Sabtu, 01 Mei 2010

Tak Bisa Khutbah

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Saya mendapat pengalaman menarik beberapa hari lalu. Hari itu, saya sedang bicara dengan seorang teman yang bekerja di kantor Kementerian Agama. Mulanya kami bicara tentang persiapan menjelang pekan olahraga daerah Kementerian Agama (Porda Depag) Kalbar yang akan digelar Juni mendatang di Singkawang. Kami membicarakan persiapan masing-masing. Maklum, dia termasuk salah satu pemain andalan lembaga ini.
Panjang cerita, banyak kisah, kami cerita soal kegiatan hari Jumat.
“Abang ni, kalau Jumat pasti sibuk,” saya menyampuknya.
“Mane pula’. Biasa jak”.
“Takkan pula’. Jumat ini baca khutbah di mane?”
“Baca khutbah? Ndak pernah saye”.
Nah, ini yang membuat saya terkejut. Dalam bayangan saya, dia pasti memiliki banyak jadwal khutbah. Maklum, level penghulu. Lagi, dilihat dari caranya bicara, saya kira dia memiliki isi yang memadai.
Memang saya mengenalnya sedikit. Dia, seorang guru agama. Pengalamannya mengajar sudah banyak. Belasan tahun dia menjadi guru di madrasah ibtidaiyah.
Beberapa tahun lalu dia mengajukan pindah ke bagian administrasi di kantor Kementerian Agama. Di kantor ini dia menjadi staf kepala kantor urusan agama. Salah satu pekerjaannya menikahkan orang dan menulis surat nikah orang.
Nah, kalau sekelas seorang tukang nikah mengaku tidak bisa baca khutbah, tentu orang tidak akan percaya. Seorang tukang baca nikah boleh dikategorikan orang pilihan. Di kampung, mereka disebut penghulu. Penghulu pasti termasuk tokoh masyarakat. Kalau ada undangan mereka pasti duduk di kepala shaf, dan memimpin pembacaan doa.
“Saya pernah dimarahkan pengurus masjid karena saya menolak ketika diminta menjadi khatib”.
Dia menceritakan pengalamannya. Kala itu dia hadir dalam kegiatan silaturahmi dengan pengurus masjid. Dia mewakili kepala kantor menyampaikan beberapa patah kata; kata sambutan.
Usai kegiatan, pengurus masjid mendatanginya dan minta dia menjadi khatib di masjid itu.
“Saya tolak. Saya katakan, saya tidak bisa baca khutbah”.
Pengurus masjid tentu saja tidak percaya. Sebaliknya, pengurus masjid menyangka dia tidak mau ‘menolong’, tidak mau membagi ilmu pengetahuan, dll. Ujung-ujung, dia mendapat ceramah dari pengurus masjid itu, tentang pentingnya berdakwah dan berbagi ilmu.
“Saya diam jak. Apa yang dia katakan itu betol”.
“Lalu mengapa abang tak mau juga?”
Dia mengaku bingung kalau mau menceramahi orang. Bingung mencari tema apa yang harus disampaikan. Menurutnya, kalau mau ceramah temanya harus tepat dan sesuai. “Yang paling penting adalah sesuai dengan perbuatan kita. Sementara saya, masih banyak kekurangannya. Kononnya nak nceramahkan orang”.
“Tapi, kadang khan juga beri nasehat untuk orang yang mau nikah. Itu gimana?”
“Ya, nasehat gitu-gitulah. He.. he..”
Saya ikut tertawa juga. Tertawa karena gayanya waktu itu yang lucu.
Saya kira apa yang dia katakan itu benar adanya. Sangat berat tanggung jawab orang yang menceramahi orang lain. Jadi, biar tidak terlalu berat, memang sebaiknya memulai dan berusaha dari diri sendiri, dan keluarganya. Kalau sudah beres, barulah mengajak orang lain. Bukan sebaliknya, mengajak orang lain dahulu sedangkan diri dan anak istri berantakan.
Tapi… buru-buru saya ingat; kita juga diingatkan untuk saling mengingatkan. Kalau tidak saling mengingatkan, kita sering kali lupa. Justru, sikap saling mengingatkan merupakan bagian penting dari kehidupan bermasyarakat.
Lalu?

Baca Selengkapnya...

Menunggu Musim Ngkabang

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

“Musim ngkabang” (tengkawang) tahun ini di kampung saya Riam Panjang, sudah berakhir. Buah yang ada sudah luruh, semuanya. Buah-buah itu sudah disalai dan dikeluarkan dari cangkangnya. Sudah ditimbang dan dilego kepada pengumpul. Hasilnya pun sudah dinikmati.


Hanya, hasil yang dinikmati musim ini tidak besar-besar amat. Seperti yang sudah-sudah, harga buah ngkabang selalu turun. Selalu, di awal musim, harganya bagus. Di akhir musim, harganya anjlok. Menurut masyarakat, harga begini tergantung nasib. Jika nasib baik, dapatlah petani harga bagus. Jika nasib tidak baik, petani kena harga jelek. Entah!
Tetapi, bagaimanapun harga ngkabang itu, petani tidak pernah ketiban sial, yang benar-benar sial. Tidak, karena mereka tetap dapat memperoleh uang lumayan dari penjualan. Cuma, kalau harganya turun sampai separoh dari harga awal musim, berarti untungnya tidak banyak, tidak maksimal.
Jadi, pada prinsipnya mereka tetap untung. Ngkabang merupakan asset penting dalam kehidupan mereka. Masyarakat menganggap musim ngkabang sebagai musim “uang mudah”. Karena itulah musim ngkabang selalu menjadi musim yang paling ditunggu-tunggu dalam masyarakat di kampung.
Dahulu, saya masih ingat orang kampung bergurau-gurau:
“Aku ngami’ dulu’ bah, mayar pagi, nungu’ ngkabang jatu’”. (Aku ambil dahulu (utang). Membayarnya besok, menunggu buah tengkawang jatuh).
Ya, kalau sudah musim ngkabang orang memang makmur. Masyarakat memiliki pendapatan tambahan yang besar.
Waktu kecil, waktu musim ngkabang kami bisa sedikit royal. Kami bisa makan indomie dua atau tiga kali sehari. Dahulu, di tahun 1980-an, kami, anak-anak kampung mengukur kemakmuran kami dengan indomie. Indomie –jenis apa saja mie disebut begitu, adalah makanan elit. Mewah. Kalau kami punya uang, kami lebih suka membeli indomie dan memakannya begitu saja tanpa dimasak. Kalaupun dimasak, indomie hanya dimasukkan ke dalam mangkok, lalu dituangkan air panas, kasih bumbu, lalu …dilahap.
Ngkabang memang mendatangkan berkah bagi kami. Bayangkan jika satu kilo ngkabang mentah (ngabang tolu’) harganya Rp1500, dan dalam satu hari satu keluarga bisa dapat minimal 100 kilo, berarti, satu hari bisa memperoleh pemasukan hingga mencapai Rp150.000. Bandingkan dengan hari biasa, dari menoreh getah rata-rata orang hanya bisa mendapatkan sekitar Rp 30.000,-
Tetapi, itu dahulu. Sekarang dengar-dengar, keadaannya sudah agak beda. Walaupun ngkabang masih dapat diandalkan, namun, perolehan masing-masing orang sudah menyusut. Jumlah pohon ngkabang sudah jauh berkurang. Pohon-pohon besar yang ukurannya dua pelukan orang dewasa, sudah banyak yang ditebang. Batangnya dijual, digesek untuk bahan bangunan, dll. Papan, balok tengkawang, lumayan juga harganya. Peminatnya juga banyak karena jenis kayu ini cukup kuat – asal tidak kena hujan.
Sudah banyak areal yang dahulu ditanami ngkabang, sekarang menjadi tempat ladang atau diganti tanaman karet.
Selain itu, sekarang, orang-orang di kampung sudah banyak. Masing-masing sudah beranak pianak, bercucu-cicit. Semua ikut panen ngkabang ini’ ayi (nenek datok)-nya. Pertambahan penduduk kampung memang cukup drastis. Tahun 1980-an jumlah penduduk masih sekitar 300 orang. Tahun 2000-an jumlah penduduk sudah hampir 1000 jiwa.
Malangnya, walaupun penduduk bertambah, namun luas kebun ngkabang tidak bertambah, malah menyusut.
Saya membayangkan, 10 atau 20 tahun ke depan, ngkabang pasti semakin tidak dapat diandalkan. Mungkin 50 tahun yang akan datang “musim ngkabang” tidak akan ada lagi. Mungkin pada waktu itu, tak ada lagi musim “uang mudah” yang bisa ditunggu orang.
Siannye generasi cucu kami itu.

Baca Selengkapnya...

Petugas Statistik

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Siang itu, beberapa hari lalu, saya tidur di atas kursi di depan pintu. Saya memilih tidur di situ karena itulah tempat yang paling enak untuk rehat dalam cuaca “panas bedengkang” seperti sekarang. Di depan pintu banyak angin, jadi lebih sejuk.
Saya terjaga dari tidur karena tiba-tiba seseorang berdiri di depan pintu. Suara dia mengucapkan salam membangunkan saya. Dalam keadaan “bangun tekejot”, saya duduk. Pandangan saya masih agak nanar. Saya melihat dia mengenakan baju putih, celana hitam, topi biru dan membawa tas. Saya kira, dia seorang sales. Sales biasa berpakaian seperti itu.


Tapi, sebelum saya bertanya dia sudah lebih dahulu memperkenalkan diri.
“Saya petugas statistik”.
Ah, saya ingat, bulan Mei ini memang akan dilakukan sensus penduduk. Spanduknya sudah terpasang di mana-mana.
Bahkan, malam sebelumnya, saya sempat omong-omong dengan seorang keluarga saya yang menjadi petugas sensus di Kubu Raya, bahwa mereka akan melakukan sensus minggu depan. Dia juga bilang ada beberapa tempat, petugas sudah turun melakukan listing.
Saya mempersilakan petugas sensus itu masuk. Namun, dia seperti maju mundur. Enggan. Entahlah mengapa. Mungkin dia enggan membuka sepatu, atau dia terburu-buru. Tapi akhirnya dia masuk juga.
Setelah dia duduk, dia membuka filenya. Lalu dia bertanya tentang jumlah orang yang tinggal di rumah ini, dan juga bertanya jenis kelamin; berapa lelaki dan berapa perempuan.
Saya sempat ragu menjawab pertanyaannya itu. Ragu karena apakah saya harus mengatakan penghuni rumah kami ada 6 orang atau 8 orang. Jika 8 orang, itu berarti termasuk bapak dan emak yang beberapa minggu ini ada di rumah.
Setelah dia mengatakan bahwa yang dimaksud adalah orang yang tinggal menetap sudah lebih dari 6 bulan, barulah saya jelas. Untuk kategori ini, di rumah saya ada 6 orang.
Setelah pertanyaan itu, dia kemudian mencatat angka pada stiker.
“Izin nempel ini ya”.
Saya mempersilakan dia memilih di tempat untuk memasang stiker itu. Tak ada masalah. Dia memilih menempel stiker di samping kanan pintu. Setelah itu, dia pamit.
“Nanti saya datang lagi,” katanya.
Setelah dia pergi saya jadi teringat kasus BPS dahulu. BPS pernah melakukan sensus penduduk tahun 2000. Dalam item pertanyaan itu, ada pertanyaan tentang etnis. Responden ditanya: Suku apa? Jawaban yang diberikan macam-macam – sesuai dengan pengakuan masing-masing.
Data itu kemudian dipublikasikan tahun 2001. Malangnya, ketika data itu dipublikasikan, kelompok masyarakat tertentu ribut. Data BPS tentang etnik dianggap menghilangkan etnik tertentu. BPS kena hukum adat capak mulut. Majalah Kalimantan Review membuat liputan tentang ini cukup lengkap.
Mengapa tiba-tiba saya ingat kasus ini? Saya ingat karena kemungkinan serupa bisa saja terjadi kali ini. Sepanjang BPS tidak melakukan pembenahan.
Ya, BPS harus melakukan pendataan sebaik mungkin. Petugas-petugas yang mereka rekrut seharusnya adalah orang-orang yang terlatih dan orang yang dapat menerapkan standar pelaksanaan sensus dengan baik.
Sebelum turun lapangan mereka harus mendapatkan bekal pengetahuan yang cukup untuk kepentingan mereka di lapangan.
Mereka, tidak cukup hanya mencekles atau mencatat data dari responden di tiap-tiap rumah, tetapi juga mengerti apa yang mereka tanyakan dan mengerti juga data apa yang diharapkan dari pertanyaan itu.
Saya yakin, pemahaman ini akan membantu BPS memperolehan data standar, data yang dapat diolah dengan pendekatan standar, dan data yang tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari.

Baca Selengkapnya...