sana sama dengan bahasa dia”.
Saya menyetujui pilihan Pak Paimun. Sangat baik memang membawa teman yang mengerti bahasa penduduk kampung yang akan dikunjungi. Dia bisa menjadi ahli bahasa. Biasanya pendamping seperti ini sangat diperlukan dan sangat membantu.
Sedangkan Kuari, teman dekat Dundok. Kata Dundok, Kuari suka berkunjung ke kampung-kampung.
Ternyata pada saat hari keberangkatan, orang yang ikut berkunjung ke Ntawak Mate bertambah. Ada 6 guru SMA N 1 Kembayan, 1 guru PGRI dan 1 guru SMA Noyan, yang ikut. Selain Dundok dan Kuari, dalam rombongan itu ada Husna, Ahmat, Arifin, Edi, Darto, dan Yanto.
Saya kira ini kunjungan yang luar biasa. Saya menyebutnya ekspedisi Guru SMA N 1 Kembayan. Kuari yang memboncengi saya sempat tertawa mendengarnya.
Konvoi motor kami melalui jalan beraspal ke arah Balai Sebut. Jalannya, semula beraspal. Namun sekarang di sana sini aspalnya rontok. Maklum, aspalnya tipis benar. Saya tidak tahu apakah aspal tipis ini karena proyeknya kejar panjang jalan, atau kontraktornya yang mau cari untung besar dan pengawasnya setali tiga uang. Karena aspalnya banyak yang sudah terkelupas, akhirnya jalan ini lebih mirip jalan tanah campur batu. Jalan pekerasan. Ini pula yang menyebabkan jalan ini agak berdebu.
Tetapi, jalan begini masih lumayan. Karena kemudian, setelah melalui kampung Terusan, jalannya bukan lagi jalan raya yang begitu. Jalannya jalan setapak.
Ya, motor kami melalui jalan setapak. Kiri kanan semak belukar. Motor kami melalui sungai yang sebagiannya tidak ada jembatan. Nyebur ke sungai melalui bagian sungai yang dangkal. Yang paling mengesankan, kami melalui beberapa bagian dari jalan sekeping papan.
Saya merasa ‘sejuk pantat’ ketika motor melintas di atas kepingan papan itu. Bayangkan jika terpeleset. Uh, calar-calar mesti. Kalau nahas mungkin melepuh kaki terkena knalpot atau patah tulang tertimpa motor. [Ketika pulang motor Husna dan Ahmad sempat terpeleset dan mereka hampir menabrak rumpun bamboo].
Tapi untung, Kuari cukup pacak membawa Kingnya di jalan sekeping papan ini. Kala hampir terpeleset, kakinya yang panjang dapat menjadi tongkat motor.
Hanya saja motor Kuari menyerah ketika naik di tanjakan yang saya kira panjangnya lebih 500 meter dengan kemiringan antara 40-50 derajat. Saya terpaksa loncat dari motor dan menahan motor agar tidak mundur.
“Knalpotnya mau dicuci,” kata Kuari pasal motornya yang tak mampu mendaki bukit.
Perjalanan di medan yang berat memang sepala dengan ‘hasil’ kunjungan. Saya merasakan kunjungan kami luar biasa. Syukurlah berkesempatan datang ke Ntawak Mate.
Ya, kampung ini masih terisolir. Terpencil. Pengangkutan susah. Pasti kunjungan orang ke tempat ini juga jarang. Dari 8 orang local dalam rombongan kami, hanya Edi yang pernah datang ke sini. Yang lain, mengaku inilah kunjungan yang pertama. Bayangkan! Padahal, Ntawak Mate tidak jauh-jauh amat dari Kembayan.
Alhasil, karena itulah orang di sini tertutup dari orang luar.
Kampung ini juga memperlihatkan sentuhan pembangunan yang minim. Ada jembatan panjang yang menghubungan dua bagian kampung. Ada bangunan sekolah tiga local yang baru selesai direhab. Jalan-jalan kampung masih jalan tembok dicangkul. Keadaan kampung belum tertata. Saya juga terkesan ketika melihat begitu banyak babi berkeliaran. Beberapa di antara babi itu mendengus-dengus mendekati rombongan kami.
Saya meyakini tipikal masyarakat yang jarang bersentuhan dengan orang luar ketika melihat mereka, orang-orang kampung, sangat antusias melihat kedatangan kami.
Penduduknya sangat ramah. Sayangnya, karena mereka lebih banyak dengan bahasa local yaitu bermate-mate –salah satu bahasa dalam kelompok bahasa Bidayuh, saya jadi kurang nyambung.
Namun demikian, kunjungan ini telah menambah wawasan kami mengenai ada kampung di pinggiran dunia modern yang masih berkutat pada keterbelakangan. Kunjungan ini mengingatkan saya bahwa pemerintah masih harus lebih banyak berusaha memperhatikan semua rakyatnya, bukan hanya rakyat di perkotaan.


2 komentar:

Peynanda mengatakan...

Mantaaabbb....Kapan-kapan jalan-jalan lagi pak Yus

Yusriadi mengatakan...

Pak Darto ... Thanks atas apresiasinya. Iya, tentu. Kapan2 kita harus jalan lagi. Ada saran tempat mana yang kita kunjungi?