Sabtu, 07 Agustus 2010

Sanggau Permai

Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Enam belas tahun lalu saya ikut dalam rombongan mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Pontianak, cabang Jakarta, mengadakan studi tour ke Sanggau. Saya sempat mengunjungi beberapa tempat di Sanggau.
Salah satu tempat yang paling mengesankan saya waktu itu adalah Sanggau Permai. Saya sangat mengagumi komplek Sanggau Permai yang dibangun Bupati Baisuni ZA.
Tempat itu, waktu itu, dianggap kawasan elit, seakan-akan ‘puncak’ bagi orang Sanggau. Kawasannya nampak rapi, bersih, terawat dan elit. Jalan menuju komplek itu yang mulus, serta kiri kanannya yang hijau menambah kesan ‘wah’ tempat ini.


Saya juga sempat salat di masjid di atas puncak Sanggau Permai. Waktu itu, tak habis-habisnya saya mengagumi masjid itu. Setelah itu, kami sempat mencoba main bola di lapangan di kaki bukit. Lapangan yang sangat bagus.
Pak Bupati dalam kesempatan berbicara di depan rombongan STAIN Pontianak menceritakan tentang ‘proyek besarnya’ itu. Dia juga menjelaskan pengertian Sanggau Permai.
Saya mengagumi Pak Baisuni sebagai pemimpin yang visinya sangat kuat, dan pemimpin yang membawa Sanggau melakukan loncatan ke depan.
Perasaan saya waktu itu, Sanggau dengan Sanggau Permainya, mengalami kemajuan melebihi kabupaten lainnya.
Kesan itu terpacak kuat dalam benak saya. Hingga belasan tahun, ingatan itu tidak lekang. Setiap kali orang mengatakan Sanggau Permai, serta merta saya membayangkan tempat yang elit itu.
Bulan lalu, secara tak terduga saya berkesempatan melintas kawasan ini lagi. Kala itu, saya bersama rombongan mahasiswa yang akan melakukan kuliah kerja lapangan (KKL) ke Sanggau, melintas Sanggau Permai, saat naik pick up menuju lokasi KKL di kampung Mensarang. Karena saya mendapat tempat duduk di atas bak, saya jadi sangat leluasa melihat keadaan kiri kanan jalan. Tidak ada benda yang menghalangi pandangan.
Saya katakan tak terduga karena saya tidak tahu kalau jalan menuju Mensarang itu melalui Sanggau Permai. Semula saya kira, kami akan melalui jalan di pinggir Sungai Sengkuang.
Kebetulan yang baik.
Saya antusias sekali ketika mengetahui bahwa pick up kami bergerak ke arah Sanggau Permai. Kenangan lama berlegar kembali.
Tetapi, malangnya, kenangan indah itu ternyata t idak lagi nampak indah. Setidaknya, saya kehilangan keindahan ketika melihat Sanggau Permai sekarang. Tempat itu tidak lagi mengagumkan. Saya tidak lagi terpana seperti saat 16 tahun lalu.
Bahkan, kesan saya, biasa-biasa saja. Jalannya, pohon-pohonnya, rumah-rumah di kiri kanan jalan, tidak lagi nampak istimewa.
Saya sempat berpikir, apakah Sanggau Permai telah berubah? Mungkin! Ya, mungkin Sanggau Permai telah berubah menjadi tempat yang biasa, bukan tempat yang mendapat perhatian khusus seperti dahulu, Sanggau Permai kehilangan pemerhati. Sanggau Permai kehilangan keistimewaan. Saya kira, jangankan saya, orang Sanggau sendiri tidak lagi menjadikan Sanggau Permai sebagai kebanggaan. Sepanjang pertemuan kami dengan Wakil Bupati di Kantor Bupati – beliau menyambut kedatangan kami, saya tidak mendengar beliau mempromosikan Sanggau Permai, seperti dahulu Pak Baisuni lakukan.
Tetapi saya yakin, pikiran saya juga sudah berubah. Kalau dahulu, wawasan saya masih sangat terbatas pada Pontianak dan Jakarta, sekarang rasanya cakrawala agak melebar sedikit. Kuching dan beberapa kota kecil yang dibangun sebagai ‘proyek monumental seorang pemimpin’ di sekitar Kuala Lumpur, sedikit banyak membuat ekspektasi tentang pembangunan kota baru juga berubah.
Lalu? Ups! Saya mendapat bandingan baru. Pasar Kapuas Indah. Dahulu, sekitar 20 tahun lalu, bangunan berlantai tiga itu menjadi ikon kota Pontianak. Orang kampung, orang pedalaman seperti kami, sangat membanggakan bangunan ini. Hebat. Kalau ke Pontianak, tidak sah jika belum menginjak bangunan ini.
Sekarang? Hmmm…. Kita tahu sendiri jawabannya.

0 komentar: