Sabtu, 20 November 2010

Handphone Pak Oreng

Oleh: Yusriadi

Selasa lalu, saya dan beberapa rekan melakukan wawancara dengan Pak Nyirum Oreng, pengurus adat Kanayatn di Lintang Batang, Kubu Raya. Kami menggali pengetahuan beliau seputar adat istiadat di daerah tersebut.
Pak Oreng, lelaki berumur lebih 60 tahun itu melayani kami dengan ramah. Beliau juga sangat terbuka. Pengetahuan beliau tentang adat sangat dalam dan mengagumkan.
Saya kira keramahan beliau itu karena beliau orang gaul dan suka bertukar pikiran.

Saya katakan orang gaul karena beliau memiliki jam terbang sangat tinggi dalam berinteraksi dengan orang lain, baik sesama orang Lantang Batang, maupun dengan orang luar. Beliau mengaku keturunan Bugis dari kakeknya yang bernama Samad. Beliau pernah diangkat anak oleh orang Madura, dan itu pula menyebabkan dia memiliki nama “oreng”. Beliau juga belajar silat dari orang Melayu, belajar perobatan dari orang Cina, dll.
Tetapi lebih dari sekadar mengerti berkomunikasi, saya kira keramahan beliau juga disebabkan karena bersama kami ada muridnya bernama Atalia. Atalia belajar silat kepada Pak Oreng. Dialah yang menjadi pemandu kami di Lintang Batang.
Setelah panjang lebar wawancara itu, kami pamit. Agar komunikasi lebih mudah, saya meminta nomor handphone (HP) beliau.
Pak Oreng menyeluk koceknya dan mengeluarkan HP. Saya lihat sebuah HP sederhana jenis Nokia.
“Coba lihat nomor saya di situ,” katanya seraya meletakkan HP di atas meja yang membatasi kami.
“Cari ada nama saya di situ,” tambahnya.
Tentu saja saya tidak enak melakukannya. Atalia segera mengambil inisiatif meraih HP itu dan membukanya.
“Nek, banyak sms ini,” kata Atalia.
Atalia sejak awal memang memanggil Pak Oreng dengan Nenek. Nenek atau Nek adalah panggilan untuk kakek dalam masyarakat Kanayatn.
Pak Oreng meminta Atalia membacanya. Ada sms dari wartawan TV yang membatalkan rencana shooting atraksi silat Pak Oreng, dll. Atalia terkejut karena sms itu sudah agak lama terkirim, dan belum dibaca-baca oleh Pak Oreng.
Rupanya, Pak Oreng belum biasa membaca sms. HP bagi beliau lebih banyak untuk berkomunikasi lisan. Jadi, jika ada panggilan masuk, beliau menjawabnya, atau sebaliknya menghubungi nomor yang dituju.
Apa yang terjadi pada Pak Oreng mengingatkan saya pada Emak di rumah. Mungkin umur mereka kurang lebih. Emak juga pegang HP sejak beberapa tahun ini. HP Emak juga jenis sederhana.
Emak juga hanya biasa menggunakan HP untuk komunikasi lisan. Jika ingin kontak kami langsung telepon. Jangan kirim sms, karena Emak tidak pernah buka sms. Sms masuk baru dibaca kalau sudah ada anak atau cucunya yang membukanya.
Kami sudah coba menunjukkan cara membuka sms, menulis dan mengirimnya. Namun, Emak merasa tidak mudah. Emak lebih suka yang praktis. Pilihan jenis HP sederhana juga disebabkan pertimbangan praktis itu.
Saya membayangkan mungkin hari ini Pak Oreng dan Emak tidak biasa dengan sms, tetapi beberapa tahun mendatang mereka mungkin akan menjadi biasa. Tidak ada yang mustahil jika kebutuhan komunikasi di masa depan menuntut hal seperti itu. Asumsi ini muncul karena sebelum ini, HP bagi mereka juga bukan barang yang biasa. HP baru tergenggam oleh mereka dalam beberapa tahun ini, setelah menara dan jaringan telepon seluler dibangun di pelosok nun jauh di sana. Semua ini sesungguhnya tidak pernah saya dibayangkan terjadi saat saya menghayal 20 tahun lalu.

1 komentar:

indobrad mengatakan...

mungkin tidak perlu dibiasakan juga ya Pak Oreng itu. Pak Oreng mewakili pandangan sebagian (kecil?) orang yang menganggap benda itu adalah telepon. tidak kurang, tidak lebih :D

salam kenal pak yusriadi. saya "tersasar" ke blog ini dari google dan sempat membaca beberapa tulisan anda. menarik sekali. bapak tampaknya seorang blogger yang aktif menulis. semangat ini patut saya tiru.

sekali-sekali bolehlah mampir ke blog saya juga di http : // indobrad . web . id (maaf semua pakai spasi biar tidak disangka spam.

salam,
brad