Jumat, 02 Juli 2010

Perlu Teman Menulis

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Hari itu, beberapa waktu lalu, seorang mahasiswa datang kepada saya minta didaftarkan dalam kelompok Klub Menulis STAIN Pontianak yang saat ini saya kelola. Katanya, dia ingin belajar menulis secara lebih intensif bersama orang lain.
“Selama ini saya menulis sendiri dalam buku harian,” katanya.
Saya terangguk-angguk mendengar ceritanya itu. Ya, saya memberikan apresiasi terhadap dia karena sudah ada upaya menulis kisah hidup sehari-hari. Dia sudah berusaha. Usaha yang baik dan sangat produktif. Saya katakan ini baik karena saya membandingkan dengan banyak orang lain yang tidak punya tulisan, tidak punya karya.
Saya juga memberikan apresiasi terhadapnya karena dengan begitu dia menunjukkan kapasitasnya sebagai mahasiswa, makhluk kampus.


Selama ini saya selalu menganggap bahwa sebagai komunitas akademik mahasiswa harus menulis. Tidak cukup hanya belajar duduk di dalam kelas mendengar dosen ceramah. Mahasiswa harus menulis untuk mengukur pemahaman dia terhadap materi yang disampaikan. Mahasiswa harus menulis untuk mendalami masalah atau tema-tema dalam perkuliahan. Mahasiswa harus menulis dengan begitu dia mengasah kemampuan dirinya.
Sebaliknya dari anggapan ini, saya selalu merasa agak heran ketika mendapati mahasiswa malas menulis (dan malas membaca). Lebih mengherankan lagi kalau melihat mereka tidak menyukai aktivitas ini, sementara pada saat yang lain mereka berapi-api mengklaim dirinya sebagai intelektual kampus. Saya member cap: “Ngomongnya berasap, nulisnya, angin”.
Kadang kala sering kepikiran, mengapa mahasiswa begitu? Mengapa mereka tidak menyukai aktivitas ini? Mengapa?
“Oh, mungkin mereka ikut dosen mereka?”
Lho? Ya, banyak dosen yang malas menulis. Meskipun Tri Dharma Perguruan Tinggi sering disinggung-singgung, namun penerapannya kurang. Tidak banyak dosen yang terlibat dalam kegiatan penelitian dan publikasi karya akademik mereka. Tidak banyak dosen yang memiliki karya akademik yang proporsional.
Saya kenal seorang dosen senior. Dia sudah bertugas selama lebih dari 20 tahun. Golongan kepangkatannya sudah tinggi. Namun, sampai saat ini bukunya baru 2, itupun nama sebagai penulis bersama –yang tulisannya termasukk dalam bab dari buku itu. Dia numpang satu bab tulisan dalam buku ini. Bukan buku sendiri.
Seorang lagi dosen dibuatkan profil oleh media. Dia disebut sebagai dosen yang hebat. Pendapatnya sering dikutip wartawan. Dia disebut pakar dalam banyak bidang. Tetapi, alamak … ketika saya lihat riwayat penelitiannya, penelitiannya dapat dihitung dengan telunjuk. Itupun, tidak semua penelitian dia lakukan. Dia hanya menumpang nama. Beberapa lagi penelitian tidak ada hubungan dengan bidang dasar ilmu dia.
Walaupun saya belum melakukan riset untuk melihat kompetensi dosen dalam menulis dan menerbitkan buku, rasanya, secara kasar jumlahnya pasti tidak banyak. Lebih banyak dosen melupakan tradisi meneliti dan menulis makalah, karena disibukkan oleh pelbagai urusan. Mulai urusan mengajar, hingga urusan sibuk menangani proyek luar.
Nah, jika dosen sudah begitu, wajar saja kalau mahasiswa pun meniru-niru. Bagaimanapun dosen adalah contoh dan teladan mahasiswa. Ini yang dikatakan pepatah: “Guru kencing berdiri, anak-anak kencing berlari”.
Bah, apa jadinya kalau komunitas intelektual melempem seperti itu?
Tetapi, hal ini tidak bisa dihindari karena mereka, kita semua, berangkat dari system yang terbangun selama ini. Selama ini mereka memang tidak dibina menjadi akademisi yang intelektual. Mereka hanya dibentuk menjadi seperti guru. Bisanya hanya mengajar. Sedangkan meneliti dan publikasi, kurang ditekuni karena tidak dipentingkan.
Oleh sebab itulah ketika melihat ada kegairahan menulis dan berkarya di kalangan mahasiswa yang ingin bergabung dalam Klub Menulis, saya menaruhkan harapan baru: generasi intelektual bakal lahir. Hanya soalnya sekarang apakah saya (sendiri) dapat membesarkan mereka? Siapa yang mau peduli dan siapa yang mau membantu?

0 komentar: