Sabtu, 20 November 2010

Orang Bugis di Parit Banjar

Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune

Parit Banjar. Saya mendengar nama itu dari Mahmud Alfikri, mahasiswa yang aktif menulis, sejak puasa lalu. Saat itu dalam sebuah pertemuan anggota Club Menulis STAIN Pontianak dengan Gero Simone dan David Maschede mahasiswa asal Jerman, yang didampingi Nur Iskandar, redaktur di Borneo Tribune, Mahmud mengatakan lebaran di Parit Banjar sangat menarik.


Kata Mahmud, “Di sana mayoritas penduduknya, orang Bugis. Mereka masih cukup kuat mengamalkan budaya Bugis. Kamu bisa ikut saya melihat budaya lebaran mereka, kalau mau”.
Meskipun tawaran itu untuk Gero dan David, namun saya tertarik juga. Pertama, saya memang sedang melakukan penelitian sederhana tentang identitas orang Bugis di Sungai Kakap, dan kedua, kami – saya dan anggota Club Menulis, sedang berusaha menggarap tulisan tentang budaya. Dalam hati, suatu saat saya ingin datang ke kampung ini.
Ketika kemudian beberapa minggu lalu saya berkesempatan berkunjung ke Parit Banjar bersama Mahmud, saya mengakui bahwa kampung ini memang benar-benar mengesankan.
Pertama, jalan menuju kampung ini masih jalan tanah. Saya dan Mahmud berangkat ke Parit Banjar melalui ujung Kota Baru. Jalan masuk ke kawasan Parit Banjar hari itu becek sekali. Banyak lumpur. Licin. Dua kali saya harus turun dan berjalan kaki saat melintas bagian yang sangat, sangat becek. Hampir sepanjang 3 kilo, Mahmud yang membawa motor harus menjulurkan kaki sebagai tongkat motor agar tidak jatuh.
Keadaan jalan seperti ini tentu saja membuat saya heran. Masak jalan dekat kota bisa begitu parah. Dalam bayangkan saya, seharusnya jalan di Parit Banjar ini keadaannya baik. Seharusnya pemerintah memberikan prioritas.
Dalam keadaan becek seperti ini, saya merasakan Parit Banjar itu tempat yang jauh. Penduduk yang cukup ramai menjadi susah bergerak. Mobilitas mereka menjadi terbatas. Lebih dari itu, jalan yang rusak ini pasti mempengaruhi geliat ekonomi mereka. Hasil kebun jadi susah keluar, susah dipasarkan, dan barang kebutuhan pokok menjadi susah masuk. Biaya angkut pasti akan menjadi agak sedikit mahal.
Kedua, ketika saya sampai di sana saya juga melihat keadaan penduduk juga menarik. Sebelumnya Mahmud mengatakan penduduk di kampung ini mayoritas Bugis. Orang Bugis tinggal di bagian kuala dekat Kalimas, hingga bagian pertengahan. Di antara orang Bugis ini terdapat satu dua orang Melayu. Sedangkan di bagian pertengahan hingga ke arah Kota Baru, penduduknya orang Madura. Antar pemukiman orang Madura dan orang Bugis dibatasi kebun langsat.
Lalu, orang Banjar? Sayangnya saya belum sempat menggali informasi mengenai sejarah tempat ini dinamakan Parit Banjar. Apakah nama parit ini ada hubungannya dengan suku dari Kalimantan Selatan itu? Kalau ada, di mana orang Banjar itu sekarang? Apakah orang Banjar itu adalah orang Melayu? Jika mereka Mengapa sedikit?
Nama Parit Banjar juga menarik karena sering kali sebenarnya di kawasan ini nama parit dikaitkan dengan nama orang yang membukanya. Di dekat Parit Banjar misalnya ada Parit Wak Gatak. Jadi, nama tokoh yang dikekalkan, tanpa kira apakah tokoh itu orang Banjar, Bugis atau Madura. Dari sudut ini, nama Parit Banjar itu jelas menarik.
Saya mencoba-coba mengagak-agak, apakah ada arti lain dari Banjar, selain merujuk kepada nama suku dari Kalsel ini? Saya mesti menggali informasi ini.
Ketiga, saat saya dan Mahmud sampai di sana saya melihat sejumlah anak perempuan sedang main kelereng. Biasanya, yang main kelereng itu anak lelaki. Dalam masyarakat Melayu, sering kali anak perempuan dilarang mengikuti permainan lelaki. Anak-anak dipisahkan dunianya antara lelaki dan perempuan.
Apakah yang saya lihat ini kebetulan saja? Atau, apakah ini cerminan budaya yang berbeda?
Belum habis renungan itu, saya agak heran ketika mendengar mereka berkomunikasi. Semuanya dalam bahasa Melayu, bukan bahasa Bugis. Apakah anak-anak ini besar dalam budaya bahasa Melayu? Lalu, di mana bahasa Bugis dalam kehidupan mereka? Apakah bahasa ini hanya miliki orang tua mereka, seperti kebanyakan anak-anak Bugis yang hidup di lingkungan terbuka di Pontianak?
Saya sangat penasaran karena banyak sekali pertanyaan belum terjawab. Saya harus datang ke kampung ini lagi dan mencari jawabannya. Saya akan menulis tentang semua itu. Nanti biar orang lain juga tahu betapa menariknya meneliti komunitas ini.
Lebih menarik lagi… orang Bugis di sini … menganut pola hidup seperti orang Melayu.
Misalnya … bahasa. Bahasa Melayu digunakan anak-anak yang sedang bermain.
Saat kami duduk di warung, kami juga mendengar anak muda bercakap bahasa Melayu juga sesama mereka.

0 komentar: