Jumat, 02 Juli 2010

Batu dalam Celana

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Pagi itu, beberapa hari lalu, saya bersama dua teman saya –Me dan Miji, lari pagi menyusuri jalan di Kota Singkawang. Lari pagi kami lakukan untuk menjaga fisik agar tetap segar saat laga futsal Porda Depag 2010.
Kami menyusuri Jalan Diponegoro – masuk pasar, lewat patung Naga, hingga sampai ke ujung Jalan Niaga. Di depan masjid raya, kami berhenti, singgah di kedai makan. Kami pesan bubur dan minuman. Bubur porsinya agak jumbo.
Usai makan, tiba-tiba saya rasa ada yang mau lewat.

Me juga bilang dia memerlukan WC karena kebelet. Saya mendatangi penjaga kedai, bertanya di mana tempat pembuangan akhir. Mulanya saya kira di belakang warung ada tempat.
Tetapi malangnya, WC tidak ada.
“Kalau mau, bisa numpang WC masjid,” kata pemilik warung itu.
Dia memberi petunjuk. WCnya ada di samping kanan masjid. “Itu di sebelah situ ada pagar, masuk saja, lurus”.
Saya melangkah tangkas, berjalan paling depan menyeberang jalan menuju masjid. Sedangkan teman yang hampir kebelet tadi berjalan agak lambat. Maklum, sudah benar-benar pengin keluar katanya. Dia khawatir kalau melangkah buru-buru, yang mau lewat itu bisa lewat benaran.
Kami masuk lewat celah pagar yang masih sedang dalam pengerjaan—bukan lewat pintu. Mungkin karena hari masih pagi belum ada pekerja di sana. Beberapa meter dari pagar itu sudah nampak WC masjid.
Ada tiga WC di sini. Saya masuk ke salah satu WC itu. Karena hanya melepas yang kecil, tidak lama, saya sudah keluar.
Tapi, saya terkejut karena ternyata teman saya yang kebelet sudah berdiri di dekat pagar.
“Lho, kok udah?”
“Kencing jak Bang,”
“Heh? Katanya tadi udah mau keluar?”
“Ndak jadi. Nanti di penginapan saja,” katanya.
“Kuat? Khan jauh”.
“Udah. Ini udah pakai batu”.
Dia merogoh sakunya. Menunjukkan sesuatu sebesar ibu jari.
“Maksudnya?”
Me menjelaskan, menurut Miji kalau kebelet bisa diatasi dengan batu. Batu dimasukkan di dalam saku celana.
“Itu petua orang tua,”
“Kami percaya itu. Keci’-keci’ dulu saya sering begitu. Biasanya memang benar,” Miji menimpali.
Miji, orang Melayu. Dia kelahiran kota Pontianak. Kecil-kecil dia main di kampung Bansir.
Saya belum pernah mendengar hal begitu dipercayai orang di Pontianak. Tentu saja apa yang saya dengar dari Miji pagi itu-- bahwa di Pontianak ada orang yang percaya pada hal seperti itu, merupakan hal baru. Biasanya, kepercayaan seperti itu ada pada orang kampung saja, tempat yang nun jauh dari kota.
Ini jelas petanda kalau saya masih buta pada khazanah budaya masyarakat Melayu di kota Pontianak. Saya merasa takjub mendengar bentuk kearifan begini. Sepanjang jalan pulang tak habis-habisnya saya memikirkan hal ini. Duh, sayang belum ada penelitian tentang hal ini.
Kami terus berjalan menuju penginapan sambil bercakap-cakap. Sesekali saya bertanya pada Me.
“Gimana Me, manjur ndak batunya?”
“Kayaknya iya Bang. Udah ndak macam tadi”.
Walaupun kami melihat kenyataan batu bisa membuat orang tidak jadi buang air, namun, masing-masing ada keraguan. Setidaknya kami tidak menemukan apa kaitannya antara batu dengan keinginan buang air itu. Mengapa orang yang sangat ingin ‘beol’ bisa tahan setelah batu dimasukkan ke dalam saku.
“Apakah ini hanya sugesti saja?!”
Entahlah. Saya harap suatu saat ada orang yang bisa menjelaskan hubungan antara batu dan beol itu. Apakah hubungan itu lebih dari sekadar sugesti?

4 komentar:

Nasaruddin mengatakan...

Assalamualaikum.......Ma'af Pak, numpang komentar.......Petuahnye same dgn di Sambas.........Buang air -kecil ataupun besar- 'dapat ditunda' dgn 'mengocek' batu.......Ada teman yg mau neliti (Petuah dan Pantang Larang di Galing-Sambas)tapi sayang, proposalnye ditolak salah seorang pakar pendidikan Islam di STAIN Pontianak...............

Yusriadi mengatakan...

Nasaruddin. Ya, kalau di kampung2 ada petuah begitu saya tidak heran. Ini, di Pontianak, di kota. Saya belum dengar. Saya kira, kota sudah mengikis semua budaya seperti itu. Dan, ternyata tidak. Dugaan saya salah. Masalahnya, saya baru menemukannya. Masih adakah petuah lain yang hidup di tengah orang Melayu Pontianak?
Soal Galing, saya pikir sangat menarik. Mengapa ditolak oleh pakar? [hmmm... siapa pakar itu ya?]

Nasaruddin mengatakan...

Petuah atau Pantang Larang Masuk dalam ranah dakwah, bukan pendidikan Islam, gitu katenye.....Inisialnye AS pak...Tak enak untuk ditulis jelas.....

Yusriadi mengatakan...

O, begitu.
Coba sarankan dia baca disertasi Dr. Abdurrahman Abror tentang "Nilai-nilai Pendidikan dalam Pantun Melayu Pontianak". Baca juga beberapa artikel Haitami Salim, M.Ag tentang "Nilai pendidikan dalam budaya Melayu Pontianak". Juga, Eka Hendri tentang "Nilai Pendidikan dalam Pantun di Pontianak".