Jumat, 02 Juli 2010

Untuk Mereka yang Kalah

Oleh: Yusriadi
Redaktur Borneo Metro
Seorang teman dari tim sukses salah satu kandidat bupati yang bertarung dalam pilkada di sebuah kabupaten di Kalbar belum lama ini, menceritakan kandidat itu sekarang sedang agak stress. Dia stress karena memikirkan uangnya yang sudah banyak keluar.
Iseng-iseng saya bertanya: “Berapa banyak dia keluar uang?”
“Miliaran rupiah,” katanya.



“Wow”.
Saya takjub. Sangat takjub. Saya membayangkan kalau uang miliaran itu dikumpul-kumpul. Satu tas pun tak akan muat – agaknya. Kalau disusun-susun pasti bertumpuk-tumpuk tingginya.
Saya lebih takjub lagi memikirkan bagaimana orang begitu agak mudah mengumpulkan uang sebanyak itu. Saya sering mengagak-agak: berapa lamakah dia mengumpulkan uang sebanyak itu? Satu bulan? Setengah tahun? Satu tahun?
Lalu, bagaimana caranya mendapatkan uang sebanyak itu?
Saya tentu mengukur diri sendiri. Saya tidak kebayang bagaimana bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Kalau ikut kerja saya sekarang, seumur-umur kayaknya tidak akan terkumpul uang sejumlah itu.
Padahal, kalau dipikir-pikir, rasanya kerja yang dilakukan sudah maksimal. Karena itu, saya harus menganggap orang yang bisa mengumpulkan uang puluhan miliaran rupiah dalam waktu setahun atau beberapa tahun, adalah orang yang luar biasa. Hebat.
Tetapi, rasa takjub tidak berhenti di situ. Saya masih sangat takjub pada mereka yang punya uang miliaran rupiah, dan mau-maunya membagikan pada orang lain. Mau-maunya mereka menghamburkan dan menaburkannya.
Ya, saya katakan menghamburkan uang karena sepanjang yang saya lihat dalam pilkada, calon bupati dan wakil bupati selalu royal memberikan uang mereka. Mereka dikelilingi orang, dan orang yang datang pada mereka mendapatkan ‘habuan’. Saya dengar dahulu dari seorang asisten calon gubernur, setiap bulan ada banyak proposal yang masuk ke meja mereka. Proposal pembangunan rumah ibadah, proposal pembangunan jembatan dan jalan, proposal pertandingan sepakbola, proposal lomba ini itu… dan seterusnya.
Mereka yang datang untuk keperluan pribadi juga sangat banyak. Ada yang datang minta uang tiket, uang jalan, uang sekolah, uang makan, hingga uang rokok.
Saya merasa takjub karena membayangkan begitu pemurahnya ‘beliau’ itu mengalirkan uangnya. Uang macam tidak ada harga baginya – kecuali agar dia dianggap baik dan layak dipilih. Padahal, terpilih juga belum pasti.
Saya takjub membayangkan dia bisa menjadi seperti malaikat yang sangat baik hati, padahal sebenarnya kebaikan itu diberikan karena dia mengharapkan sesuatu.
Ahh… saya menarik nafas, sembari membayangkan, andai beliau yang menaburkan uangnya itu, benar-benar berbaik hati. Uang miliaran rupiah itu bisa digunakan untuk menyekolahkan anak dari satu kecamatan, hingga mereka menjadi sarjana. Uang miliaran rupiah bisa digunakan untuk membangun sekolah di kampung, atau pesantren dengan fasilitas yang lengkap. Uang miliran rupiah bisa digunakan untuk membantu modal usaha dan aneka kegiatan produktif.
Bantuan itu pasti akan mengubah banyak hal di masyarakat. Perubahan yang terjadi pasti nyata. Saya kira, perubahan itu pasti akan menyebabkan masyarakat tertambat hatinya. Pasti perubahan begini ini akan menjadi daya tarik yang luar biasa. Daya tarik yang akan membuat orang memilihnya dengan sukarela – bukan seperti yang terjadi sebelum ini: orang memilihnya berpura-pura. Di depan dia katakan mendukung, di belakang mentertawakannya. Cara ini pasti tidak akan membuatnya stress – karena menabur uang di lautan.
Tapi, saya tak bisa mengingatkan calon itu. Tak kenal. Kalau kenal pun, saya tak berani mengingatkan calon itu. Takut dianggap celupar. Dalam situasi sekarang dia tidak butuh nasehat. Nasehat justru akan membuatnya berang.
Biarlah dia renung sendiri masalahnya. Ini pelajaran berharga buat dia, dan juga buat calon yang lain di kemudian hari.

1 komentar:

Pecundang Pengecut mengatakan...

Betul Pak Yusriadi. Semoga ada satu calon yang memberi contoh baik itu. Terpilih atau tidaknya calon itu lain perkara. Yang pasti, uang yang ditaburkan menuai panen raya. Tidak lagi uang dihamburkan cuma-cuma.