Senin, 11 Oktober 2010

Lebaran, Kok Pilih Piknik?

Oleh: Yusriadi

Tulisan Pak Dr. Leo Sutrisno berjudul “Lebaran di Kuching” yang dimuat di Borneo Tribune (14/9) lalu sangat menarik perhatian saya. Kata beliau: “Kesan saya, hari raya Idul Fitri, bagi umat Muslim sungguh digunakan untuk menjalin silaturahmi. Hampir tidak ada masyarakat Muslim yang mengunjungi tempat-tempat wisata”.
Saya terkesan pada tulisan itu karena perbandingan-perbandingan yang beliau nyatakan. Perbandingan yang saya kira bisa menjadi cermin bagi orang yang dibandingkan. Perspektif yang beliau gunakan berbeda dibandingkan kalau saya sendiri yang membandingkan.

Oleh karena itu, rasanya, tak puas-puas saya membaca tulisan itu. Saya membacanya berulang-ulang. Bak iklan: baca, lagi, lagi, dan lagi.
Sembari membaca tulisan itu, saya merenung soal budaya lebaran orang Islam di Kuching dan budaya lebaran orang Islam di Kalimantan Barat.
Saya jadi teringat pada tetangga dan beberapa teman saya yang memilih pergi ke Singkawang di hari ke-2 lebaran. Wisata. Bahkan, teman juga sempat mengajak pergi bersama.
“Kita mau ke Singkawang ni. Mau ikut?”
Teman ini sudah menyewa mobil, dan dengan mobil itu dia akan mengangkut keluarganya ke Pantai Teluk Mak Jantu’ dan ke Pasir Panjang Singkawang. Kebetulan, masih ada tempat kosong di mobil.
Tetapi, saya tidak ikut. Alasannya, banyak kerjaan.
Beberapa hari kemudian ketika teman sudah kembali ke Pontianak, dia menceritakan betapa ramainya suasana di tempat wisata itu. “Manusia di sana …. Uuu… ramai sekali. Entah dari mana-mana mereka”.
Saya juga ingat pengalaman lebaran di kampung, di Riam Panjang, Kapuas Hulu belasan tahun lalu. Pada hari kedua lebaran anak-anak muda ramai-ramai mengunjungi objek wisata “Medang Pulang” di Hulu Gurung. Waktu itu, saya ikut juga pergi. Hampir seluruh anak muda di kampung pergi. Satu truk penuh. Penumpangnya berdiri-diri, persis seperti ikan sarden, berdesak-desakan. Walaupun menderita dan sengsara nampaknya, namun, saya tahu hampir semua orang gembira. Justru bagi sebagian teman yang nakal, berdesakan begini ‘banyak nikmatnya’. Wisata begini juga kesempatan mereka untuk ‘pedekate’.
Saya hampir melupakan semua itu. Tidak mengingatnya, karena tidak menganggap penting. Saya menganggap itu sebagai hal yang biasa, tidak menarik.
Nah, saya baru tersentak setelah membaca tulisan Pak Leo seperti yang saya kutip di awal. Tulisan itu, membuat saya menjadi memikirkan fenomena itu. Ya, fenomena yang penting diamati. Apalagi setelah saya renung-renung, fenomena ini terjadi hampir menyeluruh.
Saya jadi memikirkan, mengapa orang Islam di Kalbar begitu? Mengapa orang Islam lebih suka berwisata dibandingkan mengisi seputar hari raya dengan silaturrahmi? Bagaimana orang Islam memandang silaturrahmi itu?
Uh, saya jadi ingat ada teman saya orang penting yang lebih suka tidak di rumah selama lebaran. Mengapa? “Kalau keluar kota ada alasan untuk tidak main ke rumah orang”. Lho?
Katanya, kalau balek ke rumah sesudah masuk ke kerja seperti hari biasa, dia akan punya alasan lain untuk tidak datang berkunjung.
Saya juga pernah mendengar seorang mantan pejabat yang menderita karena banyak orang yang datang berkunjung.
“Saya menikmati suasana sekarang. Dahulu, sibuk sekali menerima tamu yang datang,” katanya.
“Coba, apa ndak capek senyum terus dari pagi hingga malam? Capek tu”.
Saya kira, saya bisa memafhuminya. Benar. Beberapa hari setelah Idulfitri orang tidak bisa istirahat dengan baik. Ada tamu datang, dan dia harus membalas kunjungan. Balas membalas ini yang bikin repot.
Tentu, saya juga menemukan tidak semua orang begitu. Jauh lebih banyak orang yang menyadari pentingnya silaturrahmi dan melakukannya. Apatah lagi Islam sendiri menganjurkan mempererat silaturrahmi. Dan, pasca Idulfitrilah momentumnya.


Tapi, saya tidak sadar bahwa fenomena ini menunjukkan betapa orang Islam lebih senang berwisata dibandingkan silaturahmi.







0 komentar: