Sabtu, 07 Agustus 2010

Inventarisasi Local Knowledge

Oleh: Yusriadi
Kalau orang luar mau tahu tentang budaya-budaya Kalbar, mereka cari di mana? Saya pasti bingung menjawabnya. Apakah ada buku yang memuat informasi tentang budaya-budaya local itu? Mungkin ada. Tetapi pasti terbatas. Terbatas garapannya, terbatas cakupan dan kedalamannya.
Kalau mau mendapatkan informasi yang komprehensif dan memuaskan, ya, harus gali sendiri. Harus ketemu narasumbernya langsung. Harus kulu kile’. Susah? Entahlah.

Alternatifnya, mungkin bisa dirujuk kepada MABM atau kepada Dewan Adat Dayak. Dengan begitu, taklah perlu susah payah turun ke lapangan, ke pedalaman yang jauh-jauh itu.
Tapi … bisakah kita akan menunjuk Ketua Majelis Adat Budaya Melayu (MABM) Dr. Chairil Effendy sebagai rujukan informasi budaya Melayu, atau, kita akan menunjuk Ketua Dewan Adat Dayak Thadeus Yus untuk rujukan budaya Dayak?
Mungkin. Tapi saya sudah kebayang betapa repotnya. Orang yang mau tahu repot, kedua tokoh itu juga pasti repot. Saya yakin pasti tidak akan mudah bertemu dengan beliau berdua ini. Keduanya pasti sangat sibuk. Banyak kegiatan. Mungkin harus buat janji dahulu. Bila nasib mujur, besok atau lusa bisalah bertemu. Jika tidak, mungkin beberapa hari kemudian. Atau mungkin tidak bisa sama sekali.
Kalau kemudian orang susah mendapatkan informasi mengenai budaya yang ada di Kalbar, kalau kemudian menyerah karena waktu dan biaya mereka yang terbatas, lalu menulis apa adanya berdasarkan apa yang dia peroleh, bagaimana?
Apakah kita akan protes terhadap tulisan itu? Apakah kita marah?
Seharusnya tidak. Jika orang luar itu sudah berusaha dan usaha mereka hanya segitu hasilnya, seharusnya kita terima dengan bijak. Kalau kemudian tulisan mereka tidak seperti yang kita ketahui, salah-salah, kita juga salah. Kita layak dipersalahkan karena membiarkan dunia akademik berkembang di luar kita, sedangkan kita sendiri tidak menggarapnya. Lihatlah apa yang sudah kita lakukan.
Kenyataannya, belum banyak yang kita lakukan. Kita masih kurang memberikan sumbangan terhadap konstruksi akademik tentang diri kita di dunia luar sana, di dunia akademik global. Menyedihkan.
Saya jadi teringat pekerjaan yang tertinggal itu ketika beberapa hari lalu mendengar ceramah Bapak Surahno, Kepala Sub Dit Hak Cipta, DTLST dan RD Departemen Hukum dan HAM RI di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisonal, Pontianak.
Dalam ceramah itu Surahno mengingatkan soal mendata semua hak kekayaan intelektual khususnya kepemilikan komunal yang ada di Kalbar. Kepemilikan komunal mencakup produk atau karya warisan turun temurun yang kita dapatkan dari generasi terdahulu.
Data itu akan menjadi pangkalan data (data base) tentang kekayaan tradisional di Kalbar. Orang yang ingin mengetahui dan mendapatkan informasi tentang kekayaan tradisional bisa merujuk pada data base itu.
Biar data itu mantap, pekerjaan ini harus digarap bersama banyak orang.
Seketika pikiran saya membayangkan sebuah buku: Enseklopedi Kebudayaan Kalbar. Buku itu tebal dan bagus, karena ditulis oleh banyak ilmuan Kalbar – mulai dari social- budaya, perobatan, pertanian, ekonomi hingga agama dan kepercayaan.
Ketika orang mencari apa itu ‘notokng’, belale’an, tolak bale, antar ajjung, nyapat taun, pak aloi, runa’, kepua’, atau keladi tikus, orang bisa mendapatkannya di buku itu. Tidak perlu susah payah kulu kile’, tak perlu susah payah menunggu janji, dll.
Selain itu, kalau buku ini wujud, pasti orang tidak akan susah payah memahami identitas setiap kelompok. Pasti orang akan mendapatkan informasi berharga tentang pengetahuan masyarakat di Kalbar.
Saya bisa merasakan kebanggaan: kebanggaan sebagai warga yang berdiam di daerah yang beragam. Kebanggaan sebagai orang daerah yang sudah dapat menunjukkan fakta tentang keragaman.
Uuh… andai buku itu bisa terwujud.

0 komentar: