Senin, 11 Oktober 2010

Melepus Biar Tak Kemponan

Yusriadi

Kepercayaan kepada kemponan sudah lama tidak saya dengar. Sudah lama juga saya tidak mempercayainya. Sejak saya tinggal di Pontianak saya jarang mendengar kata kemponan itu. Lagi, teman-teman di Pontianak jarang sekali percaya pada hal itu, sekalipun mereka berasal dari daerah. Mereka yang sudah hidup di kota, tergerus oleh budaya baru yang tidak percaya pada kemponan.


Karena itu, ketika kemarin, beberapa hari lalu, saya menyaksikan ada teman yang masih masih percaya pada tradisi ini, saya jadi takjub. Juga heran.
Ceritanya, siang kemarin, ada teman asal Kapuas Hulu bersama istri dan anaknya datang ke rumah. Kami ngobrol dalam suasana lebaran yang agak terlambat. Ketika menjelang waktu makan, kami --saya dan emak, menyilakan mereka ikut makan. Mula-mula mereka menolak.
“Udah. Masih kenyang.”
Tetapi saya memaksa. “Makanlah, biar sedikit. Ini, lauknya istimewa.”
Ya, istimewa. Emak memasak labu kuning (rongi), dicampur dengan timun dan ikan asin. Masaknya direbus. Ini jenis bahan sayur kampung yang dimasak dengan cara kampung. Orang Pontianak tidak mengenal campuran sayur begini, dan saya kira cara masak begini jarang jadi menu orang di Pontianak.
Akhirnya dia menyerah. Mau juga dia ikut gabung menghadap hidangan yang sudah diletakkan di ruang belampar di dapur. Sedangkan istrinya, mengurus anak lebih dahulu. Anaknya dibaringkan di ruang tengah.
Saya dan teman mulai makan. Tak lama kemudian, istrinya juga bergabung. Dia ikut duduk mengelilingi hidangan. Lalu, istri teman itu kemudian menyentuh sisi mangkok satu persatu dengan telunjuk, serta menjumput sedikit nasi. Semula saya kira dia memilih mana makanan yang akan disendoknya lebih dahulu. Mungkin dia agak ragu mana jenis makanan yang akan diambil, pikir saya.
Tetapi, ketika dia menyentuh, sepertinya dia menarik mangkok, dan kemudian mendorongnya sedikit, saya terperangah. Dugaan saya salah. Ternyata dia hanya menyentuh sisi mangkok. Setelah itu dia bangun dari duduk, dan menuju ruang tengah, tempat anaknya dibaringkan tadi.
Dia jongkok di depan anaknya. Dengan telunjuk dia menyentuh kaki, tangan dan kening anaknya. Saya memandang ‘prosesi’ itu dari tempat saya duduk.
Suaminya yang duduk di depan saya dan membelakangi ruang tengah, rupanya tahu apa yang dilakukan istrinya. Dia juga melihat keheranan saya.
“Biasa… pakai melepus,”
Aha.. saya tahu itu. Cara menyentuh itu disebut ‘melopus’ dalam budaya kami di Riam Panjang, dan dalam bahasa teman saya ‘melepus’. Maksud dari melepus adalah agar orang yang tidak ikut makan itu tidak kemponan. Kemponan bisa berbentuk kecelakaan. Misalnya, jatuh dari motor, jatuh dari pohon, dipatok ular, dll. Pokoknya semua kemungkinan yang timbul karena tidak makan saat ditawarkan makan, disebut kemponan. Karena bentuknya abstrak, semua orang takut.
Setahu saya tidak ada orang berani melanggarnya. Saya juga termasuk orang yang takut terhadap kemponan itu. Karena itu, ritual melopus pun juga sering dilakukan. Saya terbiasa menyentuh makanan sedikit, atau kalau bisa mencicipinya. Jika tidak sempat makan, pada saat ditawarkan, saya akan menggigit bagian belakang telapak tangan ala kadarnya. Digigit sedikit saja sebagai syarat.
Masyarakat kami akan merasa lega dan percaya tidak akan kena kemponan jika sudah melakukan itu.
Tetapi, seiring perjalanan waktu, kepercayaan pada kemponan sudah tidak lagi kuat. Jika terjadi sesuatu, tidak pernah lagi dikaitkan dengan kemponan itu. Saya ingat dua bulan lalu, anak saya Fa, dipatok ular di teras rumah. Sama sekali waktu itu saya tidak mengingatkan Fa kemponan. Setelah Fa dipatok ular, kami (saya dan emak) langsung menolong Fa dengan memijit luka, dan mengolesnya dengan otak ular yang mematok. Baru kemudian setelah itu saya membawa Fa ke Bidan, dan lalu dirujuk ke RS Antonius Pontianak.
Saya ingat, kalau dikaitkan dengan kemponan, obat sementara Fa mestilah barang yang membuatnya kemponan. Jika dia kemponan nasi, maka nasilah obatnya. Jika kemponan air susu, maka susulah obatnya.
Sering kali juga ketika ditawarkan makan, saya menolak – karena masih kenyang, dan lain-lain. Setelah itu, saya berjalan, tanpa melopus. Apapun kejadian selanjutnya, sama sekali tidak pernah dikaitkan dengan tawaran itu.
Saya merenungkan perubahan itu. Ada nilai yang hilang di sana. Beruntunglah sebenarnya jika masih ada orang yang dapat menyelamatkannya.

0 komentar: