Selasa, 14 September 2010

Antrian di RS Soedarso

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Metro

Bagaimana cara menunggu giliran mendapatkan pelayanan? Masyarakat di Negara maju akan menjawab: Q, istilah untuk menunjukkan cara mereka mengantri satu per satu, tertib beratur. Sedangkan masyarakat kita agaknya akan menjawab: cara menunggu paling enak adalah dengan mengerubungi tempat pelayanan.

Saya yakin begitu saat saya melihat cara warga menunggu giliran pelayanan di RS Soedarso Pontianak beberapa hari lalu. Hari ini, sekitar pukul 07.30 WIB saya sampai di rumah sakit kebanggaan warga Pontianak. Saya langsung masuk ke ruang pelayanan rawat jalan. Di sana sudah ramai. Ratusan orang.
Sejenak saya menyapu pandangan. mencari di mana tempat mendaftar. Maklum, sejak di renovasi dengan tampilan yang wah, saya belum pernah lagi berobat di sini. Terakhir saya berobat untuk membersihkan karang gigi sekitar 3 tahun lalu. Waktu itu tempat pelayanan umum ini masih di bagian belakang, dekat Unit Gawat Darurat (UGD), satu arah dengan kamar jenazah. Waktu itu orang menunggu di selasar.
Saya melihat orang banyak berkumpul di depan loket informasi. Saya merapat ke sana. Niatnya ingin bertanya bagaimana saya berurusan. Di situ ada seorang satpam berumur mungkin 50 tahunan sedang melayani banyak orang. Beberapa orang bertanya tempat berobat dan ruangan, ada juga yang bertanya prosedur. Saya melihat beberapa orang lagi mengisi formulir. Formulir warna biru ukurannya kecil. Di bagian atas ada tulisan formulir daftar berobat jalan. Yang satu untuk pasien baru, yang satu lagi untuk pasien lama.
“Hmm… rupanya di sini formnya”.
Saya minta pada satpam. Dan ingin bertanya. Tapi dia tidak dapat melayani pertanyaan saya. Akhirnya saya ambil sendiri. Lantas dengan pen yang ada di meja, saya mengisinya. Selesai.
Saya menuju loket pasien baru menyerahkan formulir yang sudah saya isi.
Untung loket itu kosong. Belum ada pelayanan. Saya langsung melihat ada boks plastic kecil warna merah, tempat untuk formulir itu.
Usai meletakkan kertas itu, saya langsung mencari tempat duduk yang disediakan di bagian tengah ruangan luas itu. Ada dua kelompok kursi menghadap ke loket pelayanan daftar pasien dan ada dua kelompok kursi juga yang membelakangi loket itu. Kelompok kursi ini khusus untuk orang yang menunggu pelayanan urusan administrasi asuransi kesehatan dan apotik.
Dapat. Masih banyak tempat kosong di dua kelompok itu. Di kiri kanan kosong. Di barisan kursi belakang ada dua orang perempuan, dan di kursi depan, ada seorang lelaki.
Sementara itu, di depan, di loket pasien lama, ada banyak orang antri di situ. Berdiri di depan loket. Saya mencoba menghitung. Satu, dua, tiga… 60 orang lebih. Dalam hati saya bertanya, mengapa orang lebih memilih berdiri di depan loket dibandingkan duduk di kursi yang kosong. Padahal kursi yang disediakan empuk lagi. Menurut saya duduk di kursi jauh lebih enak dibandingkan berdiri di depan loket. Berdiri pasti capek. Mendingan saat itu ada pelayanan. Belum. Seorang petugas di counter nampak masih sibuk berkemas-kemas.
Saya merasa jengah melihat perilaku orang-orang itu. Kesan saya, mereka seperti rebutan minta dilayani lebih dahulu. Seperti berlomba-lomba mendahului orang lain. Atau, mungkin juga kesannya mereka takut kalau-kalau tidak berdiri di depan counter, tidak akan dilayani.
Saya saya memikirkan hal itu, tiba-tiba menyeruak seorang lelaki tua sudah beruban, jalannya terseret-seret. Agak susah. Entah sakit apa dia. Dia berusaha maju ke depan memasukkan formulirnya ke dalam kotak. Setelah susah payah, sampai juga dia ke depan. Setelah memasukkan formulir itu, dia kembali ke bagian belakang kelompok orang-orang yang berdiri.
Tak lama kemudian, seorang perempuan yang kaki kanannya diperban dan melangkah terseret-seret juga mencoba menebus kerumunan. Saya sempat bergidik seandainya kaki yang diperban itu terinjak orang. Duh, apa tidak malah makin parah.
“Apa petugas tidak risau ya?”
Saya sempat bertanya dalam hati. Kalau saya yang menjadi petugas di situ, saya pasti risau. Saya tidak akan merasa nyaman bekerja di bawah tekanan begitu. Ya, bagi saya orang berdiri di depan loket seperti pressur mental bagi saya. Sempit rasanya. Belum lagi suara-suara orang itu pasti akan mengganggu konsentrasi saya.
Rupanya bukan hanya saya yang heran. Bapak yang duduk di depan saya, saya dengar juga ngomel melihat perilaku orang berdiri di depan loket.
“Orang ramai begitu bikin kita tidak dengar”.
Ya, setelah pelayanan dibuka, petugas memanggil nama pendaftar. Suara petugas terdengar tidak jelas menyebutkan nama orang dibandingkan hiruk pikuk orang-orang itu. sehingga petugas harus memanggil nama berulang-ulang.
Saat loket pelayanan pasien baru dibuka, saya sempat mendengar petugas menyuruh orang yang berdiri di depannya, duduk. Orang itu menjauh dari counter.
Setelah urusan pendaftaran selesai, saya naik ke lantai dua. Bagian Poli. Ruang pelayanan sudah buka. Saya menyerahkan kartu berobat. Lantas menunggu. Cukup ramai juga orang di lorong itu. Kursi panjang tidak cukup. Sebagian berdiri. Lama juga begitu. Kabarnya dokter baru datang jam 09.30 WIB.
Jam 09.00. Jenuh menunggu di lorong depan ruang poli, saya ke bagian tengah bangunan. Di situ ada kursi tunggu. Banyak. Tapi kursi itu penuh. Sementara itu di bagian depan ada counter Pelayanan Askeskin. Keadaannya sama seperti counter di bawah. Ramai. Saya menghitung ada 40 orang mengerubungi loket. Di antara mereka itu, ada lelaki dengan dua tongkat dikepit, ada perempuan dengan anak kecil di sampingnya.
Kasihan sungguh melihatnya. Tetapi, ya… saya kira hampir semua orang melihat pemandangan itu sebagai pemandangan yang biasa. Mereka anggap antri begitu merupakan bentuk pelayanan.
Saya sempat berpikir, kalau saya pengambil kebijakan saya akan minta mereka duduk dan menunggu giliran dengan sabar. Saya akan memastikan orang yang dahulu dilayani lebih dahulu, dan yang dudi dilayani belakangan.
Lalu, minta Satpam memastikan ketertiban ini dijaga terus menerus. Bukan tugas satpam membagi formulir. Formulir bisa diletakkan di satu tempat dan orang langsung mengambilnya. Juga bukan tugas Satpam menjelaskan tentang prosedur pelayanan. Ada bagian sendiri yang mengurus hal seperti itu. Ini rumah sakit besar. Bukan puskesmas.
Tetapi, kemudian saya sadar: mungkin upaya membuat tertib itu sudah dilakukan, dulu. Awal-awal. Sekarang, tidak bisa lagi. Masyarakat belum bisa menunggu dengan Q. Masyarakat merasa lebih nyaman antri dengan mengerubungi tempat pelayanan. Jadi, bagi mereka ini bukan soal tertib tidak tertib.

0 komentar: