Sabtu, 07 Agustus 2010

Perubahan yang Menakjubkan

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro


Sudah sejak lama saya mendengarkan slogan hidup adalah perubahan. Ciri hidup adalah berubah. Kalau tidak berubah, itu tanda mati.
Sudah sejak lama saya mempercayai itu. Sudah sejak lama saya mencoba menganut prinsip-prinsip menyadari dan memahami perubahan, serta prinsip ikut membuat perubahan dan berubah.
Tetapi, ternyata, tidak selalu perubahan muncul dari proses kesadaran itu. Saya mengalami bagaimana perubahan drastis terjadi dalam proses ketidaksadaran.
Ya, peristiwa bermula sekitar pukul 16.00, Kamis (5/8) kemarin. Saat itu saya sedang baring di ruang tengah di rumah. Tiba-tiba saya mendengar Fatia, anak saya yang berumur 4,6 tahun, menjerit.
“Ular!!!”



Dia menangis. Tangisnya kali ini berbeda dibandingkan tangisan biasa--misalnya karena dia dikacau-kacau saudaranya, atau ketika dia ngambek pengin sesuatu tetapi tidak diberikan. Tangis ini berisi tangis ketakutan.
Saya segera bangun, dan berlari keluar. Saya berhenti di teras. Saya lihat Fatia di tengah halaman, masih menangis, dan berurai air mata. Bibirnya nampak sedikit biru.
“Napa?”
“Kena ular”.
“Mana dia?”
Fatia menunjuk ular di dekat teras. Saya terkejut. Rupanya ular itu tidak jauh dari saya –posisinya di antara saya dan Fatia. Ular hitam kuning sebesar jempol Fatia. Ular itu agak melingkar badannya. Diam.
Saya tidak menghiraukan ular itu. Saya menuju Fatia.
“Mana kena ular?”
Fatia menunjuk kakinya. Di pegelangan kakinya saya lihat ada sedikit darah.
“Ini agaknya bekas gigitan ular itu”.
Saya membopong Fatia, membawanya masuk. Panik.
“Mak, Fatia kena patok ular”.
Saya membawa Fatia ke kamar Emak. Saat itu Emak sedang istirahat di sana.
Setelah dibaringkan, kami memberi Fatia minum air putih. Saya meneteskan luka itu dengan propolis dan kemudian memijitnya, mengeluarkan darah yang bisa.
“Coba ambil otak ular. Kata orang tua, otak ular bisa dipakai untuk menawar bisa”.
Kami ke teras. Ular masih ada di situ. Saya mencari kayu dan memukul ular dengan takut-takut. Ya, bagi saya, ular memang menakutkan. Tidak ada perlawanan. Ular menggeliat, mati. Saya memutuskan kepalanya agar yakin ular itu betul-betul mati.
Emak kemudian mengambil kepala itu dan mengeluarkan otak. Lebih tepat sebenarnya batok kepala ular. ‘Otak’ itu warna putih sebesar biji jagung, kemudian dioles-oleh ke bekas gigitan di kaki Fatia. Emak lalu mengikat kaki itu.
Meskipun lega karena pertolongan pertama ini, namun, saya masih ragu. Ini bisa ular. Bukan luka biasa. Kemudian, saya bersama Salsa, anak saya yang lain, membawa Fatia ke bidan Ester, bidan yang menjadi rujukan keluarga kami. Sebelum pergi mengambil ular itu dan memasukkannya ke dalam kantong plastic. Maksud saya, biar bidan tahu jenis ular yang menggigit Fatia. Menurut TV, jenis bisa ular yang diketahui akan memudahkan petugas memberikan pertolongan. Lain bisa ularnya, lain obatnya.
Ternyata, bu Ester merujuk Fatia ke rumah sakit Antonius.
“Cepat bawa ke sana. Di sana ada obat penawar bisa. Di sini tidak bisa”.
Saya dan Salsa membawa Fatia dan ular ke rumah sakit itu. Petugas di sana bekerja cepat membius Fatia dan membersihkan dan membor luka di kaki Fatia. Seorang wanita berbaju putih – yang kemudian saya ketahui bernama dr. Aini, sesekali memberi petunjuk.
Sembari proses pengobatan Fatia, dr Aini bertanya pada saya tentang kejadian itu. Saya ceritakan apa yang saya ketahui. Saya keluarkan ular dari bungkusan untuk menambah penjelasan.
“Ular … ular … jangan”.
Dr. Aini mundur menuju desk petugas. Terkejut. Saya, dan beberapa orang lain tersenyum melihat reaksi dokter.
“Udah mati”.
Saya memegang ekor ular, sehingga badannya menjulur ke bawah. Maksudnya biar nampak kepala ular yang buntung.
Saya memasukkannya kembali ke dalam plastik.
Lalu, beberapa saat kemudian, dr. Aini meminta saya mengeluarkan ular itu lagi. Tidak lagi terkejut. Beliau ingin mengambil gambar dengan kamera poket. Mula-mula saya letakkan ular di atas kantong di atas kasur.
“Hitam. Tidak nampak. Letakkan di atas yang putih”.
Saya memindahkan ular di atas kasur yang alasnya putih itu. Selesai dipotret, ular itu dimasukkan lagi ke dalam plastik.
Setelah dr. Aini berlalu, saya tiba-tiba tersadar.
“Lho, kok bisa?”
Saya takjub beliau. Pada mulanya nampak terkejut (mungkin geli atau takut juga). Tetapi kemudian berani mendekati. Cepat sekali berubah. Hanya hitungan menit.
Saya juga takjub pada diri sendiri. Takjub karena berani memegang ular. Tidak ada perasaan geli sedikit pun. Seakan-akan ular itu benda biasa. Padahal, biasanya, jangankan menyentuh dengan tangan langsung, menggerakkan bangkai ular dengan ranting saja saya geli-geli. Takut-takut. Wowww….

0 komentar: