Sabtu, 20 November 2010

Menggugah Minat Baca Ala Nano Basuki

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


FX. Nano Basuki. Saya mengenalnya sedikit. Perkenalan dimulai ketika dia membawa siswa sebuah SMA Swasta di Singkawang berkunjung ke Harian Borneo Tribune beberapa tahun lalu.
Waktu itu ada puluhan siswa diajaknya untuk mengenal media. Penuh ruang redaksi dibuatnya. Ramai. Mereka (lebih tepatnya sebagian dari mereka) nampak sangat antusias. Saya sangat terkesan. Dia nampak sangat dekat dengan anak-anak itu.
Sebagai guru, Nano sangat ideal. Sebab, kedekatan seperti itu pasti akan memiliki pengaruh yang luar bisa untuk pengembangan mereka; dan ini penting dalam proses pembelajaran. Tidak banyak guru bisa seperti itu. Biasanya guru menjaga jarak dengan siswa. Jarak itu mungkin disebabkan cara guru memandang kewajibannya mengajar – bukan panggilan hati. Mungkin juga karena anak-anak gagal berkomunikasi dengan guru, mungkin juga karena sebab-sebab lain.
Sebagai guru, saya ingin seperti Nano. Ingin membangun kedekatan dengan siswa. Dahulu, sekitar 17 tahun lalu, sewaktu saya mengajar di Tsanawiyah Riam Panjang, rasanya saya bisa sangat dekat dengan semua anak. Saya merasa berhasil membangkitkan semangat belajar anak.
Namun, setelah saya masuk ke perguruan tinggi rasanya kedekatan itu tidak pernah lagi terbangun dengan baik. Memang ada sebagian mahasiswa yang dekat dan berhasil dibina menjadi penulis. Tetapi, banyak juga yang gagal. Malah saya dikenal sebagai guru yang tidak baik. Menakutkan. Setidaknya, kewajiban berkarya, dan kurang bertoleransi pada mahasiswa yang tidak membuat tugas, telah membuat saya menjadi momok.
Nah, melihat bagaimana Nano duduk melantai dengan siswanya, melihat siswa begitu enjoy belajar dengan dia, saya terpana. Sungguh pemandangan yang mengesankan. Karena itu saya tidak melupakan Nano ketika dia hadir di sebuah seminar di ruang Rektorat Untan Pontianak. Saya ingat dia sebagai guru yang baik.
Malah, usai materi waktu itu, Nano menghampiri saya dan menyerahkan sebuah buku kumpulan puisi.
Wow. Hadiah buku ini juga kejutan lain. Rupanya, Nano, guru yang dekat dengan siswanya itu, adalah guru yang berkarya. Dia ada buku! Ini kelangkaan lain seorang guru.
Setahu saya tidak banyak guru di Kalbar ini yang bisa menulis dan menerbitkan buku. Hatta guru yang sudah S-1 dan S-2, atau guru-guru senior yang ngomongnya tokcer. Lebih banyak guru di Kalbar yang pandai ngomong dibandingkan pandai menulis. Guru-guru yang suka menulis dapat dihitung dengan telunjuk; sebut misalnya Y Priyono Pasti, Sasmito Aripala dan beberapa lagi.
Lama setelah seminar itu, saya tidak bertemu dengan Nano. Saya hanya mendengar dari Wisnu Pamungkas, penulis hebat Kalbar, bahwa mereka (termasuk Nano), sedang mengumpulkan puisi dari beberapa ‘seniman’ di Kalbar untuk diterbitkan.
Bulan lalu, atas undangan Krisantus, kepala biro Borneo Tribune di Bengkayang, saya masuk ke SMP Katolik Santa Tarsisia, Bengkayang. Di sini, saya bertemu lagi dengan Nano.
Kami bertukar cerita tentang kegiatan masing-masing. Rupanya, Nano sudah tidak lagi mengajar di Singkawang. Dia mengajar di sebuah sekolah di Darit. Selain mengajar di kelas, dia juga giat melakukan kampanye kepenulisan ke sekolah-sekolah.
“Saya mengajarkan anak-anak kampung, agar mereka suka menulis,” katanya.
“Anak-anak kampung selama ini jarang disentuh”.
Dia datang ke sejumlah sekolah membimbing anak-anak membuat puisi. Dia juga membawa koran bekas untuk bahan bacaan anak-anak agar wawasan anak dalam berkarya, bertambah.
Di sebuah kampung dia menggugah minat baca orang dengan cara membuat pameran di pinggir jalan setapak, di kebun karet. Puisi anak-anak dipajangnya di sana.
“Luar biasa. Orang-orang yang lewat, singgah untuk membaca karya-karya itu. Mereka tertarik dan bertanya-tanya,” ungkapnya.
“Ketika orang-orang singgah dan bertanya-tanya, tujuan yang ingin dilakukannya tercapai”.
Saya geleng-geleng kepala takjub pada apa yang dia lakukan. Apa yang dia lakukan benar-benar luar biasa. Sangat inspiratif. Selama ini saya hanya membayangkan pameran dilakukan orang di ruang tertutup. Tak terpikir, ada orang menyelenggarakan pameran di kebun karet. Tak terpikir, bapak-bapak dengan ambenan berisi karet di punggung, mengunjungi pameran dan tergugah pada karya sastra. Wow, keren sekali!

0 komentar: