Sabtu, 02 April 2011

Asuk

Oleh Yusriadi
Redaktur Borneo Tribune


“Suk, Asuk… Minum dulu’-lah”.
Saya mendengar adik saya memanggil tukang yang sedang bekerja membesarkan bagian dapur rumah mereka, agar berhenti bekerja: minum dulu. Minuman, kopi, sudah disediakan dari tadi. Tapi, lelaki berumur 50 tahun itu belum menyentuhnya. Dia asyik menggali tanah untuk pondasi rumah.
Sebenarnya saya sudah memperhatikan lelaki tua itu bekerja sejak awal. Dia, bercelana pendek, dengan baju diikatkan di kepala. Mungkin maksudnya menutup kepala dari panas. Kepalanya ditutup, sedangkan badannya yang kekar itu tidak. Kulitnya yang agak putih memerah terbakar panas. Berlendir dibanjiri keringat.

“Iya…”
Dia hanya menjawab singkat, sambil terus bekerja.
Saya jadi sangat tertarik pada lelaki tua itu. Saya jadi bernostalgia. Dahulu, sewaktu di Jongkong, Kapuas Hulu, dua puluh tahun lalu, saya mengenal seorang lelaki tua yang oleh orang-orang di Jongkong dipanggil dengan “Asuk Anyi”. Dia, orang Tionghoa. Setiap hari, terutama sore, dia berjalan kaki di atas gertak, seraya mengenakan ‘tangui’ topi dari daun.
Biasanya dia menggunakan baju kaos putih, tipis, singlet. Celananya panjang seperti piyama. Warnanya khas: abu-abu.
Jika orang baru melihat, apa yang dilakukan Asuk Anyi ini aneh. Tetapi, orang Jongkong – khususnya Jongkong Kanan dan Jongkong Pasar, apa yang dilakukan Asuk ini tidak aneh lagi. Biasa. Hanya jalan-jalan di sore hari. Mungkin orang baru merasa aneh bila melihat Asuk tidak mengenakan tangui.
Saya tahu sekarang, dia jalan sore sebagai pengganti olahraga. Biar sehat. Dan Asuk Anyi memang nampak sehat. Sekalipun sudah tua waktu itu, tetapi, dia masih berjalan dengan tegap. Sekarang saya baru merasa heran: bagaimana Asuk bisa tahu bahwa olahraga sore itu sehat, padahal dia orang di Jongkong. Orang di Jongkong waktu itu belum mengenal jalan-jalan sore untuk kesehatan. Hanya orang kota yang kenal itu. Lebih hebat lagi, bagaimana Asuk Anyi bisa begitu disiplin melakukannya.
Setelah tidak lagi di Jongkong, saya tidak pernah mendengar tentang beliau lagi – karena tidak ada tema yang dibicarakan berkaitan dengan beliau. Bahkan, saya dan mungkin orang-orang di Jongkong lainnya tidak pernah mengingatnya.
Setelah dari Jongkong saya juga tidak pernah mendengar lagi ada panggilan “Asuk”. Ketika di Pontianak, saya bertemu dengan cukup banyak orang Tionghoa, saya memanggilnya Bapak, Toke, Keh, atau Akong. Tidak “Asuk”. Saya juga tidak pernah mendengar orang Tionghoa memanggil “Asuk” kepada orang tua. Ya, mungkin sebenarnya panggilan itu ada, tetapi karena situasinya berbeda dibandingkan Jongkong, maka panggilan “Asuk” tidak ketara terdengar.
Nah, hinggalah kemarin, saya mendengar adik saya menggunakan kata itu “Asuk” kepada lelaki yang bekerja di rumah mereka. Lalu, saya pun memanggil lelaki tua itu dengan “Asuk” juga.
Kami ngobrol banyak tentang kepercayaan orang Tionghoa dalam membangun rumah. Asyik sekali. Banyak hal yang saya baru dengar. Banyak pantang larang yang menarik ditulis di kemudian hari.
Selama ngobrol saya terus menerus memanggilnya “Asuk” tanpa mendalami makna sosialnya. Suatu saat saya akan mendalaminya. Tetapi, walau panggilan “Asuk” saya gunakan hanya sekadar ikut-ikutan, namun, panggilan ini membentangkan kembali lembaran kehidupan saya ketika di Jongkong, 20 tahun lalu. Jauh sudah rupanya! (29/1/2011)

0 komentar: