Sabtu, 20 November 2010

Belajar dari Orang Teluk Bakung

Oleh Yusriadi

Selasa lalu, saya bersama Juniawati, Hardianti dan Atalia berkunjung ke Teluk Bakung. Kampung ini terletak di ujung aspal jalan trans-Kalimantan dari arah Pontianak. Dari Pontianak kira-kira satu setengah jam perjalanan menggunakan motor.
Kunjungan ini dilakukan untuk memastikan hal-hal teknis berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan “Koran Perempuan” yang dikelola Juniawati dan Hardianti, plus kawan-kawan mereka di Pusat Studi Wanita (PSW) STAIN Pontianak.
Saya diajak Juniawati karena pada kegiatan hari Minggu besok, diminta menjadi pendamping saat pelatihan. Ca’-ca’annya, mengajar ibu-ibu di Teluk Bakung menulis untuk koran.


Kami berhenti di depan rumah kepala dusun, Pak Rita panggilannya. Rumah itu, wow… sungguh sangat besar dan megah. Modelnya juga modern. Saya mengagumi model yang dipilih, sekaligus mengagumi pemilik rumah yang pasti memiliki modal besar. Ratusan juta!
Kami berkenalan dengan Pak Gita. Kekaguman saya berlanjut. Kepala Dusun itu ternyata masih muda. Menurut saya, orang muda yang dipilih menjadi pemimpin pastilah orang muda yang istimewa. Dan benar, panjang cerita, ternyata beliau sedang kuliah ilmu hukum di Fakultas Hukum, Universitas Panca Bhakti Pontianak.
Mengapa kuliah lagi? Ternyata Pak Gita mau kuliah karena ingin memperoleh ilmu sehingga bisa mengadvokasi masyarakatnya. Beliau ingin masyarakatnya lebih maju, berpendidikan. Pilihan bersekolah lagi adalah salah satu upaya untuk memberi contoh kepada warganya.
Beliau juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap masyarakatnya sekarang, dan usaha-usaha apa yang sudah dilakukan untuk mereka itu selama ini.
Pandangannya soal pluralisme juga diungkap. Saya menangkap kesan bahwa orangnya sangat terbuka dan pikirannya sangat maju.
Setelah itu, kami berkunjung ke masjid Muhajirin di ujung kampung. Kami bertemu dengan ustadz di sana. Zulkifli namanya. Dia lulusan STAIN, dan ternyata saya pernah mengajarnya.
Saya sempat terpana. Oh, rupanya sewaktu mengajar saya tidak dapat melihat mutiara itu. Ya, dia adalah mutiara. Saya baru tahu Zul ini mengabdi di Teluk Bakung. Kok mau? Padahal dia sempat mengajar di beberapa tempat di Pontianak dan sangat pandai dalam soal computer. Dia sekarang juga sedang menyelesaikan studi S-2 di Jawa.
Beberapa waktu lalu dia membangun pesantren sederhana. Modalnya Rp 2 juta! Angka yang membuat saya terkejut. Benar-benar terkejut. Bisa ya? Lebih mengejutkan lagi mendengar cerita bagaimana perjalanan pesantren itu. Saya melongok ke tempat tinggal santri dan juga tempat tinggal ustadz. Keadaannya benar-benar sederhana. Jangankan kasur empuk, listrik saja tidak ada. Anak-anak tidak dikenakan biaya. Biaya sehari-hari? Sesekali mereka dapat bantuan. Tapi, pada saat yang lain dana dari ustadz sendiri. Zul mengalokasikan dana beasiswa pendidikan S-2-nya untuk makan santrinya.
“Bagi saya yang penting anak-anak di sini mau belajar, saya sudah senang,” katanya.
Atalia, yang datang bersama kami, juga membantu mengajar di sini sembari kuliah di STAIN Pontianak.
Menjelang siang, kami mampir di rumah Pak Rido, salah seorang pengurus masjid Muhajirin. Beliau adalah seorang mualaf. Setelah kami memberitahukan program kami di masjid itu, kami bicara banyak hal. Salah satu di antaranya adalah tentang pengembangan masjid dan lokasi itu.
“Pohon-pohon yang ada di lokasi ini harus dipertahankan. Tidak boleh ditebang. Biar generasi kita kelak tidak kehilangan pengetahuan mereka tentang kekayaan alam di sini,” katanya.
Menurutnya pohon-pohon yang dibiarkan itu akan menjadi daya tarik tempat ini dibandingkan tempat yang lain.
Saya terpana ketika beliau membayangkan lokasi ini kelak akan dikembangkan menjadi tempat pelatihan sambil refresing bagi anak-anak sekolah di kota.
Kejutan saya pada masyarakat di sini belum berakhir. Setelah dari tempat Pak Rido kami bertemu Pak Ije’, atau Nyirum Oreng. Beliau adalah tokoh adat di sini. Beliau juga boleh dianggap sebagai ahli perobatan. Beliau pernah menjadi pengurus kampung, sebagai kebayan beberapa puluh tahun lalu.
Tokoh berumur 62 tahun ini membuat saya tidak mau pulang dari Teluk Bakung. Saya ingin menggali pengalaman dan pengetahuan beliau. Pengetahuan yang beliau miliki luasnya tidak terukur, dalam tak terkira.
Tentang adat, dia pakarnya. Hukum adat diketahui dan beliau menjadi pengadil setiap perkara. Satu buku ditulis pun tak akan cukup untuk mencatat pengetahuan adatnya itu.
Beliau juga ahli dalam pengobatan. Kepakaran beliau tidak saja diakui orang di sekitarnya, tetapi juga oleh orang-orang lain. Bahkan orang yang meminta bantuannya dari dari mana-mana. Sistem pengobatan beliau agak berbeda dibandingkan kebanyakan tukang obat tradisional. Beliau menggunakan bahan-bahan daun, akar, kulit, dan batang tumbuhan yang ada di sekitarnya.
Beliau juga pegiat seni dan budaya. Kemampuannya bersilat sempat diperlihatkan kepada kami. Geraknya indah dan lincah. Beliau juga dapat memukul gendang dan gong. Beliau aktif di sanggar Bantola. Sanggar ini beberapa kali berpartisipasi dalam kegiatan kebudayaan di level provinsi. Ada beberapa piala dibawa pulang sanggar ini.
Beliau bisa menganyam ambenan. Beliau membuat topeng. Ketika beliau menunjukkan ambenan yang dianyam sekaligus menjelaskan nama-nama motif dalam anyaman itu, saya serta merta meminta izin belajar menganyam pada beliau di masa mendatang. Puji tuhan, beliau berkenan.
Soal kearifan, wawasan, dan visi beliau juga luar biasa. Kearifan itu dapat dilihat bagaimana beliau menangani perkara-perkara hukum di wilayahnya. Visi beliau juga bisa dilihat dari apa yang beliau lakukan. Salah satu yang berkesan pada saya adalah ketika beliau menunjukkan garam jepang. Garam itu berusia 40 tahun. “Saya menyimpannya karena saya pikir setelah garam baru masuk, garam Jepang pasti akan hilang. Kalau hilang tidak ada lagi contoh yang bisa kita lihat”.
Beliau memikirkan hal seperti itu sejak dulu. Luar biasa.
Kearifan dan wawasan serta pengetahuan dan pengalaman beliau mengingatkan saya pada Tok Olah, Zahry Abdullah, dulu. Datok kami itu memiliki pengetahuan yang luas dan dalam, serta memiliki visi yang kuat. Sayangnya, saya tidak berkesempatan belajar semua itu dari beliau. (*)

0 komentar: