Sabtu, 01 Mei 2010

Menunggu Musim Ngkabang

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

“Musim ngkabang” (tengkawang) tahun ini di kampung saya Riam Panjang, sudah berakhir. Buah yang ada sudah luruh, semuanya. Buah-buah itu sudah disalai dan dikeluarkan dari cangkangnya. Sudah ditimbang dan dilego kepada pengumpul. Hasilnya pun sudah dinikmati.


Hanya, hasil yang dinikmati musim ini tidak besar-besar amat. Seperti yang sudah-sudah, harga buah ngkabang selalu turun. Selalu, di awal musim, harganya bagus. Di akhir musim, harganya anjlok. Menurut masyarakat, harga begini tergantung nasib. Jika nasib baik, dapatlah petani harga bagus. Jika nasib tidak baik, petani kena harga jelek. Entah!
Tetapi, bagaimanapun harga ngkabang itu, petani tidak pernah ketiban sial, yang benar-benar sial. Tidak, karena mereka tetap dapat memperoleh uang lumayan dari penjualan. Cuma, kalau harganya turun sampai separoh dari harga awal musim, berarti untungnya tidak banyak, tidak maksimal.
Jadi, pada prinsipnya mereka tetap untung. Ngkabang merupakan asset penting dalam kehidupan mereka. Masyarakat menganggap musim ngkabang sebagai musim “uang mudah”. Karena itulah musim ngkabang selalu menjadi musim yang paling ditunggu-tunggu dalam masyarakat di kampung.
Dahulu, saya masih ingat orang kampung bergurau-gurau:
“Aku ngami’ dulu’ bah, mayar pagi, nungu’ ngkabang jatu’”. (Aku ambil dahulu (utang). Membayarnya besok, menunggu buah tengkawang jatuh).
Ya, kalau sudah musim ngkabang orang memang makmur. Masyarakat memiliki pendapatan tambahan yang besar.
Waktu kecil, waktu musim ngkabang kami bisa sedikit royal. Kami bisa makan indomie dua atau tiga kali sehari. Dahulu, di tahun 1980-an, kami, anak-anak kampung mengukur kemakmuran kami dengan indomie. Indomie –jenis apa saja mie disebut begitu, adalah makanan elit. Mewah. Kalau kami punya uang, kami lebih suka membeli indomie dan memakannya begitu saja tanpa dimasak. Kalaupun dimasak, indomie hanya dimasukkan ke dalam mangkok, lalu dituangkan air panas, kasih bumbu, lalu …dilahap.
Ngkabang memang mendatangkan berkah bagi kami. Bayangkan jika satu kilo ngkabang mentah (ngabang tolu’) harganya Rp1500, dan dalam satu hari satu keluarga bisa dapat minimal 100 kilo, berarti, satu hari bisa memperoleh pemasukan hingga mencapai Rp150.000. Bandingkan dengan hari biasa, dari menoreh getah rata-rata orang hanya bisa mendapatkan sekitar Rp 30.000,-
Tetapi, itu dahulu. Sekarang dengar-dengar, keadaannya sudah agak beda. Walaupun ngkabang masih dapat diandalkan, namun, perolehan masing-masing orang sudah menyusut. Jumlah pohon ngkabang sudah jauh berkurang. Pohon-pohon besar yang ukurannya dua pelukan orang dewasa, sudah banyak yang ditebang. Batangnya dijual, digesek untuk bahan bangunan, dll. Papan, balok tengkawang, lumayan juga harganya. Peminatnya juga banyak karena jenis kayu ini cukup kuat – asal tidak kena hujan.
Sudah banyak areal yang dahulu ditanami ngkabang, sekarang menjadi tempat ladang atau diganti tanaman karet.
Selain itu, sekarang, orang-orang di kampung sudah banyak. Masing-masing sudah beranak pianak, bercucu-cicit. Semua ikut panen ngkabang ini’ ayi (nenek datok)-nya. Pertambahan penduduk kampung memang cukup drastis. Tahun 1980-an jumlah penduduk masih sekitar 300 orang. Tahun 2000-an jumlah penduduk sudah hampir 1000 jiwa.
Malangnya, walaupun penduduk bertambah, namun luas kebun ngkabang tidak bertambah, malah menyusut.
Saya membayangkan, 10 atau 20 tahun ke depan, ngkabang pasti semakin tidak dapat diandalkan. Mungkin 50 tahun yang akan datang “musim ngkabang” tidak akan ada lagi. Mungkin pada waktu itu, tak ada lagi musim “uang mudah” yang bisa ditunggu orang.
Siannye generasi cucu kami itu.

0 komentar: