Jumat, 02 Juli 2010

Membawa Teman ke Tiang Gantungan

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Memiliki orang dekat yang mempunyai jabatan penting, memang enak. Enak karena bisa ketiban untung. Jika tidak ketiban rizeki langsung, bisa juga kena cipratan tempias-tempiasnya. Sesekali bisa numpang lagak dan popularitas. Oleh karena itu, biasanya orang selalu mau mendukung teman yang dikenal, orang dekat, orang sendiri, maju dalam perebutan jabatan.
Nah, teman saya ini pengecualiannya. Dia justru beda pendapat dari kebanyakan orang lain. Punya teman yang memiliki jabatan menurutnya tidak selalu enak. Oleh sebab itu, dia ini tidak selalu mau mendukung temannya sendiri maju dalam perebutan jabatan. Dia pilih-pilih. Kalau cocok, dia dukung. Jika tidak, dia malah menegahkannya.


Mengapa begitu? “Kadang saya pikir, mendorong teman maju untuk suatu jabatan seperti mendorongnya maju ke tiang gantungan,” katanya.
Dia berargumentasi dengan menunjukkan banyak contoh. Misalnya, kini ada orang yang dia kenal bernama WM, mantan Kadis PU Kapuas Hulu yang sedang berurusan dengan hukum setelah terlibat dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan Bunut-Mangin di Kapuas Hulu. “Kalau WM tidak didorong-dorong masuk ke jajaran eksekutif, jika WM tetap jadi seorang akademisi, tentu dia tidak menjadi terdakwa”.
Menyesali takdir? Begitulah nampaknya. Tetapi, biarlah itu jalan hidup orang. Toh, apa yang disesalinya benar juga. Saya memang tidak kenal WM, tetapi, saya tahu cerita dosen Untan Pontianak itu. Beliau belum terlalu lama dipakai oleh Pak Tambul, Bupati Kapuas Hulu, untuk menjadi kepala dinas.
Saya sempat mendengar cerita dia–diceritakan teman saya yang lain, betapa susahnya dia menjadi kepala dinas PU, karena itu kemudian dia mutasi ke dinas lain pada periode berikutnya. “Tak mampu dia menghadapi orang-orang….”
Ya, maklum saja kepala dinas PU banyak mengurusi proyek, uang. Orang tentu datang berpusu-pusu menghadap beliau minta bagian. Konon, ada yang datang dengan halus, baik-baik, ada juga yang datang dengan cara kasar. Salah-salah kaca meja bederai, katanya.
Tidak saja contoh WM, banyak lagi contoh orang yang nampaknya baik-baik dan terhormat kemudian ditetapkan menjadi tersangka.
Teman saya menunjuk contoh seorang mantan pimpinan legislatif yang sekarang terkait korupsi pembangunan lintasan balap di Pontianak. Ada juga mantan pejabat eksekutif yang diperiksa berkali-kali oleh Badan Pengawas Daerah, Badan Pemeriksa Keuangan, karena ada pencairan uang “yang harus dijelaskan”. “Mereka tentu tertekan dengan situasi ini. Salah-salah sedikit, dia akan menghuni hotel prodeo. Khan kasihan”.
Pasti. Saya membenarkan dugaannya. Saya mengenal dua orang yang disebutkannya itu. Bahkan saya mengenal beberapa lagi tokoh Indonesia yang sangat tragis nasibnya. Mulyana W Kusuma, akademisi, aktivis, yang menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, kemudian dipenjarakan karena kasus korupsi dana di KPU.
Atau, Said Agil Husin Al-Munawar, akademisi yang kemudian menjadi menteri agama RI tahun 2001-2004. Said Agil dipersalahkan karena menyalahgunakan Dana Abadi Umat (DAU) yang mengalir untuk pembiayaan perjalanan dinas DPR, dan termasuk juga untuk biaya-biaya umrah orang-orang yang saat ini menjadi pejabat negara. “Oleh karena itu, kalau saya lihat temannya tidak benar-benar mampu untuk posisi yang diperebutkannya itu, lebih baik kita tidak mendukungnya. Jabatan bukan untuk dikejar-kejar. Jabatan itu amanah”.
Saya menaruh respek terhadap sikapnya itu. Ingin rasanya bisa berpikir jernih seperti itu. Teman bukan teman tidak penting dalam memilih orang untuk posisi apapun. Yang penting adalah kemampuannya. Ah, sungguh jarang orang yang berpikir begitu. Biasanya, seperti yang biasa kita lihat, orang lebih suka melihat orang dekatnya menjadi pemimpin, pengambil keputusan. Orang lebih sering subjektif dalam memilih.
Orang suka, karena dengan begitu dia mendapat kesempatan mendapat bagian dari proyek. Dia akan mudah menjolok uang Negara melalui permohonan bantuan, dll. Biasanya, bila orang sendiri yang menjadi pengambil keputusan, tentu proposal apapun yang diajukan akan diluluskan. Tak ada pos anggaran pun, bisa diatur-atur bagaimana caranya.
Pada tingkat seperti ini, orang sudah tidak memikirkan kepentingan lembaga, unit, daerah, yang akan dipimpin ke depan. Orang tidak memikirkan lagi kemajuan apa yang bisa dibawa orang yang mereka dukung itu. Orang juga tidak memikirkan kegagalan apa yang kelak akan terjadi ketika orang yang dimajukan itu bukan orang yang layak untuk posisi itu.
Tidak banyak orang yang sempat berpikir bahwa mendorong teman untuk memegang amanah sama saja dengan menyiapkan tali gantungan untuk dia. Maklumlah, aji mumpung! Rezeki kongsi bersama, akibat tanggung sendiri.

0 komentar: